Dengan percaya diri saya nyatakan bahwa saya seseorang yang mandiri dan memang hobi sendirian. Saya sangat sanggup bertoleransi dengan rasa kesepian. Dalam skala 1-00, mungkin toleransi saya pada angka 85-90.
Saya tinggal seorang diri di kota yang berbeda dengan keluarga. Kota yang saya diami ini masih jadi wilayah yang cukup asing buat saya. Jumlah teman saya di kota ini bisa dihitung dengan 10 jari, tapi saya tidak merasa keberatan. Ditambah lagi, saya mendapat akses bekerja dari rumah. Isolasi mandiri bukan hal yang baru buat saya walau situasinya saat ini jelas tidak diinginkan.
Saya juga merasa cukup berpengetahuan mengenai informasi terkait infeksi virus COVID-19, seperti langkah-langkah apa yang perlu diambil ketika tahu saya terinfeksi. Lalu bagaimana untuk tidak perlu khawatir berlebihan ketika terinfeksi. Atau bahwa saya harus segera menghubungi dan mengabari orang-orang yang terakhir ditemui secara fisik, prosedur isolasi mandiri, dan lain sebagainya, jika saya terinfeksi.
Tapi ada dua detail penting yang luput dari perhatian saya. Apa yang terjadi kalau saya terinfeksi dan jauh dari rumah? Lalu bagaimana keadaan lingkungan yang saya tinggali? Ini yang terjadi pada saya, dan saya tinggal di sebuah rumah kos.
Pada suatu Senin, saya bangun dengan badan yang terasa tidak enak, sedikit pilek dan lemas. Saya memutuskan untuk melakukan tes antigen di kamar kos, karena ada beberapa klinik yang menyediakan layanan home visit untuk tes COVID-19 dengan nominal yang dapat dimaklumi dan dipahami. Petugas datang, prosedur berlangsung hanya sekitar 10 menit, hasilnya negatif, dan saya lanjut bekerja dari rumah kos. Hari itu berlanjut seperti biasa.
Baca juga: Kisah Penyintas COVID-19: Dunia yang Tak Aman Bagi Perempuan
Tiga hari berikutnya, saya melakukan tes kembali karena ada keperluan bepergian ke luar kota. Seperti sebelumnya, saya memanggil petugas klinik untuk melakukan tes antigen. Betapa terkejutnya saya karena hasilnya adalah saya positif terinfeksi COVID-19. Saya disarankan melakukan isolasi mandiri selama 10 hari karena gejala ringan.
Isolasi Mandiri sebagai Anak Kos
Tidak ada rasa ingin menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain ketika mengetahui hasil tes tersebut. “Tidak ada waktu buat saya sedih,” pikir saya. Semuanya prosedural. Tidak ada yang perlu ditakuti, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu ditangisi.
Saya hanya ingin memastikan orang-orang di sekitar saya tidak terinfeksi, atau setidaknya saya tahu mereka baik-baik saja. Saya langsung memikirkan logistik beberapa hari ke depan, bagaimana saya makan dan minum obat, walaupun kepala kalut dan sedikit (sedikit saja!) deg-degan mengingat kondisi kesehatan saya ke depannya.
Saya langsung mengabari keluarga, mengabari semua teman yang sempat saya jumpai secara fisik, dan tentu saja, penjaga rumah kos.
Kadang saya lupa tidak semua orang dapat menanggapi berita ini dengan respons yang diharapkan. Ya, singkatnya, reaksi diskriminatif atau stigma negatif sangat mungkin terjadi. Pasien COVID-19 dianggap sebagai sumber penyakit. Padahal saya juga tidak tahu saya tertular dari mana, apalagi ternyata semua orang yang pernah berinteraksi dengan saya hasil tesnya negatif.
Melihat dari banyaknya kasus orang yang terinfeksi COVID-19 di rumah kos dan kehilangan tempat tinggal, saya merasa sedikit lega ada rasa pengertian dari pihak rumah kos. Saya masih bisa bernaung di sini dan melakukan aktivitas seperti biasa, dengan protokol kesehatan yang lebih ketat, tentunya. Saya juga ditawarkan bantuan masakan. Hanya saja, saya dimohon untuk tidak menyebarkan hal ini pada penghuni kos lain. Saya bisa menerima hal itu.
Baca juga: Virus Corona atau Bukan, Ya?: Pengalaman Merawat ODP di Rumah
Malam pertama saya menjalani isolasi mandiri, saya mendapatkan pesan dari penjaga kos. Saya diingatkan untuk tidak membuat warga kamar rumah kos mengetahui saya terinfeksi COVID-19. Saya menanggapi pesan tersebut, dan tetap merasa biasa saja. Tapi esoknya, pesan yang sama bertubi-tubi datang dari penjaga kos.
“Jangan ketahuan ya, nanti ribut,” tulisnya.
Saya juga dikirimi pesan berulang untuk tidak keluar kamar sama sekali, padahal saya butuh mengambil pesanan makan malam, dan tidak ada orang di rumah kos yang dapat mengambil paket itu.
Setelah mengalami reaksi-reaksi seperti ini, beberapa kali saya tidur dengan perasaan tidak tenang. Semua pengetahuan mengenai prosedur isolasi mandiri menguap begitu saja. Menjalani isolasi ini terasa berat.
Beban Ganda Anak Kos yang Terinfeksi COVID-19
Lalu saya baru menyadari ternyata ada biaya emosi yang juga harus dibayar, seakan obat-obatan saja tidak cukup. Beberapa kali saya mendapatkan pesan untuk tidak khawatir dan menjalani semua ini tanpa beban pikiran. Namun, menghadapi reaksi-reaksi tadi, bagaimana enggak kepikiran?
Menjalani isolasi mandiri secara sendirian di tempat kos membuat saya sadar, ada beban ganda yang harus saya jalani, yakni sebagai pasien sekaligus perawat. Saya harus memastikan diri saya baik-baik saja, sadar betul dengan kondisi tubuh, tapi juga meyakinkan diriku bahwa saya baik-baik saja. Seperti ketika saya sakit kepala dan badan terasa lemas, tapi orang-orang di sekitar saya juga khawatir mengenai risiko yang akan mereka hadapi, dan saya perlu menenangkan mereka juga.
Baca juga: Kisah Relawan COVID-19: Kepedulian dalam Sepaket Sembako dan Sehelai Masker
Saya memang tidak bisa meminta secara langsung dan cepat kepada lingkungan sekitar untuk berhenti menstigmatisasi pasien COVID-19. Tapi setidaknya, jika kalian sebagai pembaca bisa mendapatkan akses pengetahuan mengenai cara mendukung atau memberi perhatian pada orang di sekitar kalian yang terinfeksi COVID-19, tolong lakukan itu.
Semua upaya sudah saya lakukan untuk mencegah agar tidak terinfeksi. Mulai cuci tangan sambil nyanyi Happy Birthday dua kali, dan lebih banyak di rumah saja daripada ke tempat orang berkerumun. Untuk fokus kepada penyembuhan sendiri saja sudah pe-er, ditambah dengan beban ganda seperti ini. Kami tidak pernah menginginkan untuk terpapar dan terinfeksi COVID-19.
Saya perlu merasa bersyukur bahwa saya mengalami kasus dan gejala yang ringan, serta sanggup merawat diri sendiri. Tapi memang tidak bisa dimungkiri, stigma negatif mengenai kluster rumah kos cukup membuat kecemasan melonjak naik. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah memberi informasi mengenai risiko COVID-19 dengan cara yang lebih komunikatif kepada warga kos lainnya.
Sejauh ini, informasi yang beredar mengenai penanganan COVID-19 rata-rata seputar prosedur isolasi mandiri atau rawat inap di luar. Namun aspek kesejahteraan mental pasien belum terlalu dibahas, apalagi jika posisinya seorang diri dan tidak berada di lingkungan rumah. Padahal itu sangat penting. Tangki emosional terkadang selalu memadai dan cukup buat diri sendiri, apalagi untuk menghadapi hal-hal seperti ini. Jika tidak mampu berempati, setidaknya jangan mendiskriminasi.
Comments