“Ibu kota yang kelewat padat, tersedak polusi asap, dan tenggelam dalam air yang tercemar.”
Begitulah Rethinking the Future (RTF), platform media arsitektur terkemuka dunia mengawali kesannya terhadap Jakarta dalam artikel 10 Examples of Bad Urban City Planning (2021). Tak selesai di sana, Jakarta juga ia gambarkan sebagai kota dengan kualitas hidup buruk, krisis ruang terbuka hijau, kemacetan lalu lintas yang ekstrem, dan perluasan kota yang tidak terencana. Karena faktor-faktor itulah, RTF menobatkan Jakarta sebagai kota dengan perencanaan paling buruk sedunia. Menyusul di bawahnya, ada Dubai, Brasilia, Atlanta, hingga Dhaka di Bangladesh.
Sebagai warga Jakarta, jadi juara kota dengan perencanaan paling centang perenang, memang enggak ada bangga-bangganya sama sekali. Sayang, alih-alih menerimanya sebagai masukan (tamparan) penting, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria justru sibuk berkilah, akan meneliti ulang apakah klaim RTF sudah sesuai fakta atau tidak, dan membela diri bahwa perkara mengurus ibu kota memang sulit. Di titik ini, saya jadi ingat guyonan asu Parlemen kita yang menyetop pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan alasan serupa: Sulit.
Baca juga: Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan
Seperti kesan yang disampaikan RTF, berantakannya perencanaan Kota Jakarta sebenarnya mudah dilihat secara telanjang. Setidak-tidaknya, saya belum pernah melihat kota ini dibangun dengan mempertimbangkan warga di dalamnya (warga kaya silakan dikecualikan karena pembangunan kota memang dari, oleh, dan untuk mereka). Kota dibangun oleh pengembang yang melulu kejar cuan. Pantai direklamasi untuk membangun perumahan orang kaya, pun kota-kota penyangga dibuat dengan logika kapitalis: Cluster gate, car-oriented, cuit Co-Founder Transport for Jakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman di Twitter. Jika terjadi banjir, gampang, tinggal salahkan saja kelompok marjinal dan rakyat kecil yang memadati kota.
Tata kota buruk dan orientasi membangun kota untuk lelaki dan kelompok kaya adalah satu soal. Hal lain yang tak kalah penting adalah Kota Jakarta belum jadi ruang yang ramah bagi perempuan. Sebuah riset yang dilakukan Yayasan Thomson Reuters (2017) pada 19 kota besar di dunia dengan kategori penduduk lebih dari 10 juta jiwa menyimpulkan, Jakarta masuk sebagai kota paling berbahaya di dunia untuk perempuan. Riset ini menyertakan 20 pakar yang fokus pada isu-isu perempuan, baik akademisi, pegiat LSM, staf kesehatan, pembuat kebijakan, hingga pengamat. Tentang Jakarta yang jadi kota tak ramah perempuan ini, bahkan Anies Baswedan saja sudah terang-terangan mengakui bahwa arsitektur DKI, seperti Jembatan Penyeberangan, trotoar, ruang terbuka hijau, dibuat dengan cara pandang lelaki. Pun, jika kamu berada di ruang publik malam hari, kamu mungkin merasa perlu berlari kencang agar tak di-catcalling ramai-ramai atau menerima tindak kekerasan di jalanan sepi.
Kota yang Dibangun untuk Lelaki
Jakarta sebenarnya tak sendirian. Sebagian besar kota di Amerika Latin dan Karibia, sengaja direncanakan dan dirancang oleh dan untuk pria. Dalam artikel Gender-Inclusive Cities: Can Urban Planning Take into Account Women and Minorities? (2020) disebutkan, mayoritas daerah perkotaan, rumah bagi lebih dari 80 persen populasi kawasan, lebih cocok untuk pria heteroseksual, berbadan sehat, dan cisgender. Mereka tidak memperhitungkan kehidupan atau kebutuhan perempuan, anak perempuan, minoritas seksual dan gender, serta penyandang disabilitas, menurut publikasi terbaru Bank Dunia, Handbook for Gender-Inclusive Urban Planning and Design.
Artikel itu menjelaskan, ketimpangan perkotaan cukup jelas. Di taman biasanya pemerintah tak akan repot menyertakan penerangan, kurangnya toilet umum untuk perempuan dan populasi LGBT, kondisi jalan yang buruk dan sulit dijadikan lintasan kereta bayi, atau waktu tunggu angkutan umum yang terlalu lama di halte-halte.
Di Peru lebih ngeri-ngeri sedap. Seorang perempuan mengisahkan, “Di ruang publik dan di jalan, kota ini sangat berbahaya. Ada geng, perampokan. Kamu dapat diculik, dikejar, dilecehkan secara seksual, dan diperkosa sesuka hati. Berjalan di jalan itu berbahaya, terutama pada malam hari di daerah terpencil.”
“Saya sering datang terlambat untuk bekerja karena saya menurunkan anak saya di tempat penitipan anak terlebih dahulu dan jalanan dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa kali, roda kereta dorong anak saya jatuh dan rusak. Saya dirampok, tapi saya tak punya pilihan selain berjalan,” kata perempuan lain di Buenos Aires, dilansir dari laman yang sama.
Pelbagai masalah di atas menunjukkan dengan jelas, banyak kota yang memang sengaja didesain oleh dan untuk lelaki. Di seluruh dunia, perempuan menempati hanya 10 persen dari pekerjaan dengan peringkat tertinggi di perusahaan arsitektur terkemuka dan kantor perencanaan kota, menurut buku yang diterbitkan Bank Dunia itu. Tak heran jika kemudian, ruang publik jarang mempertimbangkan kehidupan sehari-hari perempuan dan minoritas.
Baca juga: #SetaraituNyata: Mendorong Kepemimpinan Perempuan, Mengakhiri Ketimpangan Gender
Biarkan Perempuan Memimpin
Lalu bagaimana jika pemimpin lelaki, sekaliber Ahmad Riza Patria saja lebih senang jadi orang denial ketika dikritik soal perencanaan kota, saya berpikir, bagaimana jika kita minta perempuan untuk ambil alih? Ya saya tahu, tak semua perempuan, sama seperti lelaki, memiliki kualitas kepemimpinan dan perencanaan yang cukup baik. Toh, di bidang-bidang lain, termasuk politik, kita melihat sendiri bagaimana perempuan sengaja diafirmasi demi tempelan, demi citra, demi mengekalkan dinasti politik, meskipun para perempuan ini tak ideal memimpin. Akan tetapi, setidaknya perempuan memiliki pengalaman ketubuhan dan berelasi di sistem yang mirip satu sama lainnya.
Riset yang dilakukan oleh peneliti Brasil Raphael Bruce, dkk. bertajuk Under Pressure: Women's Leadership During the COVID-19 Crisis (2021) membuktikan, perempuan dalam posisi pemimpin dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dalam pandemi, dibandingkan laki-laki. Para peneliti mencatat, kota-kota yang dipimpin oleh perempuan cenderung menyumbang 43% lebih sedikit kematian dan 30% lebih sedikit perawatan di rumah sakit ketimbang kota-kota yang dipimpin oleh laki-laki. Alasannya, ini terkait pengadopsian langkah-langkah nonfarmakologis - seperti mewajibkan penggunaan masker dan melarang kerumunan - yang lebih cenderung diberlakukan oleh perempuan. Selain itu, ada bukti kedibel bahwa kinerja pemimpin perempuan jauh lebih baik daripada laki-laki, ketika dikaitkan dengan isu kebijakan global.
"Temuan kami memberikan bukti kausal yang kredibel bahwa kinerja pemimpin perempuan lebih baik dari pemimpin laki-laki ketika menangani isu kebijakan global," tulis para peneliti.
Dalam level negara pun kita melihat bagaimana para pemimpin negara, seperti Jacindra Ardern dari Selandia Baru atau Tsai Ing-Wen dari Taiwan bisa menekuk pandemi di awal-awal dulu, saat negara lain masih terkapar. Ini memang satu di antara contoh kecil betapa kepemimpinan perempuan tak bisa dipandang sebelah mata.
Baca juga: Kyai Faqihudddin: Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Tak Kenal Gender
Di Indonesia, memasukkan (perspektif) perempuan di kota-kota terbukti cukup efektif di beberapa daerah. Banda Aceh termasuk kota pertama yang mengakomodasi suara perempuan dalam proses pembangunan dan perencanaannya dengan forum pertama yang sensitif gender bernama Musyawarah Perencanaan Aksi Perempuan (Musrena) pada 2007, tulis Hasanatun Thamrin dan Vanesha Manuturi di The Jakarta Post. Lewat forum Musrena, perempuan bebas menyampaikan aspirasinya secara terbuka mulai dari tingkat gampong (kampung) ke tingkat representasi yang lebih tinggi. Model ini lantas direplikasi di banyak kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta, untuk mengarusutamakan kebijakan gender dan anggaran yang responsif gender.
Buat saya, apa yang dimulai di beberapa kota Indonesia dengan memasukkan perspektif perempuan, baik lewat audiensi atau menempatkan perempuan langsung sebagai pemimpin, patut diapresiasi. Sebab, ini jadi ikhtiar agar pembangunan kota mampu mengakomodasi kebutuhan perempuan. Dalam konteks ini, pengalaman perempuan menjadi penting untuk merebut kembali hak-hak perempuan di kota.
Jika di masa lalu, kota dirancang semata-mata untuk mencerminkan peran tradisional dan pembagian kerja berdasarkan gender, terutama melalui zonasi modern, maka sudah saatnya kita bergerak maju. Pembangunan kota yang baik adalah pembangunan yang mengeksplorasi pengalaman dan penggunaan kota dari perspektif semua warga: perempuan, laki-laki, dan kelompok minoritas lainnya. Jakarta kan bukan dibangun untuk Pak Ahmad Riza Patria, cowok kamu, suami kamu, dan teman-teman lelakimu saja. Jakarta adalah kota untuk semua orang, jadi sudah saatnya dibangun dari, oleh, dan untuk semua lapisan.
Comments