Peringatan: Ada spoiler dan penggambaran kekerasan seksual.
Pada akhir 2019, Korea Selatan dan dunia sempat digemparkan dengan kasus kekerasan seksual daring, Nth Room. Kasus ini heboh karena estimasi jumlah pelakunya lebih dari 60.000 orang. Bahkan sejumlah orang menyebut kasus Nth Room sebagai perbudakan daring. Dilansir dari The Korea Times, jumlah korban yang dikonfirmasi setidaknya ada 103 orang, termasuk di dalamnya 26 anak di bawah umur.
Melalui serangkaian investigasi terungkap, gambar para korban dibagikan dan dijual ke lebih dari 260.000 pengguna Telegram (dipersempit menjadi sekitar 60.000 pengguna, dengan mempertimbangkan profil yang tumpang tindih) dan dibayar secara anonim dalam cryptocurrency.
Para korban direndahkan. Mereka misalnya dipaksa menggonggong seperti anjing atau berbaring telanjang di lantai toilet umum laki-laki. "Ayo perkosa" adalah kata sapaan di antara pengguna, identik dengan kata "halo".
Kekerasan seksual ini semua diprakarsai oleh Baksa (Cho Joo-bin) dan God God (Moon Hyung-wook). Anehnya, saat ditangkap oleh pihak berwajib, mereka sama sekali tidak memperlihatkan raut atau gestur tubuh menyesal. Bahkan Cho sama sekali tidak mengungkapkan permintaan maaf pada korban ketika dimintai keterangan oleh para wartawan.
Segala modus dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Baksa dan God God inilah yang kemudian beberapa waktu lalu didokumentasikan dalam film dokumenter kriminal Netflix, Cyber Hell.
Jika sebelumnya kita mungkin hanya mengetahui kasus ini di level permukaannya saja, maka lewat Cyber Hell, penonton lebih jauh diajak untuk menguliti kasus Nth Room.
Cyber Hell setidaknya memberikan penontonnya tiga pelajaran penting yang bisa dijadikan bahan refleksi bersama. Apa saja? Berikut rangkuman redaksi Magdalene.
Baca Juga: 4 Pelajaran Penting dari Film ‘Gangubai Kathiawadi’
1. Perlunya Pelibatan Perempuan dalam Pengusutan Kasus Kekerasan Seksual
Menjadi penyintas kekerasan seksual relatif tak mudah. Trauma yang ditorehkan oleh pelaku bersifat permanen. Rasa cemas, takut, marah, sedih, serta bersalah menghantui para korban yang membuat para penyintas kesulitan untuk menjalani kehidupan sehari-hari bahkan tak jarang bisa berujung pada bunuh diri. Karena itu, dibutuhkan pendekatan khusus bagi para penyidik atau jurnalis yang sedang mengusut kasus kekerasan seksual agar korban bisa merasa aman dan tidak direviktimisasi.
Dalam panduan liputan kekerasan seksual yang disusun International Federation of Journalists ditegaskan perlunya jurnalis atau pewawancara perempuan. Baik jurnalis atau pewawancara perempuan dan korban, keduanya juga harus duduk bersama dalam lingkungan yang aman dan privat, mengingat adanya stigma sosial yang melekat terhadap perempuan korban.
Hal inilah yang jelas sekali terlihat dalam pendekatan jurnalisme yang dilakukan oleh beberapa jurnalis dan pewawancara perempuan dalam Cyber Hell. Mereka sebisa mungkin membuat para korban nyaman untuk berbicara dengan tidak memojokkan mereka.
Salah satu pewawancara perempuan dari JBTC melalui program mereka Spotlight membagikan caranya melakukan pendekatan kepada korban. Salah satunya adalah memberikan kata-kata menenangkan pada korban dan tidak berusaha memojokkan mereka.
Ia beserta timnya juga tidak membeberkan identitas asli korban. Semua dilakukan untuk kenyamanan dan keamanan korban. Baik untuk menghindari penyalahgunaan pernyataan korban atau juga menghindari tindakan yang dapat merusak kualitas hidup korban di masyarakat karena masih langgengnya budaya victim blaming.
Pelibatan jurnalis perempuan juga diyakini bisa menekan dampak trauma dan reviktimisasi. Team Flame, kelompok jurnalis yang terdiri dari dua perempuan mahasiswa misalnya berusaha mengungkap kasus Nth Room pertama kali ke publik dengan melakukan undercover investigation. Mereka tidak menggunakan wawancara korban sebagai data utama, namun dari tangkapan layar yang mereka ambil dari ruang obrolan ketika menyamar sebagai salah satu pengguna.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang
2. Kekerasan Seksual Bisa Menimpa Siapa Saja dan Di Mana Saja
“Sangat penting bahwa Nth Room bukanlah jenis kejahatan ‘klasik’ seperti pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ted Bundy atau kejahatan seks yang dilakukan oleh Jeffrey Epstein. Ini adalah jenis kejahatan baru yang menggunakan teknologi jaringan terbaru.”
Begitulah kata Choi Jin-Seong dalam wawancaranya di The Hankyoreh pada (22/5). Secara tidak langsung, ini membunyikan alarm bahaya bagi siapa saja, terutama perempuan dan kelompok marjinal lain yang rentan mengalami kekerasan berbasis gender.
Tak dapat dimungkiri, selama ini kita kurang waspada dengan bahaya yang mengancam dari canggihnya teknologi. Terlalu banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang fisik, sayangnya mengaburkan pandangan kita tentang kerentanan perempuan di dunia digital.
Padahal apa yang terjadi di dunia digital mencerminkan kekerasan seksual di ruang fisik di mana secara esensi perempuan masih dianggap sebagai objek, warga kelas dua. Dimanapun hidup, mereka tidak pernah bisa merasakan rasa aman. Segala bentuk kekerasan seksual secara nyata dapat menimpa siapa saja dengan perempuan yang paling rentan mengalaminya.
“Mereka menikmati video ini sendirian untuk kepuasan diri mereka sendiri, jadi apakah kita akan menghukum mereka karena itu?”
Karena itu, selama 1 jam 45 menit penayangannya, Cyber Hell berusaha menggarisbawahi fakta ini. Dengan menampilkan investigasi dari para jurnalis dengan penutup pamungkas dari para akademisi dan pengacara perempuan, Cyber Hell memberikan penekanan pada bagaimana kita seharusnya mulai mempertimbangkan kekerasan seksual daring, sama berbahayanya dengan kekerasan seksual di ruang fisik. Apalagi dengan fakta bahwa predator seksual daring lebih sulit untuk diidentifikasi, karena sebagian besar tindakan mereka tidak dilakukan secara langsung.
Dilansir dari artikel Center For Digital Society Universitas Universitas Gadjah Mada, rasa keterpisahan antara dunia digital dan konsekuensi kehidupan nyata karena anonimitas yang difasilitasi oleh teknologi, memudahkan para pelaku untuk melakukan dehumanisasi dengan lebih 'mudah' dan tak terlacak. Namun pada kenyataannya, dampak yang dialami oleh para korban sama nyatanya dengan pelecehan seksual yang terjadi secara real time. Hal inilah yang terjadi pada setiap korban dan penyintas dari Nth Room.
Karenanya, penting untuk kita tanamkan dalam diri masing-masing bahwa dibandingkan dengan menanyakan pada korban dan penyintas kenapa mereka melakukan hal tersebut atau kenapa dengan sukarela memosisikan diri dalam situasi yang berbahaya. Mulailah menyadari bahwa siapa saja bisa menjadi korban ketika dihadapkan dengan situasi yang sama.
Baca Juga: ‘Our Father’: Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan
3. Seperti di Film Cyber Hell, Hukum yang Belum Adil bagi Korban
“Kami sebenarnya lebih kecewa daripada bangga. Bagaimana jika terlepas dari semua hal (pengungkapan kasus Nth Room) yang telah dicapai, kenyataan tetap tidak berubah? Bahkan dengan semua berita dan semua yang terjadi, sistem hukum tidak setara dengan perubahan sosial, dan itu membuat kami khawatir.”
Inilah ungkapan rasa kecewa dari Lee, salah satu mahasiswa perempuan yang tergabung dalam Team Flames. Tim beranggotakan dua mahasiswa perempuan yang pertama kali mengungkap kasus Nth Room ke publik Korea Selatan yang wawancarai oleh Korea joongAng Daily. Kekecewaan Lee sebenarnya berdasar. Ia melihat bagaimana misogini merajalela di Korea Selatan.
Perempuan tidak pernah aman baik di ruang fisik atau digital dan mereka menjadi pihak yang selalu disalahkan ketika mereka mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Dalam kasus Nth Room misalnya menurut Michigan Daily anggota Kongres Jeong Jeom-sik (정점식) mengatakan bahwa orang-orang yang menikmati video tersebut sendirian sebenarnya tidak bersalah.
“Mereka menikmati video ini sendirian untuk kepuasan diri mereka sendiri, jadi apakah kita akan menghukum mereka karena itu?”
Perilaku misogini ini pun diperparah dengan budaya victim blaming yang sayangnya dipelihara oleh para aparat penegak hukum. Dalam artikel yang sama misalnya Jaksa Agung Korea Selatan, Kim Oh-Soo (김오수) bahkan menyalahkan para perempuan korban. Ia mengklaim, normal sekali bagi para remaja untuk “bermain-main” di depan komputer mereka dan mengabaikan tindak kriminalitas mereka.
Pandangan seperti inilah yang kemudian terefleksikan dalam produk hukum. Melalui Cyber Hell, penonton diberi tahu, kedua pelaku diberikan hukuman 34 tahun. Namun, individu yang memperjualbelikan dan menyebarkan video seksual eksplisit dari ruang obrolan tersebut tidak ada satupun yang dipenjara.
Pada (25/5), MBC melaporkan, sebagai hasil dari pemeriksaan putusan terhadap 340 orang yang divonis dalam persidangan pertama, semuanya hanya menerima masa percobaan atau hukuman uang.
Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan pada setiap pelaku dalam ruang obrolan tersebut jelas memperlihatkan ketidakmampuan negara dalam melindungi perempuan sebagai kelompok rentan. Hukum dibuat tidak dalam perspektif korban. Ia tidak pernah adil dan justru memelihara kekerasan bahkan menciptakan kekerasan berlapis bagi korban. Maka tidak mengherankan apabila banyak pengguna Nth Room merasa diri mereka kebal hukum.
Comments