Kasus-kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan sekarang ini jamak dibongkar di media sosial, terutama di Twitter, dengan harapan meraih perhatian publik dan menjatuhkan sanksi sosial kepada pelaku.
Hal ini terjadi, salah satunya, adalah karena ketiadaan payung hukum yang dapat melindungi dan memberi keadilan bagi korban. Di sinilah sebetulnya mengapa Rancangan Undang-undang Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting dan mendesak sekali untuk disahkan.
Indonesia sendiri sudah mencapai situasi darurat kekerasan seksual. Data-data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat hampir delapan kali lipat atau 792 persen selama 12 tahun terakhir. Survei dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa setiap dua jam, setidaknya tiga perempuan mengalami kekerasan seksual.
Sayangnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tidak kunjung mengesahkan RUU PKS.
Sejak diusulkan pada 2012 oleh Komnas Perempuan, RUU PKS terus mengalami jalan terjal. Baru pada 2017 RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR, namun pada akhir 2018 DPR memutuskan penundaan pembahasan setelah Pemilihan Umum 2019 usai. Setelah pembahasannya dioper pada periode 2019-2024, rancangan legislasi ini malah dikeluarkan dari daftar prioritas pembahasan tahun ini dengan alasan pembasahannya “sulit”.
Lalu apa yang bisa dilakukan agar RUU PKS yang sangat krusial dalam perlindungan korban kekerasan seksual ini dapat disahkan?
Berikut ini kami merangkum sejumlah hal terkait RUU PKS yang perlu kamu ketahui, berdasarkan hasil wawancara kami dengan aktivis Rika Rosvianti, pendiri perEMPUan, serta anggota Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dan Koalisis Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks).
-
Mengapa RUU PKS tak kunjung disahkan
Sekarang ini di DPR ada lima Fraksi yang secara tegas mendukung disahkannya RUU PKS, yaitu Nasdem, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Gerindra. Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menganggap RUU PKS ini bisa mendorong seks bebas dan melegalkan kelompok minoritas seksual.
Menurut Rika, penolakan RUU PKS ini adalah implikasi dari menabukan hal-hal yang berbau seksualitas, sehingga memicu misinterpretasi dan mitos-mitos seputar RUU PKS menjamur dengan cepat. Selain itu, sentimen kelompok agama yang menganggap RUU PKS ini terlalu ‘liberal’ seringkali dijadikan sebagai senjata politik untuk menarik masa ketika pemilihan.
Baca Juga: Tips Jadi Pendamping Korban Kekerasan Seksual
“Beda dibandingkan dengan RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU yang berhubungan dengan ekonomi dan investasi lainnya, itu jelas banyak memberi keutungan bagi mereka, kalau RUU PKS enggak,” ujar Rika pada Magdalene.
Adanya sistem tebang pilih DPR dalam pembahasan RUU yang dianggap “menguntungkan” menjadikan RUU PKS mudah tersingkir dibanding RUU yang lain. Klaim pembahasan yang dianggap “sulit” oleh DPR saat mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas beberapa waktu lalu dinilai Rika adalah dalih yang mengada-ada. Menurutnya, jika memang pembahasan RUU PKS ini dirasa sulit patut dipertanyakan apa indikator yang membuat RUU PKS ini sulit. Padahal Komnas Perempuan dan jaringan pendukung RUU PKS sudah membuat draf yang sebisa mungkin mudah dimengerti semua pihak.
-
Angka kasus kekerasan melejit, payung hukum tidak ada
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam catatan tahunannya (CATAHU) melaporkan angka kekerasan seksual secara signifikan meroket, bahkan pada 2019 ada sekitar 431.471 perempuan korban kekerasan yang tercatat, sedangkan sisanya yang tidak melapor diperkirakan lebih banyak lagi.
Di masa pandemi seperti sekarang ini angka kasus kekerasan menjadi semakin mengkhawatirkan, Magdalene beberapa waktu lalu merilis kanal Safe Space yang mengangkat kasus-kasus kekerasan selama pandemi.
Rika mengatakan ada empat kategori kekerasan yang melejit selama pandemi yaitu, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran, perkawinan anak, karena faktor impitan ekonomi orang tua yang makin mencekik dan kehamilan tidak direncanakan.
Menurut Rika selama ini kasus kekerasan seksual merujuk pada tiga Undang-undang, yaitu UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun ketiga UU tersebut punya keterbatasan dalam menjerat pelaku. Merujuk kepada KUHP, pasal yang biasanya dipakai untuk menjerat pelaku adalah pasal pencabulan dan pemerkosaan. Namun kedua pasal itu juga problematik karena definisi pemerkosaan sangat sempit, sementara pencabulan itu mengacu kekerasan seksual fisik.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Rumah Sendiri, Mengerikan Tapi Didiamkan
“Mereka enggak melindungi korban yang berumur 17 tahun ke bawah atau usia anak. Sedangkan UU PKDRT itu hanya melindungi pasangan yang diakui secara negara atau terikat dalam institusi pernikahan, yang nikah secara agama atau adat itu enggak dilindungi. Belum lagi kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO), itu sudah jelas enggak ada payung hukumnya,” ujar Rika.
-
Aspek yang dibahas dalam RUU PKS
Sebagai RUU yang dibuat berdasarkan perspektif korban. Ada enam elemen penting yang menjadi substansi dari RUU PKS, termasuk aspek pemulihan korban, aspek pencegahan, dan aspek pendampingan. RUU PKS juga mengatur sembilan jenis kekerasan yaitu, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Menurut Rika, selama ini hak korban belum difasilitasi di aturan hukum mana pun di Indonesia. Aturan-aturan yang ada lebih berorientasi untuk menjamin hak asasi orang yang menjalankan masa hukumnya. KUHP misalnya, hanya mempertimbangkan hak dasar orang yang terproses secara hukum. Sedangkan RUU PKS memastikan adanya pendampingan dalam menghadapi proses hukum, baik praperadilan, peradilan, atau putusan.
“Kalau ada tindakan pidana cuman ada ganti rugi yang kadang berupa properti, enggak ada rehabilitasi khusus korbannya. Draf RUU PKS ini memanusiakan korbannya, jadi mereka bisa dipulihkan,” ujar Rika.
Selain mengatur dan mengutamakan pemulihan korban kekerasan seksual dalam RUU PKS ini juga mengatur tentang rehabilitasi pelaku setelah ia menjalani hukuman. Pertimbangan pembahasan rehabilitasi pelaku ini berkaca pada banyaknya kasus kekerasan seksual di mana pelaku mengulangi lagi perbuatannya ketika bebas.
“Ketika seseorang selesai masa hukumannya, ya udah aja enggak ada jaminan bahwa dia tidak akan mengulangi tindakannya lagi. Ada di beberapa kasus keluar dari Lembaga Permasyarakatan (LP) mereka makin menjadi-jadi,” ujar Rika.
-
Hoaks seputar RUU PKS anti-agama
Penolakan RUU PKS oleh kelompok-kelompok tertentu dibarengi dengan penyebaran hoaks tentang RUU PKS. Bahkan di kanal Change.org, petisi penolakan RUU PKS telah mengumpulkan 162.000 tanda tangan sejak akhir Januari lalu.
Petisi semacam ini biasanya dibalut dengan narasi bahwa RUU PKS adalah produk liberal yang akan meningkatkan perilaku seks bebas, dan melegalkan kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ).
Baca Juga: Survei: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Pindah ke Dunia Maya di Tengah Pandemi
Rika mengatakan mereka pihak yang kontra dengan RUU PKS membuat framing seolah RUU PKS ini anti-agama, kemudian dibuat jadi bertentangan dengan partai-partai tertentu yang basis agamanya kuat. Seolah-olah RUU PKS ini adalah sesuatu yang salah dan tidak boleh didukung.
“Kalau yang dibawa pakai narasi agama pasti orang mudah dipengaruhi. Sedangkan RUU PKS ini fact based, bagaimana melihat data di lapangan tentang kekerasan,” ujar Rika.
-
Yang bisa kita lakukan untuk mendorong pengesahan RUU PKS
Konsekuensi yang tentu dirasakan semua orang adalah tidak adanya rasa aman untuk bebas dari kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual pun akan terus melejit sampai pada angka yang bisa bikin geleng-geleng kepala. Korban-korban kekerasan yang kemudian balik dituntut dan ditahan seperti Baiq Nuril akan terus bermunculan. Para predator di dunia maya yang mencari kesenangan dengan melecehkan makin dimanjakan.
Menurut Rika, ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk mendukung RUU PKS ini. Pertama, pastikan kita bukan pelaku yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dalam bentuk apa pun, apalagi kekerasan seksual. Kedua, pastikan kita membantu dan mendukung korban, dan jika ada korban yang datang ke meminta pertolongan atau sekedar bercerita bantu dengarkan dan jangan menyalahkan korban. Ketiga, kita bisa memulai dukungan terhadap RUU PKS dengan cara sederhana dan mudah yaitu, mencari informasi sebanyak-banyaknya soal kekerasan seksual, menyebarkan itu ke orang-orang terdekat dan jangan ragu mengekspresikan dukungan.
“Bisa pakai serta cari #GerakBersama, sebarkan, reposting, linknya disebarkan ke grup WA. Lebih banyak lagi orang tau kita bisa lebih banyak lagi menciptakan ruang aman,” ujar Rika.
Ia menambahkan, hindari memulai kampanye dengan mengkonfirmasi tuduhan-tuduhan pihak yang kontra terhadap RUU PKS. Rika mengatakan dari pada sibuk mengonfirmasi, lebih baik fokus membahas dan memberi pengertian apa pentingnya RUU PKS ini dari perspektif korban. Pengalaman para korban kekerasan seksual menjadi hal yang krusial untuk dipahami masyarakat.
“Kita enggak usah panik membahas itu, yang penting kita hadirkan data kekerasan seksual, bagaimana RUU PKS ini bisa membantu, kalau kita terus-terusan mengadvokasi dengan reaktif itu cuman buang-buang energi,” ujar Rika.
Comments