Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah tulisan pada akun Instagram @humansofny mengenai seseorang yang memiliki ibu perfeksionis. Sang ibu menuntut kesempurnaan atas segalanya sehingga mendidik anak laki-lakinya tersebut untuk selalu berusaha untuk sukses dalam berbagai hal yang dilakukannya.
Namun, kalimat ini menohok saya: “Akan tetapi, satu hal yang tidak pernah aku pelajari adalah bagaimana menghadapi kegagalan”.
Berefleksi dari kalimat itu dan pengalaman pribadi saya, hal itu sangat menjelaskan bagaimana masyarakat kita benar-benar terlalu berfokus menekankan seseorang untuk menjadi sukses. Hal ini sudah sampai taraf di mana kita lupa untuk mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya tidak apa-apa jika kita mengalami kegagalan, ketika mereka tidak berhasil dalam usaha pertama, kedua, bahkan ketiga.
Banyak sekali buku dan pengajaran tentang bagaimana cara menjadi sukses, bagaimana cara menjadi pemenang, bagaimana untuk menghindari kegagalan, dalam setiap aspek kehidupan kita. Padahal pada kenyataannya, lebih besar kemungkinan bahwa kita lebih sering mengalami hal yang sebaliknya.
Saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa hal tersebut buruk, akan tetapi seharusnya kita memiliki pandangan yang lebih “seimbang” mengenai berbagai kemungkinan hasil yang bisa kita capai, yaitu kegagalan.
Izinkan saya untuk menjelaskannya. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak-anak dituntut untuk diterima di sekolah-sekolah terbaik, untuk dapat menguasai materi ujian saringan masuk dan pada saat bersamaan, mengambil pelajaran tambahan, seakan waktu sekolah biasa tidak cukup melelahkan. Ketika kita akhirnya berhasil, orang-orang akan membanjiri kita dengan ucapan selamat, berkomentar mengenai bagaimana bangganya mereka dengan pencapaian kita.
Namun di sisi lain, apabila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, apabila keadaan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapkan dari kita, kita akan menangisi diri sendiri hingga tertidur karena tidak menjadi cukup baik. Kita dipaksa untuk memungut serpihan-serpihan hati kita yang hancur, untuk mengumpulkan cukup keberanian dan akhirnya menemukan kembali kepercayaan diri untuk mencoba lagi.
Baca juga: Mengapa Anak Muda Jadi Semakin Perfeksionis?
Motivasi bangkit dari kegagalan
Setelah saya gagal dalam ujian masuk universitas, saya menghabiskan cukup banyak waktu untuk mengumpulkan motivasi dan mencoba lagi. Gagal dalam ujian tersebut adalah kegagalan pertama saya, dan hal tersebut merugikan saya. Akhirnya saya mengalihkan perhatian kepada media sosial, berharap untuk menemukan beberapa kutipan inspiratif yang mungkin dapat membantu saya menghadapi kegagalan saya.
Satu contoh kutipan yang paling membantu saya berbunyi seperti ini: “Untuk gagal berkali-kali adalah normal. Yang luar biasa adalah bagaimana kamu berhasil bangkit dari setiap kegagalan”. Juga, “Tidak apa-apa untuk terjatuh dan menangis, tapi setelah itu jangan lupa untuk kembali berdiri dan maju terus”.
Membaca cerita-cerita orang lain yang bernasib sama seperti saya juga membantu. Perlahan, saya berhasil untuk merangkak keluar dari lubang yang gelap. Pada saat itu, saya sadar bahwa saya dan banyak orang lainnya bisa lebih mempersiapkan diri menghadapi kegagalan macam itu.
Ketika kita gagal, seakan-akan seluruh dunia memusuhi kita, dan seakan-akan seluruh alam semesta berkonspirasi untuk menjauhkan kita dari mimpi-mimpi kita. Belum lagi kita harus menyadari kenyataan bahwa kita telah mengecewakan banyak orang yang mempercayai kita.
Ketika kita gagal, introspeksi diri adalah hal yang biasa, namun yang paling mengerikan adalah berhadapan dengan sanak-saudara untuk menyampaikan berita kegagalan kita. Pasalnya, kita harus menjelaskan mengapa kita gagal dan sekaligus menunjukkan sangat sedikit tanda penyesalan agar mereka tidak terlalu merasa kikuk memikirkan bagaimana harus menghibur kita.
Baca juga: Pola Asuh Otoritatif yang Hangat namun Tegas Bermanfaat Bagi Anak
Saya penasaran, apa yang akan terjadi apabila, misalnya, kita mempersiapkan anak-anak kita untuk gagal dan bangkit dari kegagalan. Dan, daripada membesar-besarkan kebutuhan untuk segera sukses, bagaimana jika kita menjadikan tujuan kita adalah tentang berusaha dan melakukan yang terbaik, sementara kita juga menyampaikan kepada anak-anak kita bahwa kegagalan juga adalah bagian dari kemungkinan?
Dengan demikian, kita akan dapat menunjukkan kepada mereka bahwa hal yang membuat seseorang berhasil adalah bagaimana mereka menang atas setiap kegagalan, tanpa peduli sebagaimana mengecewakannya hal tersebut. Setelah itu, mereka dapat menyadari bahwa ketika diperbolehkan mengalami kegagalan adalah hal yang membuat mereka menjadi lebih kuat.
Mengalami kegagalan adalah hal yang cukup menyebalkan, dan kita tentu saja tidak ingin harapan masyarakat memperberat beban itu. Jadi, daripada turut berduka dan membalas dengan “Aww..” pada kegagalan seseorang, mungkin seharusnya kita dapat mencoba memulai menggunakan kata-kata yang menyemangati seperti “Tak apa, aku tahu kamu sudah berusaha yang terbaik,” atau “Kamu sudah memberikan yang terbaik, itu yang terpenting”.
Bahkan, saya rasa, penulisan sebuah CV seharusnya menyertakan satu lagi bagian baru yaitu “Kegagalan”, untuk menunjukkan sekelebat “keputusasaan” yang seharusnya dialami seseorang untuk mendapatkan posisi dalam lamarannya. Pasalnya, mengalami banyak kegagalan dan penolakan adalah sebuah bentuk keterampilan dan hal tersebut bercerita banyak mengenai kegigihan, kekuatan, dan tekad seseorang untuk meraih mimpinya meskipun ada berbagai rintangan yang mengadang.
Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Inggris oleh Bini Fitriani.
Comments