Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, saya selalu ingin membantah disebut anak yang paling disayang. Pasalnya, saya memiliki kakak laki-laki yang jauh lebih dimanja dan kebutuhannya dinomorsatukan. Memang “nilai tawar” saya di mata orang tua lebih tinggi dibanding kakak pertama perempuan yang jadi martir. Namun, tumbuh di keluarga Bugis-Makassar yang semi-patriarkal, kami tentu saja berada satu level di bawah saudara laki-laki.
Ayah saya memang bilang, “Dua anak perempuan saya harus sekolah dan punya karier biar tidak dibodohi orang lain.” Namun, ada syarat dan ketentuan yang berlaku: Kami bisa sekolah hanya setelah semua kebutuhan anak laki-laki dalam keluarga terpenuhi. Analoginya mungkin seperti ini, kalau kami makan malam bersama--yang sebenarnya juga jarang terjadi--kami semua harus ada di meja. Namun, kami harus memastikan, saudara laki-laki yang memang disediakan tempat khusus dari orang tua hadir di sana.
Sebenarnya ini bentuk nyata dari favoritisme orang tua dan tidak bisa dimungkiri terjadi di setiap keluarga, bukan hanya kepada anak laki-laki saja. Ya, dari segi budaya, di Indonesia memang selalu ada ruang spesial bagi anak laki-laki. Teman saya, Tara, mengatakan anak laki-laki di keluarga Jawa juga punya posisi spesial. Tara dan keluarganya berasal dari Yogyakarta. Dalam hematnya, saudara laki-lakinya sangat dimanja. Karena itu juga dia menjadi memberontak yang negatif, seperti tidak mau sekolah.
“Dia diambilkan makanan, diladenin, jarang disuruh mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga suka dibela habis-habisan,” kata Tara kepada saya.
Baca juga: Dear Orang Tua, Bahu Anak Pertama Tak Selalu Sekuat Baja
Selain itu, teman kuliah saya, Lisa mengatakan, budaya Batak Karo memang memberikan perilaku spesial untuk anak laki-laki. Misalnya, mereka membawa marga keluarga dan mendapatkan jumlah warisan yang lebih banyak. Anak laki-laki juga memiliki tanggung jawab menggantikan tugas orang tua ketika mereka telah tiada.
“Budaya di Batak juga berbeda dan gak bisa digeneralisasi. Memang spesial, tapi perilaku ke anak laki-laki dan perempuan kembali lagi ke keluarga masing-masing juga. Ada juga keluarga yang teknik parenting-nya tidak memaksakan anak laki-laki ambil peran lebih,” ujarnya.
Alih-alih favoritisme, yang membuat saya kesal dengan kakak laki-laki karena ia sering memunculkan perasaan berhak atas segalanya atau male entitlement. Tidak jarang juga dia memunculkan tantrum yang agresif supaya orang-orang ‘mendengar’ tuntutannya. Kadang kakak saya membentak, membanting barang, dan skala yang ekstrem sampai kekerasan fisik.
Menurut Kate Manne, filsuf dari Australia, male entitlement lahir, terutama untuk mereka yang memiliki privilese, karena mereka menilai memiliki hak mutlak untuk kasih sayang, consent, kekuasaan, dan mengklaim pengetahuan. Hal itu yang ia sampaikan dalam bukunya Entitled: How Male Privilege Hurts Women (2020).
“Ini juga tentang obligasi semu dari perempuan untuk memberikan laki-laki hal tersebut, dan kita (perempuan) kehilangan hal yang harusnya jadi milik kita, seperti dukungan , kesetaraan, dan perawatan medis,” ujarnya dikutip dari Vanity Fair.
“Hubungannya dengan misogini, ketika perempuan menolak apa yang laki-laki pikirkan sebagai haknya, dia (perempuan) akan menghadapi ancaman dan hukuman yang misoginis,” lanjut Manne.
Kalau membawa ungkapan Manne tersebut ke situasi saya, keluarga, ayah, dan ibu memang sangat berhati-hati menjaga perasaan kakak laki-laki supaya tidak tantrum. Walaupun dia sering salah dan menimbulkan ketegangan, dia tetap menjadi kebanggaan keluarga hanya karena dia laki-laki.
Baca juga: Untuk Perempuan Generasi ‘Sandwich’: Kamu Berhak Bahagia
Saudara Toksik Sampai Jadi ‘Deadbeat’
‘Lucunya’, perkara saudara laki-laki toksik yang suka tantrum tidak hanya di keluarga saya saja. Setelah ngobrol dengan beberapa teman, saudara laki-laki mereka juga sebelas dua belas dengan kakak saya. Teman saya, S mengatakan, dulu kakak laki-lakinya juga suka tantrum tidak jelas dan dibiarkan saja oleh orang tua.
“Ya, tapi dia sudah enggak tantrum lagi setelah menikah,” ujarnya.
Senada dengan itu, seorang teman, “Erni” juga bilang, kakak laki-lakinya suka tantrum dan sampai merasa berhak mengatur hidupnya, misalnya ketika ia disalahkan mendukung komunitas LGBT. Dalam skala yang lebih ekstrem, kakak laki-lakinya juga hanya menghubungi ketika ‘ada maunya’ saja. Singkatnya, hubungan persaudaraan sekadar transaksi finansial saja.
“Kebanyakan ya urusan duit, bahkan saya udah putus hubungan sama kaka-kakak laki-laki karena mereka gak tau diri,” ujarnya.
Sama halnya dengan “Silvia”, kakak laki-lakinya juga hanya menghubungi ketika ingin meminjam uang, padahal kakak laki-lakinya secara finansial lebih berkecukupan darinya.
“Ya, ngehubungin kalau pinjam uang, tapi dia kalau punya uang juga dipinjemin ke orang lain,” ujarnya.
Menurut E, saudara laki-laki toksik seperti ini punya template khusus, menjadi deadbeat atau sampah masyarakat. Karena merasa berhak atas segala hal, mereka menjadi tidak tahu diri dan hanya memberikan beban bagi keluarga.
“Kayak berasa paling benar saja, padahal hidupnya paling sampah. Sudah tidak tahu diri, nyusahin kakak-kakak yang lain, adiknya pun disusahkan. Tidak paham juga kenapa laki-laki tuh begini, setidaknya gak usah menyusahkan orang lain,” ujar Erni.
Hal yang sama juga saya temukan di kakak saya sendiri. Dia banyak menuntut dari keluarga, baik dari segi finansial atau non-materiil, tapi tidak memberikan kontribusi setimpal atau mencoba membangun relasi yang lebih sehat dengan keluarga. Namun, tidak ada yang berani menegur karena dia adalah laki-laki, sehingga merasa paling benar.
Mengutip Christine Lozano, konselor keluarga di AS, saudara yang toksik akan memiliki mentalitas selalu benar. Mereka akan menyalahkan orang lain untuk kesalahannya, selalu menghindar dari tanggung jawab, dan tidak mawas diri, ujarnya dikutip dari Bustle.
Ketika teman sekolah saya dulu sangat kebelet memiliki kakak laki-laki, saya merinding ngeri karena tidak semua tipe kakak penyayang dan bisa melindungi saudaranya. Kadang mereka adalah anak yang lahir dari favoritisme orang tua yang patriarkal dan saking berprivilasenya, dia jadi semena-mena. Bagi saya, tipe kakak laki-laki yang peduli dengan saudaranya, seperti Ryuuichi dari serial manga pengasuhan School Babysitter (Gakuen Babysitter) memang hanya fantasi.
Baca juga: Hormat Saya Untuk Kakak Perempuan, Si Sulung yang Martir
Jadi Saudara yang Baik Itu...
Meskipun begitu, tidak semua hubungan dengan saudara laki-laki seperti yang saya alami. Dua teman saya “Rini” dan “Artika” memiliki relasi yang cukup sehat dengan saudaranya. Rini adalah anak perempuan pertama dari dua bersaudara. Dia memang mengaku kadang merasa iri dengan adik laki-lakinya karena orang tua lebih tegas kepadanya sebagai kakak.
“Tapi saya sih akur-akur saja, alasannya tidak ada yang khusus cuma saudara laki-laki saya pendiam dan tidak banyak mau,” kata Rini.
“Kalau perbedaan perilaku dari orang tua juga tidak ada yang benar-benar mencolok, kalau ada ya biasanya karena dia anak bungsu sih,” tandasnya.
Sementara Artika, anak kedua dari tiga bersaudara dan satu-satunya perempuan, mengatakan walaupun tidak akrab dengan kakak, tapi dia lebih nyambung dengan adik laki-lakinya. Relasi mereka pun tidak ada yang timpang sampai toksik.
“Orang tua lebih perhatian ke abang karena dulu dia hampir tidak selamat waktu lahir, jadi ayah ada sedikit rasa bersalah. Kalau sama adik tentu karena dia anak terakhir dan lebih disayang secara finansial karena karier ayah waktu dia lahir sudah lumayan tinggi,” kata Artika.
Kadang saya merasa sedikit iri dengan dua kawan saya itu karena mereka bisa membangun relasi baik dan komunikatif dengan saudara laki-lakinya. Interaksi mereka yang saya saksikan secara langsung maupun unggahan di media sosial membuat saya percaya kalau saudara laki-laki tidak terus menerus jadi beban dan bikin masalah di keluarga.
Sebenarnya saya tidak ingin banyak, hanya sedikit berharap kakak laki-laki saya bisa reflektif dan sadar kalau dia menciptakan gesekan dengan saudaranya karena perilaku buruk. Saya juga berharap dia lebih komunikatif ketika ada masalah, alih-alih melempar tantrum karena mengadopsi nilai-nilai maskulinitas yang toksik. Andai saja dia tidak menjadi beban keluarga, saya mungkin menyayangi kakak laki-laki saya.
Comments