Saya suka sebal tiap tanggal 22 Desember. Mari diperjelas: Hari Ibu Nasional di Indonesia tidak sama dengan “Mother’s Day” di dunia Barat.
Memang kata “ibu” berarti orangtua perempuan dalam bahasa Indonesia; namun bisa juga digunakan sebagai panggilan hormat bagi perempuan yang lebih tua, seperti halnya Tante dan Mbak yang digunakan di seluruh negeri untuk panggilan sopan bagi perempuan yang bisa saja tidak kita kenal tanpa ikatan darah atau keluarga. Jadi memanggil seseorang dengan sebutan “ibu” tidak berarti Anda anaknya orang tersebut; bahkan tidak juga berarti bahwa orang tersebut punya anak.
Tiap siswa Indonesia mempelajari sejarah Hari Ibu Nasional di sekolah. Dan latar belakangnya memang dahsyat. Pada 22 Desember 1928, para anggota dari 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Sumatra dan Jawa menyelenggarakan konferensinya yang pertama, mendiskusikan hak perempuan, pendidikan, kesehatan, dan kekuatan media untuk membantu mengatasi masalah-masalah di bidang tersebut.
Pada konferensi tahun 1930 mereka pun mendiskusikan dan merumuskan rekomendasi untuk memberantas perkawinan di bawah umur serta perdagangan manusia (dua masalah yang sayangnya masih ada sampai hari ini).
Zaman tidak ada Google, Wikipedia, Twitter dan Facebook untuk berbagi keluhan dan membandingkan hak pilih di negara-negara lain, acungan jempol setinggi langit untuk perempuan-perempuan tangguh ini karena orisinal, menunjukkan intelijensia di tengah masyarakat patriarkis dan tidak mempedulikan pemerintah kolonial.
Meskipun tidak secara rinci diajakarkan di sekolah, semua buku sejarah sangatlah jelas memaparkan apa itu Hari Ibu Nasional. Hari Ibu itu bukanlah menghormati orangtua perempuan dan hubungan ibu-anak. Tak dapat dimungkiri memang ibu-ibu merupakan penyatu keluarga dan harus dihargai (caranya bagaimana merupakan masalah tersendiri), namun hal ini merupakan hal lain lagi.
Sejarah gerakan perempuan Indonesia
Intinya adalah, Hari Ibu bermakna pemberdayaan perempuan. Demikian tepatnya. Jadi kenapa baru-baru ini hari yang sangat membanggakan bagi perempuan Indonesia ini dibajak oleh versi Mother’s Day yang sangat komersil yang berasal dari Barat ini?
Apakah ini disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang lebih mengutamakan mengingat tanggal dan nama tapi bukan sejarah itu sendiri? Ditambah lagi dengan ketamakan kapitalisme yang selalu mencari cara untuk menjual, inilah cara pasti untuk merayu seluruh negeri agar amnesia berjamaah. Kalau kita merasa perlu menentukan satu hari untuk merayakan ibu-ibu kita, mengapa kita harus mengorbankan satu hari yang mewakili kepentingan seluruh perempuan?
Nah, ini menjurus pada pertanyaan, “Apa kita perlu satu hari khusus untuk merayakan orangtua?”
Mother’s Day masa kini di dunia Barat dimulai pada 1908 di Amerika ketika seorang perempuan bernama Anna Jarvis melobi untuk menentukan satu hari resmi saat masyarakat bisa merayakan ibu-ibu mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, dia menjadi sebal dengan komersialisasi besar-besaran atas upayanya ini, dan menghabiskan uangnya dalam bentuk tuntutan hukum untuk melindungi kesakralan hari tersebut.
Sekarang Mother’s Day sudah menjadi bisnis besar yang menguntungkan. Di AS saja, jumlah yang dibelanjakan untuk Mother’s Day 2012 diperkirakan hampir mencapai US$19 milyar. Hallmark menyatakan bahwa Mother’s Day merupakan hari raya ketiga terbesar untuk bisnis kartu ucapan, sesudah Natal dan Hari Valentine.
Ironis, karena Ms. Jarvis pernah berucap menyindir, “selembar kartu cetakan tak bermakna apapun selain kamu terlalu malas untuk menulis surat pada perempuan yang telah melakukan banyak hal untukmu, lebih banyak dari siapapun di dunia ini.”
Mungkin ada yang berpendapat bahwa memilih satu hari untuk merayakan sesuatu/seseorang adalah perlu untuk ‘memaksa’ orang mundur dan merenung. Natal bukanlah mengenai kelahiran Yesus (siapa juga yang tahu kapan tepatnya beliau lahir, dan haruskah umat Kristiani peduli?, namun tentang penyelamatan umat manusia.
Sejarah Hari Ibu
Namun, kita harus jujur. Apakah kita benar-benar setiap tahun merenungkan semua pengorbanan ibu kita di tengah hingar-bingarnya suara kapitalis?
Mungkin ada yang berpendapat tidak ada salahnya merayakan ibu-ibu kita atau memberi mereka hadiah, tapi apakah kita benar-benar berterima kasih pada ibu-ibu kita pada hari tersebut? Atau kita menulis “Selamat Hari Ibu” dan kata-kata indah lainnya tentang betapa hebatnya ibu-ibu kita di media sosial untuk meredakan rasa bersalah kita karena melupakan ibu-ibu kita yang tua selama tahun itu? Dan apakah kita menipu diri, menganggap masyarakat tak akan tersedot promo-promo yang tidak ada hubungannya dengan menjadi seorang ibu?
Saya menerima SMS ini dari bank saya: “Rayakan Hari Ibu! Nikmati diskon 20% untuk produk-produk mode”. Lima tahun lalu, ada orang asing sesat pikir di kantor saya yang dengan berbinar-binar mengusulkan promo produk anti-penuaan dalam rangka Hari Ibu. Ya, karena kita menghormati perempuan yang merawat luka di lutut dan temperamen kita waktu remaja dengan mengatakan mukanya keriput dan bajunya kurang keren.
Teman-teman, kenyataannya, Hari Ibu ini jadi hari yang heboh, namun tidak ada hubungannya dengan para ibu. Sedihnya, saya ramalkan akan ada lebih banyak lagi “promo menarik dalam rangka Hari Ibu” di tahun-tahun mendatang karena memberi penghormatan pada seseorang dengan mencarikan solusi bagi dilema yang mereka hadapi tidaklah semenarik promo makan pagi di hotel bintang lima. Kita sudah terlanjur membiarkan komersialisme ini terjadi dan sekarang kita hanya bisa membenamkan diri di dalam banjir promonya.
Jika Anda merasa perlu ada Hari Ibu, lakukanlah! Itu hak Anda. Tapi ambillah tanggal lain, karena tanggal 22 Desember sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai hari untuk merayakan perempuan Indonesia — semuanya, termasuk ibu, si orangtua perempuan — yang berjuang!
Artikel ini diterjemahkan oleh Inggita Notosusanto dari versi aslinya "It's Women's Empowerment, Not Mother's Day: A Case Against Dec. 22".
Comments