Riuh suara tawa atau tangisan bayi dan anak bawah lima tahun (balita) yang sedang digendong ibunya sembari menunggu pemeriksaan tidak pernah lepas dari hiruk pikuk di pos pelayanan terpadu atau posyandu. Pemandangan lain yang tak kalah umum adalah pengukuran berat badan bayi, atau pembagian kacang hijau dan susu setelah pemeriksaan. Layanan posyandu seperti itu sudah biasa ditemui di kantor kelurahan, pos rukun warga (RW) maupun rukun tetangga.
Namun sekarang ini, banyak posyandu yang terbengkalai akibat kurangnya dana dan sarana yang memadai. Akhirnya, sering kali layanan posyandu dilaksanakan di teras rumah kader Posyandu, pemasangan tenda di pinggir jalan, atau bahkan yang paling mengenaskan adalah menggunakan gerobak mie bakso.
“Biasanya posyandu ada di pos RW. Kalau wilayahnya terlalu luas, posyandu tidak cukup di satu tempat; mereka ada dua atau tiga tempat. Nah, tempat yang tidak mempunyai pos RW biasanya di gerobak mie agak ke tengah jalan. Kalau ada mobil kami minggir dulu lalu nimbang lagi,” ujar Amin Warsini, seorang kader posyandu dari Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.
“Bagaimana cara kita menarik ibu dan balita ke posyandu kalau tempatnya enggak layak. Harusnya ramah kepada balita dan anak, jadi mereka ada keinginan untuk datang ke Posyandu,” lanjutnya, di tengah acara Jambore Posyandu di Jakarta Timur pekan lalu, yang diadakan oleh Yayasan Kalyanamitra.
Sudah 32 tahun posyandu hadir sebagai garda terdepan dalam layanan kesehatan ibu dan anak sejak mantan Presiden Soeharto mencanangkannya pada 1986, tepatnya pada peringatan Hari Kesehatan Nasional yang jatuh setiap 7 April.
Posyandu, yang menurut Kementerian Kesehatan jumlahnya mencapai 289.635 pada 2014, acap kali disebut sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sehat, karena sifatnya yang pragmatis dan dilaksanakan oleh tenaga sukarela dari masyarakat untuk masyarakat.
Di banyak daerah, terutama daerah miskin, posyandu menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak berkat lima program layanan kesehatan dasar yang diberikan: Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), peningkatan gizi, imunisasi, layanan keluarga berencana, serta penanggulangan diare.
Posyandu juga menyediakan data-data penting yang selama ini diasumsikan berasal dari puskesmas, seperti Angka Kematian Ibu (AKI), ibu melahirkan, dan jumlah balita, yang nantinya dibutuhkan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Sosial.
Program yang diemban posyandu juga berpotensi dalam membantu pemerintah mencapai target 3 dan 5 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu untuk mencapai kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia, serta mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan.
Sayangnya sejak masa reformasi dan otonomi daerah, seperti sejumlah program pemerintah pusat lainnya, posyandu menjadi terabaikan dan tak terurus.
“Kalau dilihat secara mendalam, orang-orang tidak akan tahu kalau posyandu sebenarnya tidak dirawat dan diperhatikan,” ujar Listyowati yang menjabat sebagai Ketua Kalyanamitra, sebuah lembaga masyarakat yang mendampingi posyandu serta bekerja sama membuat Laporan Audit Gender Partisipatif Layanan Posyandu.
Hal tersebut sangat disayangkan karena masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih kritis. Menurut data Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu karena melahirkan, kehamilan, dan nifas terus meningkat, pada 2014 terdapat 4.525 kasus, 2015 mencapai 4.890 kasus, dan 2016 hingga 4.912 kasus. Sedangkan menurut survei penduduk antar sensus pada 2015, angka kelahiran ibu mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kelahiran balita 22 per 1.000 kelahiran hidup.
Selain itu, menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gagal tumbuh atau stunting di Indonesia mencapai 37,2 persen, naik dari 35,6 persen pada 2010. Hal tersebut berarti ada 8,9 juta anak di Indonesia yang mengalami pertumbuhan tidak maksimal. Di antara negara-negara Asia Tenggara, prevelansi stunting Indonesia lebih tinggi daripada Myanmar (35 persen), Vietnam (23 persen), dan Thailand (16 persen).
Penganggaran Tak Serius dan Transparan
Posyandu menjalankan program yang memastikan kesehatan ibu dan anak tetap terjaga dan mencegah meningkatnya AKI dan AKB. Namun, program yang dibebankan ke Posyandu tidak sejalan dengan penganggaran dana pemberian makanan tambahan (PMT) maupun operasional yang diberikan.
Pemerintah sebetulnya telah mengatur penganggaran Posyandu dalam dua kebijakan, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Pos Pelayanan Terpadu (Pasal 24), dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1457/Menkes/Sk/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Keduanya mengatur bahwa pengalokasian dana ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD.
Meskipun begitu, menurut laporan Kalyanamitra di tiga wilayah, penganggaran dana yang ada tidak serius dan transparan. Misalnya di Cipinang Besar Utara, Pemerintah Daerah Jakarta telah mengalokasikan dana sebesar Rp214 juta yang kemudian naik 28 persen pada 2017 menjadi Rp.300 juta. Pada 2016 posyandu menerima anggaran PMT Rp222 ribu per bulan lalu meningkat pada 2017 menjadi Rp944 ribu per bulan. Namun, pencairan dana tersebut tidak menentu.
Menurut kader posyandu bernama Intan, penyaluran dana Rp900 ribu tersebut tidak berlangsung lama, karena penyediaan PMT untuk balita selama tiga bulan terakhir bukan berupa dana namun bahan mentah.
“Kalau di 2017 kemarin masih mending karena masih menerima apresiasi dan dana yang sampai Rp900 ribu itu. Tapi, sampai bulan Januari ini, PMT kami sedang ricuh. PMT dapat bahan mentah, tapi butuh dana juga untuk memasak,” jelasnya.
Sementara itu di Kelurahan Penjaringan, disebutkan kader menerima dana operasional dan PMT dari kelurahan sebesar Rp300 ribu. Amin juga mengungkapkan bahwa PMT tersebut muncul dalam bentuk bahan mentah seperti kacang hijau dan gula yang nantinya akan diolah sendiri oleh para kader.
Terkadang kader menganggarkan sendiri biayanya dalam bentuk mencari donatur, patungan, hingga dana sehat karena biaya tidak cukup. Dana operasional pun terkadang habis digunakan untuk membuat laporan. Kader menerima dana dari masyarakat sebesar Rp70 ribu hingga Rp120 ribu.
“Anggaran dari kelurahan atau pemerintah masih minim sekali bahkan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) tidak ada. Kami ada biaya operasional senilai Rp300 ribu per bulan,” ungkap Amin.
“Pemerintah tidak ada dana khusus ke kami, mungkin anggarannya ada tapi tidak sampai ke kami,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa kurangnya dana PMT tersebut juga mampu berdampak pada tingkat gizi yang nantinya sulit memenuhi standar dari dinas kesehatan.
Listyowati mengatakan sebaiknya kader posyandu juga diberi perhatian, meskipun mereka bekerja atas dasar sukarela.
“Celakanya di negara ini, kalau ada yang rela tidak dibayar maka (persepsinya adalah) kenapa kita harus alokasikan dana untuk dibayar. Kasarnya begitu. Jangan sampai atas dasar kerelawanan pemerintah mengalihkan tanggung jawab ke mereka,” tambah Listyowati.
Menurut Intan, mereka tidak mengharapkan uang, namun sarana dan pendampingan dalam pengumpulan data dan pembuatan laporan, serta penganggaran dana yang sesuai dengan program posyandu.
“Kami sudah kerja keras meninggalkan keluarga di rumah dan pekerjaan. Untuk kerja sosial itu sedikit pun tidak dihargai. Kita dipandang hanya duduk manis, buat laporan, sudah,” ujarnya Intan.
Pengarusutamaan Gender di Posyandu
Pola pikir bahwa posyandu adalah milik perempuan masih melekat di sebagian besar masyarakat, sehingga laki-laki enggan untuk datang ke posyandu. Selain itu, hampir semua kader posyandu adalah perempuan.
“Padahal bicara tentang kesehatan keluarga itu bukan tanggung jawab perempuan saja, tapi juga tanggung jawab laki-laki,” ungkap Listyowati.
Salah satu tugas kader posyandu adalah mendorong kesetaraan gender melalui informasi pentingnya keterlibatan laki-laki dalam proses kehamilan hingga melahirkan. Meskipun begitu, hasil audit gender Kalyanamitra menemukan bahwa implementasi semua program Posyandu masih dibebankan kepada perempuan. Misalnya pola pikir bahwa penggunaan alat kontrasepsi ialah tugas perempuan, padahal pemerintah juga tengah berusaha meningkatkan partisipasi laki-laki menggunakan alat kontrasepsi.
“Bicara tentang kebijakan, program (Posyandu) dan anggaran tidak sinkron. Hasil audit gender kami menunjukkan ketidakseriusan dari pemerintah. Kenapa? Negara ini masih belum memiliki perspektif gender kalau berbicara terkait isu perempuan dan anak yang akan kalah dengan isu lain (politik),” ungkap Listyowati.
Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya penganggaran dana yang tentunya mampu memengaruhi program pemerintah seperti usaha penurunan tingkat AKI, AKB, serta memberikan pemahaman kesetaraan gender yang juga merupakan target SDGs.
Listyowati mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia masih bersifat “maskulin” yang umumnya membahas tentang infrastruktur, sarana dan prasarana, tetapi tidak berbicara tentang pembangunan manusia.
Upaya untuk mendorong agar Posyandu tidak hanya menjadi milik perempuan juga dimulai dari kader Posyandu agar tidak memandang “aneh” laki-laki yang datang memeriksakan bayi maupun balitanya di Posyandu.
Masalah lain yang terkait dengan posyandu adalah tidak adanya regenerasi, sehingga keterampilan yang dimiliki masih standar.
Listyowati mendesak pemerintah memberikan pengakuan terhadap kerja kader posyandu, melakukan penguatan kebijakan program dan anggaran hingga implementasinya bisa dirasakan oleh posyandu dan kadernya, mengkoordinasikan instansi-instansi terkait posyandu, dan meningkatkan kapasitas kader dan pendampingan mereka dalam melakukan pendataan dan pelaporan.
“Bagaimana data ini bisa disajikan dengan akurat kalau data tidak disajikan dengan kapasitas yang bagus, baik itu dalam catatan pelaporan karena mereka membutuhkan data yang mungkin tidak seakurat kalau kader tersebut memang punya kapasitasnya,” ujarnya.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.
Comments