Miskonsepsi mengenai Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) marak beredar di masyarakat. Misalnya saja, rancangan legislasi itu disebut bertentangan dengan ajaran agama dan bersifat terlalu liberal. Akademisi Islam banyak yang menyanggah miskonsepsi-miskonsepsi tersebut, termasuk Nur Rofiah, akademisi Tafsir Al-Qur’an Universitas Islam Negeri Jakarta.
Ia menyatakan bahwa RUU PKS sejalan dengan amanah Allah dalam melindungi martabat manusia karena melarang perbuatan yang membawa mudarat atau kerugian. Selain itu, semangat dalam RUU PKS juga sejalan dengan sikap keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017, bahwa kekerasan di dalam maupun luar perkawinan adalah haram, dan wajib hukumnya untuk mencegah perkawinan anak karena berujung pada hubungan seksual yang membahayakan.
“Kekerasan seksual adalah sesuatu yang bertentangan dengan misi Islam dan kemaslahatan yang dikehendaki agama meliputi laki-laki dan perempuan. Artinya, jika ada perbuatan yang menguntungkan laki-laki tapi membuat perempuan mengalami dampak buruk, maka itu harus dicegah,” jelas Nur dalam dalam Focus Group Discussion “Tok RUU PKS” yang dilaksanakan secara daring dan luring di Ruang Fraksi PKB Gedung Nusantara I DPR (9/2).
Baca juga: Manipulasi dalam Pacaran Rentan Lahirkan Kekerasan Seksual
Diskusi tersebut merupakan kerja sama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan The Body Shop Indonesia untuk menggali persepsi tentang RUU PKS melalui berbagai pandangan.
Nur Rofiah mengatakan, pembiaran atas terjadinya kekerasan seksual adalah perbuatan yang mengabaikan amanah Allah. Menurutnya, Islam juga membangun kesadaran bahwa perempuan bukan objek, melainkan subjek penuh dalam sistem kehidupan yang tidak boleh dilihat hanya sebagai makhluk fisik. Pewajaran kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan yang terjadi dalam pernikahan, tidak lepas dari cara masyarakat meletakkan perempuan sebagai objek tersebut.
“Maka, pesan Islam untuk melihat manusia dari sisi spiritual dan intelektual menjadi sangat penting. Nilai manusia ditentukan dari sejauh mana mereka menggunakan akal budi dan hati nuraninya. Dalam Islam, di samping merefleksikan iman kepada Allah, kita juga harus merefleksikan cara berpikir, bertutur, dan bertindak untuk mewujudkan kemaslahatan,” ujarnya.
Dengan demikian, manusia tidak boleh meletakkan pihak lain dalam posisi lebih rendah atau menjadi hamba untuk seseorang atau sesuatu. Dalam kekerasan seksual, ia menyatakan pelaku meletakkan korban sebagai hambanya, dan pelaku menjadi hamba untuk libido seksnya.
Baca juga: INFID: Lebih 70 Persen Responden Setuju RUU PKS Disahkan
“Yang menjadi cita-cita Islam adalah bagaimana manusia bisa menjadi subjek penuh kehidupan, seperti dalam sistem negara, masyarakat, keluarga, perkawinan, dan punya status melekat hanya sebagai hamba Allah,” kata Nur.
RUU PKS Mengisi Kekosongan Hukum
Secara hukum, negara telah berkomitmen melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual melalui Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, Ketua Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani mengatakan, terdapat jurang hukum karena ada bagian dalam kasus kekerasan seksual yang tidak pernah terdefinisikan.
Ia mencontohkan bahwa dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang terdapat kata “eksploitasi seksual”, namun, dalam mendefinisikannya harus ada pembuktian apakah terjadi perdagangan orang atau tidak. Jika pembuktian tersebut tidak dapat dilakukan, maka kasus eksploitasi seksual tersebut tidak dapat disidangkan.
“Kita juga melihat tidak adanya UU yang sangat spesifik. Misalnya dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak bisa menjangkau karena hanya fokus pada pemidanaan. Yang perlu kita lihat adalah bagaimana upaya pemulihan korban, penanganan, dan perlindungannya,” ujarnya.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang RUU PKS
Berdasarkan hal itu pula, ia mengatakan bahwa meskipun ada sanksi pidana yang tinggi untuk pelaku, masih belum ada jaminan korban akan pulih secara menyeluruh karena ia harus menghadapi dampak personal maupun sosial dari kekerasan tersebut.
“Kami menemukan, korban bahkan diusir dari rumah, padahal pelakunya adalah orang terdekat korban,” tambahnya.
Selain itu, KUHP menempatkan pemerkosaan dan pencabulan dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan sehingga diskusinya tentang moralitas korban, seperti baju yang dikenakan dan situasinya saat itu.
“Kesusilaan adalah isu sosial yang patut dipertimbangkan sejauh mana dia mau dipidanakan. Namun, tidak sebangun dengan kekerasan seksual. Isu kejahatan, kesusilaan, dan kekerasan adalah hal yang terpisahkan. Jika dicampur, kita mengulang kesalahan yang ada dalam semangat proses penegakan hukum,” kata Andy.
“Upaya mendorong RUU PKS berdasarkan pada fakta. Bukan imajinatif dan sesuatu yang bersifat konseptual, atau semata-mata perlu ratifikasi. Melainkan kebutuhan nyata di masyarakat karena banyaknya pendokumentasian kasus oleh lembaga pendamping korban.”
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan menandatangani petisi di sini.
Comments