Dilihat sekilas, lukisan-lukisan yang dipajang di dinding coworking space Ke:Kini sejak minggu lalu itu terlihat seperti lukisan batik dengan nuansa warna cokelat. Namun jika diamati dengan saksama, itu bukanlah hasil pembatikan, melainkan hasil sapuan kuas bercampur kopi dan air hangat di atas kertas.
Pelukisnya, Aji Yahuti, memang suka bereksperimen dengan bahan-bahan alternatif yang ada di rumah. Setelah melukis dengan menggunakan bumbu dapur beberapa tahun lalu, ia kini menggunakan kopi saset.
“Saya menggunakan kopi karena saya memang seorang pencinta kopi dan juga karena kopi murah,” kata Aji, reporter yang juga ibu dua anak itu. “Tetapi cuma bisa dengan kopi saset merek tertentu karena kalau pakai biji kopi warnanya kurang menonjol dan tidak bertahan lama.”
Karena berwarna dominan warna coklat dari kopi dipadu dengan kertas putih, serta ada pola-pola yang repetitif, lukisan Aji memang terlihat seperti batik, yang menurutnya tidak disengaja.
“Sebenarnya pola-pola ini adalah inspirasi dari seni madhubani dari India, tapi dengan sentuhan saya sendiri,” katanya. Seni madhubani di India ini memang mirip dengan batik, tetapi dengan pola-pola khas kebudayaan India seperti dewa, flora, dan fauna.
Pada karya Aji pola-pola ini berbentuk bunga, hewan-hewan kesukaan anaknya, motif batik kesukaannya, dan banyak detail menarik dengan makna simbolis lainnya.
“Mungkin ini karena memang saya mengambil inspirasi dari mana saja, tetapi inspirasi terbesar adalah dari anak saya,” katanya.
Selain indah secara visual, kurator pameran seni Ade Kusumaningrum mengatakan bahwa arti di balik lukisan Aji juga sangat kuat dan berhasil menggambarkan perjuangan dan cerita yang dialami oleh banyak perempuan, terutama di Indonesia.
Pusat perhatian dari karyanya memang selalu sosok perempuan karena menurutnya, perempuan selalu terlihat cantik, bagaimanapun bentuknya. Setiap lukisan memiliki situasi dan tema yang berbeda soal perjuangan perempuan, seperti akses pendidikan dan batasan-batasan dalam masyarakat untuk perempuan.
“Ia terus menggambarkan perempuan-perempuan Indonesia dan menyuarakan hak-hak perempuan. Tetapi ia memilih untuk menyuarakannya dengan damai dan indah, yaitu melalui seni,” ujarnya.
Cerita di balik karya Aji inilah yang menginspirasi Ade untuk membujuknya mengadakan pameran seni pertamanya sebagai bagian dari 100% Manusia Film Festival yang merayakan keberagaman, toleransi, dan kesetaraan.
Salah satu karyanya, “Mencuri Ilmu Pengetahuan”, melukiskan seorang perempuan membawa bakul dan mengisinya dengan teratai, yang merupakan simbol ilmu pengetahuan.
“Di sini, perempuan ini digambarkan sedang mencuri ilmu pengetahuan karena ia tidak diberikan akses padanya. Ia berpikir bahwa teratai adalah bunga liar yang seharusnya tidak dibatasi. Maka ia curi dengan niat baik yaitu untuk memelihara, menumbuhkan dan menyebarkan,” kata Aji.
Salah satu karyanya yang lain memperlihatkan seorang perempuan dengan ekspresi khawatir dan dikelilingi oleh tangan-tangan yang seakan-akan ingin menyentuhnya—sebuah metafora batasan-batasan bagi perempuan.
“Lihat, ada teratai lagi karena menurut saya salah satu cara untuk mendobrak penjajahan adalah dengan ilmu pengetahuan. Kenapa ia terlihat sedih? Karena ia tahu ini bukan perjuangan yang gampang,” kata Aji.
Ade, yang juga sudah berteman lama dengan Aji, melihat lukisan-lukisannya yang dengan baik menggambarkan pengalaman, cerita dan perjuangan perempuan. Sebagai kurator, ia merasa bahwa ini sejalan dengan visi 100% Manusia Film Festival, sehingga ia membujuk Aji untuk mengadakan pameran seni pertamanya sebagai bagian dari festival tersebut.
“Kita ingin memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengubah sudut pandang agar lebih damai melalui seni yang juga damai,” ujar Ade.
Pameran lukisan Aji “Perempuan dalam Kopi” berlangsung sampai 5 Oktober di ke:kini ruang bersama, Jl. Cikini Raya No. 45, Jakarta Pusat.
Comments