Women Lead Pendidikan Seks
November 24, 2017

16HAKtP: Perlawanan terhadap Kekerasan Seksual Masih Sangat Tumpul

Kita harus merumuskan bagaimana ide perlawanan kekerasan seksual bisa diwujudkan secara riil.

by Priscilla Yovia
Issues // Politics and Society
Share:

Peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) tahun ini, yang berlangsung dari 25 November sampai 10 Desember, terasa cukup meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Festival film, seminar, dan diskusi tentang kekerasan seksual banyak diadakan. Kajian dan tulisan yang menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual juga mengalir deras. Tidak sedikit perguruan tinggi yang menunjukkan progresivitasnya dengan ikut menggaungkan perang melawan kekerasan seksual. November menjadi salah satu bulan “paling feminis” tahun ini. Melihat animo terhadap 16HAKtP yang luar biasa, rasanya kita para aktivis boleh menitikkan air mata tanda bangga; akhirnya, semakin banyak orang yang sadar akan keberadaan masalah ini.

Benarkah demikian?

Beberapa waktu lalu, seorang kawan memilih terbuka kepada saya mengenai pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya di kampus. Dengan lirih ia bercerita kepada saya (dan kebetulan ada beberapa kawan lain di sana) bahwa sudah berbulan-bulan lamanya ia menjadi korban intimidasi oleh seorang pemangsa seksual. Ia ‘dijual’ di dunia maya tanpa konsensus, karena tidak memenuhi apa yang dimaui laki-laki itu.

Selama berbulan-bulan, pesan-pesan dari para laki-laki hidung belang memenuhi telepon, SMS dan media sosialnya, karena ingin “memakai” dirinya dengan harga murah. Tidak jarang pula ia menerima foto-foto alat kelamin, rekaman suara desah, dan cuplikan video menjijikkan dari orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Karena sangat tidak tahan, akhirnya dia memilih untuk mengganti ponsel dan menghilangkan semua jejak kehadirannya di media sosial. Cukup lama sampai akhirnya atas bujukan kawan-kawan lain, ia memberanikan diri untuk kembali.

Itu membuatnya trauma, tentu saja. Sebagai seorang feminis yang sudah cukup banyak membaca tulisan mengenai kekerasan seksual, mengikuti seminar-seminar terkait, saya bingung dan kagok untuk berkata-kata. Pasalnya, kawan saya ini rapat-rapat sekali menyembunyikan pengalaman pahit tersebut. Tidak tercermin bagaimana pengalaman itu membuatnya trauma dalam kesehariannya karena bagi saya, dia orang yang sangat ceria dan terbuka. Di situlah saya merasa resah. Bagaimana saya bisa enggak tahu? Dia ada di depan mata saya sendiri. Pengetahuan dan pengalaman saya selama ini buat apa kalau begitu?

Saya pun bertanya: “Apakah sudah coba untuk dilaporkan?” Ia menjawab: “Saya enggak mau membesar-besarkan masalah ini.” Rupanya anggota keluarga dari si pemangsa ini punya nama dan posisi tinggi dalam pemerintahan. Daya tawar yang lemah dan budaya menyalahkan korban yang masih mengakar dalam masyarakat Indonesia menjadi pertimbangan teman saya untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum. “Percuma sajalah. Daripada urusannya tambah panjang, mending saya yang mengalah terus kabur saja.”

Tidak ada yang membuat saya lebih marah sekaligus sedih daripada pernyataan kawan saya pada saat itu. Kembali saya mempertanyakan semua usaha perlawanan yang sudah para feminis lakukan untuk menghentikan kekerasan seksual. Dalam perihal kajian, tulisan, kampanye, kita sangat maju dan berapi-api. Tapi ketika dihadapkan pada kekuasaan? Kita seakan-akan menjadi kecil. Bukan, kita memang masih kecil. Seakan-akan tidak ada satu hal pun yang bisa kita lakukan selain mendengarkan mereka, para penyintas ini dan menenangkan mereka. Kasarnya, ketika suatu tindak pelecehan dan kekerasan seksual sedang terjadi nyata di depan mata, kita malah diam saja dan memilih orasi ke arah lain tentang bahaya pelecehan dan kekerasan seksual itu.

Celakalah kalau karena kekuasaan para pemangsa seksual ini melenggang bebas tidak tersentuh. Bukankah ini sangat melukai perjuangan dan perlawanan yang sudah dirintis sejak dulu? Sekarang, yang harusnya bisa kita lakukan adalah merumuskan bagaimana ide perlawanan kekerasan seksual itu bisa diwujudkan secara riil. Tidak hanya melalui hukum karena hukum bukan satu-satunya pencipta ketertiban dalam masyarakat. Pembahasan kita mengenai penghapusan kekerasan seksual harus menjadi lebih militan, lebih masif, dan lebih sistematis. Jangan jadikan pengetahuan tentang feminisme menjadi suatu idealisme belaka. Buat apa banyak mengadakan kampanye di kampus tapi pemangsa seksual lewat di depan mata didiamkan saja?

* Ilustrasi oleh Karina Tungari

Priscilla Yovia adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, anggota Departemen Perempuan Front Mahasiswa Nasional Universitas Indonesia (FMN UI). Masih dapat bermain bersama boneka pandanya di usianya yang sudah Iegal merupakan sesuatu yang sangat ia syukuri, tidak peduli pendapat orang bagaimana.