“Indah” teringat kembali kekesalannya saat foto dan data pribadinya tiba-tiba terpampang di akun Instagram @Unpad.geulis tanpa seizinnya, pada 2018 lalu. Akun tersebut memang cukup populer di kalangan mahasiswa karena kerap membagikan foto-foto mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung yang dianggap cantik, lengkap dengan nama, jurusan, dan fakultasnya.
“Admin-nya ngambil fotoku dari akun Instagram pribadiku tanpa izin. Sesuka hatinya dia saja ambil yang mana,” ujar alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran itu kepada Magdalene.
Meski kesal, Indah awalnya tidak menganggap serius perkara wajahnya yang terpampang di akun tersebut. Namun, ia mulai merasa terganggu dan tidak nyaman setelah akun Instagram dan Line-nya dibanjiri pesan-pesan bernada seksual dari laki-laki tidak dikenal.
Selain itu, ia juga geram membaca komentar-komentar di akun tersebut yang dinilainya sangat mengobjektifikasi perempuan. Indah akhirnya memutuskan untuk menghubungi pemilik akun tersebut dan meminta foto dirinya dihapus.
“Waktu itu followersnya belum ratusan ribu seperti sekarang. Tapi itu saja sudah bikin risi dan pusing. Untungnya pas aku suruh hapus ya dia hapus,” ujar Indah.
Indah bukan satu-satunya korban yang dirugikan, apalagi tidak hanya mahasiswi Unpad saja yang dipajang di “akun cantik” ini. Akun-akun serupa berisi foto-foto mahasiswi dari berbagai universitas juga bertebaran di Instagram dan Line, seperti @ui.cantik, @ugmcantik, @undip.cantik, dan @unj.cantik.
Akun Mahasiswi Cantik Raup Jutaan Rupiah Setiap Bulan
Pada 2018, akun-akun cantik ini sempat ramai dibicarakan di media sosial dan media massa, menyusul utas panjang dari Annisa Alifah, lewat akun Twitter @annalifah, korban administrator atau admin @ui.cantik yang mencomot foto dan data pribadinya tanpa izin.
Kegeramannya memuncak setelah mengetahui akun-akun itu meraup keuntungan finansial dari berbagai macam iklan. Padahal, konten yang mereka unggah itu melanggar privasi orang lain. Annisa menulis bahwa ia sempat memprotes pun tidak pernah digubris sang admin.
“Si bodat-bodat (monyet) ini bisa ke (restoran) Kintan, beli sepatu baru, ganti parfum, dan jalan-jalan ke Singapura tiap minggu dari hasil nyolong foto orang sembarangan,” tulisnya.
Baca juga: Ancaman Utama yang Perlu Diatasi Lewat UU Perlindungan Data Pribadi
Unggahan itu sontak membuat puluhan korban lain buka suara tentang pengalaman serupa. Pelaporan massal akun @ui.cantik oleh warganet kemudian membuat akun ini menghilang dari Instagram. Akun-akun kampus lainnya serentak mengubah pengaturan akun agar tidak bisa diakses publik secara terbuka.
Meski ada banyak protes, akun-akun mahasiswi cantik tersebut masih eksis hingga sekarang. Bahkan, kini, tak hanya mahasiswi cantik, ada juga akun-akun Instagram mahasiswa ganteng yang muncul, seperti @uiganteng, @unpad.ganteng, dan @undip_ganteng, dengan modus yang sama. Dengan jumlah pengikut yang sudah mencapai angka ratusan ribu, mereka meraup keuntungan dari berbagai produk dan jasa yang memasang iklan di akunnya.
Saya berusaha menelusuri orang-orang di balik akun-akun tersebut dan menemukan bahwa mereka ternyata terkoneksi satu sama lain. Sebagian besar akun-akun kampus itu–kecuali yang berafiliasi dengan nama UI— dikelola oleh laki-laki berinisial “A” dan rekannya. Hal ini terindikasi, salah satunya, dari nomor WhatsApp sama dengan yang tercantum dalam akun-akun tersebut.
Saat saya mengontak admin lewat Line dan mengatakan dari Magdalene, sang admin tidak menjawab. Tapi ketika dihubungi lewat nomor WhatsApp pribadi dengan tidak mengaku dari Magdalene, baru dia (atau mereka) menjawab.
Admin “A” enggan menyebut berapa banyak uang yang diterimanya setiap bulan, namun ia mengatakan, penghasilannya dari sana cukup untuk menghidupi ia dan rekannya. Ia mematok harga yang berbeda-beda di setiap akun, tergantung dari jumlah pengikutnya.
“Kisarannya 250-500 ribu per post tergantung paketnya,” ujarnya.
A mengatakan ia tidak takut diprotes seperti yang terjadi dua tahun lalu, karena sekarang ini konten-konten yang diunggah sudah mendapat izin terlebih dulu dari yang empunya foto. Alhasil, ia lebih mudah meyakinkan orang-orang yang ingin memasang iklan.
Selain meraup untung dari iklan, mereka juga menjual berbagai macam aksesoris kampus-kampus yang mereka catut namanya. Selama masa pandemi sekarang ini, mereka juga memanfaatkan peluang dengan berjualan masker.
Baca juga: Kasus Ravio Patra dan Pentingnya Regulasi Perlindungan Data Pribadi
Minimnya Payung Hukum Soal Data Pribadi di Akun Cantik
Lintang Setianti, peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang sedang berfokus pada Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), mengatakan, tren bisnis yang memanfaatkan data pribadi orang lain seperti akun-akun mahasiswi cantik itu merupakan bentuk dari minimnya pemahaman tentang pentingnya perlindungan data pribadi.
“Meskipun sudah mendapat izin, orang kadang enggak paham kalau data kita diambil orang itu berbahaya. Kita bisa kena serangan. Apalagi kalau sampai nge-tag, terus ditambahkan keterangan nama lengkap dan fakultas, kan jadinya kelihatan semua,” ujar Lintang kepada Magdalene.
Di level yang paling ekstrem, pembiaran akun-akun ini bisa berakibat pada normalisasi pengambilan data pribadi secara masif. Dengan dalih bahwa yang diunggah di internet bisa dikonsumsi publik, orang semakin terbuai untuk melakukan akun-akun tandingan lain, dengan tujuan keuntungan, ujarnya.
Menurut Lintang, menjamurnya akun-akun tersebut adalah implikasi dari ketiadaan payung hukum yang melindungi data pribadi kita. Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan korban yang merasa tidak nyaman dengan akun tersebut, namun tidak ada satu pun yang berani melapor ke pihak yang berwajib, ujarnya.
RUU PDP yang seharusnya bisa melindungi data pribadi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab pun sampai sekarang masih mandek pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ujar Lintang.
“Sudah jelas mereka ini meraup keuntungan dari data pribadi orang ya, tapi sampai sekarang belum ada sanksi hukum yang jelas,” ujarnya.
Lintang menambahkan, saat ini, pasal yang paling memungkinkan untuk menjerat kasus-kasus semacam ini adalah Pasal 26 ayat 1 dan 2 Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Tapi jelas UU ITE ini bermasalah dan sering kali mengkriminalisasi korban.
“Yang jadi masalah di UU ITE ini enggak jelas bentuk pembuktiannya apa. Kan harus ada kerugian, kalau kerugiannya psikis biasanya jarang diproses,” ujarnya.
“Contohnya, kasus GA ya, harusnya bisa pakai pasal UU ITE ini karena kan penyebarnya itu enggak ada izin. Tapi malah dijerat pakai UU Pornografi. Ini sih kayaknya yang bikin korban juga makin enggan melapor,” ujar Lintang, mengacu pada kasus penyebaran video hubungan seks seorang selebritas.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang RUU PKS
Jika Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), ujarnya, kasus seperti ini bisa diproses karena RUU ini memuat pasal yang melindungi korban dari kekerasan berbasis gender online (KBGO) dengan pertimbangan bukti kerugian psikis.
“Pilihan buat melakukan somasi sama pelaku juga bisa dilakukan kalau dirasa melapor pakai pasal UU ITE itu capek dan ribet,” imbuh Lintang.
Standar Kecantikan Absurd dan Normalisasi Objektifikasi
Selain mendapat keuntungan dengan jalan menerobos privasi orang lain, akun-akun ini jika terus dibiarkan akan semakin menormalisasi objektifikasi, terutama pada perempuan.
“Kesannya mungkin kayak fun, tapi secara enggak sadar semakin menormalisasi atau mengundang orang untuk mengobjektifikasi perempuan maupun laki-laki,” ujar Lintang.
Akun-akun mahasiswi cantik ini juga menggunakan standar kecantikan yang dangkal dan normatif. Kebanyakan perempuan yang dipilih adalah mereka yang berkulit putih, bertubuh tinggi, dan langsing.
Aktivis perempuan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks), An Nisaa Yovani mengatakan, jika standar kecantikan normatif terus diproduksi dan dibiarkan di ruang publik secara terus menerus, hal itu akan dianggap sesuatu yang tidak bermasalah.
“Bahkan ada beberapa orang yang merasa, ‘Kenapa sih lo bermasalah ketika masuk akun-akun cantik ini’. Masuk akun-akun seperti ini jadi sering dianggap pujian,” ujarnya.
An Nisaa mengatakan, akun-akun ini secara tidak sadar telah melestarikan kultur kekerasan, karena sebagian besar komentar bernada seksis dan misoginis. Meskipun di sana juga dicantumkan informasi lain, namun orang akan cenderung mengomentari fisiknya, daripada prestasi atau kepintarannya. Selain itu, jika ada yang dianggap kurang cantik atau kurang ganteng, biasanya mereka akan mendapatkan hujatan serta dianggap tidak pantas masuk akun-akun tersebut.
“Kalau kita lihat dari piramida rape culture (budaya pemerkosaan), itu kan dimulai dari candaan dan komentar-komentar seksis lainnya. Budaya mengobjektifikasi seseorang ini akan dianggap lucu dan biasa saja (normal) kalau terus dibiarkan,” ujar An Nisaa pada Magdalene.
Comments