Sebuah akun yang mengulik obrolan-obrolan yang dikirimkan oleh laki-laki, @txtdaricowo, mengunggah hasil tangkap layar (screenshot) pelecehan seksual yang dialami oleh salah seorang pengirim perempuan di Twitter. Dalam tangkapan layar tersebut terlihat seorang laki-laki yang menunjukkan penisnya ketika masih ereksi—walaupun telah disensor oleh pengunggah—dan pesan pendek “How?” dan “I cant sleep”.
Unggahan tersebut mendapatkan reaksi beragam dari warganet. Sebagian besar dari warganet mengatai ukuran penis pria tersebut. “Kecil bgt ajg”, “Pendek bgt kaya jalan pikiranmu”, “Itu ngaceng Cuma segitu? masih gedean cabe rawit di gorengan”, “itu titit apa pensil alis” adalah beberapa contoh respons warganet terhadap unggahan tersebut.
Praktik mengirimkan foto penis atau dick pic kepada orang lain seperti ini bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa tahun yang lalu, politisi Amerika Serikat, Anthony Weiner, dihukum karena melakukannya kepada seorang perempuan yang lebih muda.
Tidak hanya itu, menurut penelitian Wailing dan Tyn (2017) yang diterbitkan di Journal of Gender Studies, praktik ini telah mengalami kenaikan selama beberapa tahun terakhir. Lebih lanjut, pengiriman dick pic biasanya dilakukan oleh laki-laki heteroseksual kepada seorang perempuan. Namun, tidak menampik kemungkinan bahwa praktik ini dilakukan pula oleh laki-laki non-heteroseksual.
Praktik pengiriman dick pic ini pun dilakukan berbagai macam motif. Ada yang dilakukan secara konsensual, misalnya dalam praktik sexting, ada pula yang dilakukan tanpa ada persetujuan si penerima. Pengiriman dick pic tanpa adanya persetujuan si penerima ini bisa dikatakan sebagai pelecehan seksual dan praktik ini sangat sering terjadi di dunia virtual.
Baca juga: Kiriman 'Dick Pic' dan Video Porno Tak Konsensual Naik Selama Pandemi
Jurnalis Inggris Sophia Ankel menulis di The Guardian pada 2018 bahwa sebagian besar korban dari kasus tersebut adalah perempuan dan anak perempuan. Di Inggris, 41 persen wanita berusia 18 hingga 36 tahun dilaporkan menerima gambar seksual non-konsensual, 23 persen di antaranya mengatakan mereka merasa sedih, dan 17 persen mengatakan mereka merasa terancam.
Untuk melakukan perlawanan terhadap praktik pelecehan melalui dick pic, banyak orang mempermalukan pelaku dengan menyebarkan tangkapan layar obrolan dan dick pic, seperti yang dilakukan oleh pengirim ke akun @txtdaricowo tersebut. Bahkan, ada beberapa orang yang berani melakukan doxing atau membongkar identitas pelaku pengirim dick pic. Salah satunya dilakukan oleh seorang aktivis dan penulis perempuan pemilik akun @laviaminora di Instagram.
Beberapa waktu lalu, ia menjadi korban pengiriman dick pic tidak konsensual. Ia membagikan pengalamannya ketika menerima pelecehan tersebut dan membongkar identitas pelaku melalui InstaStory miliknya. Ia sempat menantang pemilik akun untuk bertemu dan menyelesaikan urusannya. Namun, ternyata pelaku tidak cukup memiliki nyali untuk menemui.
Praktik mempermalukan pelaku dengan menyebarkan dick pic ke ranah publik memang menjadi hukuman dan wacana perlawanan terhadap pelaku. Namun, sayangnya praktik ini banyak dilawan dengan tindakan penis size shaming atau mempermalukan ukuran penis pelaku yang sebenarnya menjadi masalah lain yang kerap luput dari perhatian.
Seperti diketahui, saat ini ukuran penis, terutama dalam keadaan ereksi, masih dianggap sebagai lambang maskulinitas laki-laki. Laki-laki selalu terobsesi dengan penis yang besar, sebab mereka beranggapan bahwa penis yang besar dapat memuaskan pasangannya dan diri mereka sendiri. Banyak laki-laki kerap tak percaya diri dan terus khawatir dengan ukuran penis mereka. Wylie dan Eardley (2007) menyebutnya sebagai sindrom penis kecil atau small penis syndrome.
Baca juga: Hati-hati Di Internet dan Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal KBGO
Praktik penis size shaming untuk melawan aksi pengiriman dick pic dianggap sebagian orang cukup berhasil menghukum pelaku. Namun, secara tidak langsung, praktik ini juga telah merundung para laki-laki yang terjebak dalam sindrom penis kecil. Semakin sering praktik ini dilakukan, semakin kuat mitos mengenai ukuran penis sebagai lambang maskulinitas.
Akibatnya, sangat mungkin para laki-laki yang mengalami sindrom penis kecil sangat tersiksa dengan wacana ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh para laki-laki di luar sana untuk memperbesar penis mereka, baik secara medis maupun nonmedis. Bahkan, tidak sedikit yang tertipu karena praktik ini.
Dengan melihat potensi dampak tidak langsung tersebut, saya menilai penis size shaming tidak cocok digunakan sebagai upaya melawan praktik pengiriman dick pic. Sebab, dampaknya cukup luas dan malah melanggengkan toxic masculinity.
Oleh karena itu, memang perlu cara lain untuk menangani pengiriman dick pic ini. Salah satunya adalah dengan adanya regulasi mengenai penanganan praktik dick pic. Penanganan pemerintah secara serius dalam menangani pelecehan seksual di internet memang sangat diperlukan. Selain itu, kita harus melihat praktik dick pic bukan lagi sebagai sebuah lelucon, tetapi pelecehan serius yang meresahkan.
Comments