“Blocking people on Instagram is my new hobby right now. #Positivevibes only..”
Pernyataan itu ditulis selebgram Rachel Vennya di akun Instagramnya, setelah keputusannya melepas hijab memanen kecaman dan penghakiman yang luar biasa. Rachel mengatakan dirinya sudah memblokir hampir lebih dari 100 ribu akun yang mengatainya lonte, open BO (booking online), sampah, sampai dengan penghuni neraka. Semua kata-kata itu diterimanya hanya karena keputusannya melepas hijab.
Sebagai seseorang yang juga telah memutuskan untuk melepas hijab, membaca penghakiman-penghakiman itu tentu sangat membuat hati teriris, jengkel, dan heran. Mengapa tiada habisnya masyarakat kita mengurusi hidup orang lain?
Rambut, tubuh, dan cara berpakaian perempuan itu seolah tidak pernah menjadi urusan personal, tapi selalu menjadi masalah publik. Semua orang terobsesi untuk mengingatkan perempuan akan kewajibannya menutup aurat, tanpa mengidahkan hak individu akan hidupnya.
Dengan dalih agama, sering kali orang bertransformasi menjadi kaki tangan Tuhan yang menentukan statusnya sebagai penghuni surga atau neraka. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa perempuan yang melepas hijab itu layak dihina dengan kata-kata kasar, seolah nilai dan harga perempuan hanya ada pada kain penutup kepala semata. Mereka terlalu fokus beragama sampai lupa caranya berempati. Padahal sebetulnya keputusan personal itu tidak sedikit pun merugikan dan menyakiti orang lain.
Sudah saatnya pula kita berhenti menghakimi mereka yang memutuskan membuka hijab. Mengapa? Ini alasannya.
Baca juga: Hijab dan Kita yang Tak Pernah Diberi Pilihan
-
Kita Tidak Tahu Perjalanan Spiritual Orang Lain dalam Melepas Hijab
Banyak yang berasumsi bahwa perempuan yang melepas hijab itu tidak lagi kuat iman dan ingin berpakaian seksi dan terbuka. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagai orang yang sudah diajarkan dan diwajibkan berhijab dari kecil, melepas hijab bukanlah hal yang mudah bagi saya, dan mungkin bagi banyak perempuan lain. Ada fase panjang yang harus saya lewati sebelum akhirnya memberanikan diri menanggalkan hijab.
Di fase awal, saya jalani dengan mempertanyakan ketentuan hijab itu sendiri, bagaimana menelaah perintah hijab itu dari segi Al-Quran dan memahaminya secara kontekstual dari sejarah. Dari sana, saya mulai sadar ternyata banyak sekali ragam penafsiran soal hijab yang tidak pernah saya dengar sebelumnya.
Meski fase setiap orang berbeda-beda, tapi saya yakin, mereka yang memutuskan melepas hijab pasti pernah ada di fase pergumulan tentang perintah hijab seperti yang saya alami.
Pada proses ini pula saya mulai mempertanyakan hal-hal mendasar seperti, kenapa semua orang sibuk mengatakan bahwa hijab itu adalah kewajiban perempuan, tapi tidak ada yang menjelaskan kenapa hal itu wajib dan apa latar belakang kewajiban itu. Banyaknya pihak yang menyebut tafsir-tafsir yang beragam soal hijab sebagai sesat membuat hal-hal semacam itu seolah tidak boleh dipertanyakan.
Saya jadi ingat salah satu twit dari penulis dan aktivis Kalis Mardiasih.
“Balita dijilbabin enggak masalah tapi pas gede pas udah berproses sama nalarnya sendiri terus ternyata milih buat lepas juga jangan dimarahin. Gitu, fair apa enggak?”
Baca juga: Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan
-
Keputusan Melepas Hijab Sudah Dipikirkan Matang-matang
Berita soal public figure yang melepaskan hijab pasti trending, mengalahkan isu-isu nasional yang lebih penting. Saya yang bukan public figure pun perlu waktu bertahun-tahun untuk berdamai dengan diri saya sendiri, dan mengumpulkan keberanian menghadapi penghakiman dari keluarga, kerabat, dan teman-teman terdekat. Tidak terbayang orang seperti Rachel, sebagai selebritas yang selalu jadi sorotan publik.
Namun, sekali lagi, konsekuensi besar itu pasti sudah dipikirkan secara matang, dan kita harus menghargai keputusan setiap orang yang sudah berani mengambil keputusan besar tersebut.
-
Surga dan Neraka Orang Lain Bukan Urusan Kita
Narasi surga dan neraka sering kali jadi landasan utama untuk melakukan penghakiman kepada perempuan yang memutuskan melepas hijab. Herannya lagi, orang-orang yang suka mengurusi surga orang lain ini justru tak jarang mengeluarkan hinaan dan umpatan yang kasar dengan dalih “sekadar mengingatkan”.
Bukankah berkata sopan dan halus itu juga diwajibkan dalam agama? Dan hak dan kewenangan soal surga atau neraka itu bukan berada di tangan manusia, bahkan orang tua sekalipun, tapi di tangan Tuhan. Jadi apa hak manusia mengurusi surga dan neraka orang lain? Seperti yang dikatakan Suster Monic dalam film Ave Maryam.
“Jika surga belum pasti buat saya, untuk apa aku mengurusi nerakamu?”
Baca juga: Sebenarnya Kita Berproses Jadi Lebih Baik atau Sekadar Mabuk Berhijab?
-
Hargai Pilihan Hidup dan Keputusan Orang Lain
Konsep menghargai pilihan hidup orang lain ini sangat sederhana, tapi seperti sulit sekali untuk dipahami. Kita tidak pernah tahu seberapa berat proses yang orang lain lalui, sehingga kebiasaan selalu ingin tahu dan merasa berhak berkomentar terhadap kehidupan orang lain sudah sepatutnya diakhiri. Kita harus selalu menghargai keputusan orang lain atas hidupnya, selama itu tidak merugikan maupun menyakiti kita.
Hal ini juga berlaku di level keluarga. Selama anak sudah dewasa dan mengambil keputusan secara sadar atas kemauannya sendiri tanpa tekanan, dan mereka sadar akan konsekuensinya, maka orang tua harus menghargai hal itu. Jangan sampai orang tua memaksakan kehendak kepada anak, namun anak menjalankannya dengan setengah hati dan dalam kepura-puraan.
-
Berhenti Menuntut Orang Lain dengan Standar Religiositas Kita
Agama dan religiositas adalah hal yang sangat pribadi, dan pemahaman orang bisa berbeda-beda.
Dalam kasus Rachel Vennya, banyak yang merasa kecewa dan menuntutnya melakukan klarifikasi, karena selama ini mereka menganggap Rachel sebagai panutan. Mengapa orang harus melakukan klarifikasi karena mengambil keputusan yang sangat personal di hidupnya? Itu bukan urusan kita.
Rachel merespons hal itu dengan mengatakan, lebih baik orang-orang yang punya ekspektasi tinggi dan menuntut banyak hal padanya untuk berhenti mengikutinya sosial media. Baginya, lebih baik diikuti oleh orang-orang yang mau menerima dan menghargai dirinya apa adanya, daripada memenuhi ego orang-orang yang terobsesi menjadikannya sesuai dengan standar mereka.
Comments