Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Jika kita membacanya sekilas dalam draft awal tertanggal 6 Desember 2021, RUU tersebut jadi langkah penting dalam pemenuhan hak maternitas perempuan. Pasalnya, di dalamnya mengakomodasi hak-hak ibu pekerja, yang sejauh ini kerap diabaikan para pemberi kerja.
Sebut saja hak cuti melahirkan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, durasi cuti melahirkan hanya enam bulan, 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan pasca melahirkan. Sementara dalam RUU KIA, cuti melahirkan diperpanjang menjadi enam bulan, di mana 3 bulan pertama upah dibayarkan 100 persen dan 3 bulan berikutnya 75 persen. Tak hanya itu, RUU KIA ini juga memuat pasal hak pendampingan bagi suami selama 40 hari untuk kelahiran dan 7 hari untuk kasus keguguran.
Luluk Nur Hamidah, anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa bilang, setidaknya ada dua pertimbangan atas pengusulan RUU KIA. Pertama, penyelenggaran kesejahteraan ibu dan anak masih dilakukan parsial. Maksudnya, peraturannya tersebar di kementerian dan kelembagaan berbeda. Kedua, pemerintah ingin ibu dan anak dijamin hak-haknya untuk tumbuh, berkembang, dan hidup sejahtera.
“RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Red) 2020-2024 disebutkan, Indonesia ingin mewujudkan sumber daya manusia unggul dan punya daya saing. Di sisi lain ada fakta-fakta yang masih jadi problem pemenuhan hak ibu dan anak. Ini ditandai dengan kematian ibu dan anak dan angka stunting yang cukup besar.”
“Belum lagi dengan kemiskinan dan pemiskinan yang didominasi perempuan. Imbas kemiskinan, kekerasan yang diterima oleh ibu adalah mereka selalu diposisikan sebagai objek. Mereka terputus dari pemenuhan hak-hak sosial tapi diekspektasikan merawat dan membesarkan anak seorang diri,” jelas Luluk pada Magdalene, (21/6).
Pengusulan RUU KIA dengan pertimbangan di atas tentunya memiliki kaitan yang erat dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Ini salah satunya menjadi komponen penting prasyarat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dalam Tujuan 5 SDGs dan RPJMN 2020-2024 tentang pemberdayaan perempuan.
Terdengar sangat progresif memang, tapi tak bisa dimungkiri, RUU KIA masih perlu kita kritisi. Pasalnya, setiap perundang-undangan relatif tak pernah lepas dari agenda dan ideologi politik, dengan pasal-pasal yang mungkin justru akan lebih memberatkan perempuan dalam prosesnya.
Karena itu, selain menyambut baik pengusulan RUU KIA ini, kita harus lebih jeli melihat klausul pasal-pasal yang ada. Apakah benar RUU ini menguntungkan ibu pekerja dan lebih egaliter? Berikut 4 poin yang harus kita garis bawahi bersama dalam RUU ini:
Baca Juga: Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini
1. Domestifikasi Perempuan Terselubung
Satu hal yang perlu diapresiasi adalah RUU ini mengakomodasi paternity leave atau cuti ayah. Ini jadi cuti yang bahkan selama ini tak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Luluk mengatakan paternity leave sama pentingnya dengan cuti melahirkan atau parental leave, utamanya dalam 1000 hari kehidupan awal anak.
“Ini (cuti ayah) bisa mengurangi dampak postpartum depression, perempuan lebih cepat pulih secara fisik dan mental. Tak hanya itu, cuti ayah penting juga untuk menghadirkan nilai-nilai baru terkait keluarga, kesetaraan, penghargaan pada hubungan. Karena dengan meletakkan kesalingan dan kerjasama maka reproduksi tidak lagi dilihat sebagai urusan perempuan saja. Akan tetapi, ini urusan semuanya, suami, masyarakat, bahkan negara,” jelasnya.
Cuti ayah memang jadi salah satu poin penting dalam RUU KIA, tapi dalam draft awal atau draf terbarunya tertanggal (7/6), cuti ayah tidak disusul dengan pembagian peran setara antara suami dan istri. Masih terdapat pengaturan yang mengesankan penekanan kewajiban tunggal pengasuhan pada ibu saja.
Hal itu tampak dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i tentang hak untuk mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan, dan tumbuh kembang anak; Pasal 4 ayat (2) huruf d tentang hak cuti untuk kepentingan terbaik anak, dan Pasal 10 ayat (1) mengenai kewajiban ibu secara rinci sebanyak 9 poin. Dari banyaknya kewajiban yang dibebankan kepada ibu, tak ada satu pun pasal yang menekankan peran atau kewajiban ayah.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rilis resmi yang diterima Magdalene, (21/6) menekankan bagaimana pengaturan serupa ini mengurangi peran ayah dalam pembagian peran keluarga. Imbasnya adalah pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik.
Baca Juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak
2. Perempuan yang Kembali Rentan
Nurjaman, Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Apindo DKI Jakarta kepada CNBC Indonesia bilang, pemberian cuti hamil 6 bulan jelas merugikan perusahaan. Sebab, mereka harus putar otak untuk bongkar muat karyawan, memberikan training pada karyawan baru, belum lagi membayar penuh karyawan perempuan yang tengah cuti hamil selama tiga bulan pertama.
Kekhawatiran pemilik modal mengenai peraturan dalam RUU KIA ini berpotensi menghambat hak bekerja perempuan. Dalam kacamata kapital, perempuan merupakan pekerja sekunder alias pencari kerja tambahan dari pencari kerja utama, laki-laki. Dengan posisi tersebut, perempuan kerap kali tidak memiliki daya tawar di perusahaan. Bahkan, hak-hak dasar mereka sebagai pekerja seringkali dicabut paksa.
Karena itu, makin jelas bahwa RUU KIA membuat posisi perempuan jadi semakin rentan. Mereka semakin mudah digantikan oleh tenaga kerja primer (baca: laki-laki). Pun, akses yang semakin terbatas atas kesempatan kerja akan menyeret perempuan pada ranah domestik, dan menjauhkan mereka dari sumber daya ekonomi. Inilah awal dari feminisasi atau pemiskinan perempuan.
Ketakutan ini pula yang membuat Komnas Perempuan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang RUU KIA. Ini termasuk memastikan korporasi tunduk pada aturan, seperti larangan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen, juga memastikan pengambilan cuti tak memengaruhi kesempatan pengembangan karier.
Baca Juga: Hak Maternitas Kerap Diabaikan, Perlukah Intervensi Pemerintah?
3. ASI Eksklusif yang Membebankan Sebagian Perempuan
Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan hingga kini masih jadi bahan perdebatan. Masih banyak yang beranggapan, pemberian ASI eksklusif adalah kewajiban yang harus dipenuhi ibu, apa pun caranya.
Tak heran, stigma seputar ibu yang memilih memberikan anaknya susu formula relatif kental di masyarakat kita. Padahal banyak sekali alasan di balik keputusan perempuan untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Misalnya, ada indikasi medis yang membuat ibu tidak bisa menghasilkan air susu lebih dari 5 ml.
Sayangnya, dalam draf pertama RUU KIA, salah satu kewajiban yang harus ibu lakukan adalah mengupayakan pemberian ASI enam bulan. Baru pada draf terakhir, poin ini ditambahkan pengecualian, yaitu indikasi medis, ibu meninggal, atau ibu terpisah dengan anak.
Kendati demikian, penambahan pengecualian ini tidak bisa serta merta meringankan beban tanggung jawab ASI eksklusif para ibu. Mengingat kewajiban itu berpotensi mengkriminalisasi ibu. Hal ini pun diperparah dengan adanya bab 7, soal partisipasi masyarakat, yang secara langsung memberikan wewenang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam mengawasi dan memberikan pendapat atas pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tak hanya itu saja, dengan adanya penekanan pada ASI eksklusif, perempuan dibebankan tugas baru. Dalam hal ini, jika gagal meng-ASI-hi, mereka harus bisa membuktikan ketidakmampuan itu dengan indikasi medis.
4. Kebebasan Beragama yang Dibatasi
Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan tiap warga negaranya dalam beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam RUU KIA ini adalah ada pasal yang berpotensi merenggut kebebasan tersebut. Dalam Pasal 10 ayat 1 huruf f, ibu diwajibkan untuk memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada anak masing-masing. Kewajiban ini kemudian diperkuat dengan Pasal 9 pasal 1 huruf e yang menyatakan, anak berhak mendapatkan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agamanya dan kepercayaannya.
Yang dimaksud dengan “penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agamanya dan kepercayaannya” adalah, dibandingkan memberikan kebebasan penuh pada anak untuk beragama sesuai dengan perjalanan spiritualitas, anak berhak atas pendidikan agama dan budi pekerti sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dalam keluarganya.
Tak sampai sini saja, negara pun mengambil peran dalam membatasi kebebasan anak dalam beragama melalui Pasal 18 ayat 2 huruf b. Di dalamnya, menekankan kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan pelayanan keagamaan dan bimbingan mental spiritual.
Pasal-pasal seperti ini jelas bermasalah, khususnya bagi keluarga yang membebaskan sang anak untuk beragama dan mengeksplorasi perjalanan spiritualitasnya sendiri. Para ibu yang membebaskan anaknya, rentan disalahkan bahkan dikriminalisasi. Padahal di Indonesia sendiri banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan agama sang anak kepada pihak sekolah.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments