Menyukai kebebasan dalam hubungan romantis, membawa “Dinda”—bukan nama sebenarnya, memilih meninggalkan relasi monogami. Perempuan yang bekerja sebagai konsultan dan tenaga pengajar itu menganggap, jenis hubungan yang mayoritas dianut masyarakat tersebut terlalu mengikatnya dengan seseorang.
“Aku enggak suka dijadikan obsession dan possession,” ujarnya dalam wawancara bersama Magdalene, (30/6). “Terlalu monogamis dan aku enggak bisa ada dalam hubungan seperti itu.”
Bagi Dinda, relasi monogami terlalu monoton. Ia hanya boleh memberikan kabar pada satu orang, termasuk update lokasi ke mana pun dirinya pergi. Semuanya terlalu berkaitan dengan fisik, menurutnya. Sementara dari segi gagasan, nilai sikap, dan cara memandang sesuatu sangat berbeda.
“Seolah-olah relasi itu ada cuma karena saya dan kamu saling suka,” tambahnya. “Saya melihat dalam poliamori itu ada twin flame, atau kesamaan energi yang dimiliki orang lain.”
Atas kesadaran itu, Dinda menjalani hubungan poliamori. Awalnya, ia memulai pertemanan dengan “Ardi”, lelaki yang dikenalnya pada 2011. Mereka menjalin relasi tanpa “menargetkan” untuk menjadi pasangan. Setelah berteman selama dua tahun, ia melihat sosok Ardi dari sudut pandang yang lebih intim. Kemudian, Dinda membicarakan keinginannya yang lebih menyukai hubungan tidak eksklusif.
Lima tahun setelahnya, Dinda kembali bertemu “Victor”, temannya semasa SMP dan SMA. Sama seperti Ardi, mereka enggak langsung terlibat dalam hubungan romantis, melainkan mengenal satu sama lain. Sebab, sewaktu sekolah, keduanya belum menjalin kedekatan.
“Sampai sekarang, hubunganku cuma sama mereka berdua aja. I share my intention equally,” katanya.
Melansir WebMD, jenis hubungan poliamori yang dilakukan Dinda disebut sebagai non-hierarchical polyamory. Di dalamnya tidak ada hierarki pasangan secara terstruktur—primer atau sekunder, karena baik Ardi maupun Victor memiliki waktu dan menerima perhatian yang sama dari Dinda.
“Saya memercayai prinsip hubungan yang setara, enggak ada yang superior dan subordinat,” akunya. Hal itu dibuktikan Dinda dengan berbagi cerita ke masing-masing pasangannya, saling mengisi waktu, dan menghargai kehadiran satu sama lain.
“Dalam hubungan kami, enggak ada anggapan memiliki atau dimiliki,” katanya, menerangkan salah satu alasannya menyukai hubungan poliamori.
Perkara kepemilikan, umumnya memang terjadi dalam relasi monogami. Meskipun sebenarnya kita tidak dapat mengklaim atau diklaim oleh siapa pun. Pasalnya, kepemilikan menunjukkan adanya kontrol atas pasangan, yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Karena itu, Dinda menilai kesetaraan dalam hubungan bisa diperoleh lewat poliamori. Selain itu, ia juga merasa cara hidup, berpikir, dan prinsip hidupnya lebih dipahami dan dihargai. Baik dirinya, Ardi, dan Victor memiliki kesamaan gagasan dalam memandang pekerjaan, hidup, dan percintaan.
Ketiganya workaholic lantaran memandang pekerjaan sebagai bagian hidupnya yang tidak dapat diganggu. Soal kehidupan, mereka tidak menyukai nilai-nilai konservatif termasuk ilusi kesempurnaan yang diciptakan agama. Pun dalam percintaan, mereka punya love language act of service yang diberikan lewat dukungan moral.
“Aku enggak dinegasi. Mereka justru menghargai dan meng-embrace keunikanku,” tuturnya.
Baca Juga: Apa itu Hubungan ‘Codependent’: Rawat Pasangan, Abai dengan Diri Sendiri
Definisi Poliamori
Dalam kehidupan sehari-hari, enggak dimungkiri kalau kita lebih familier dengan hubungan monogami. Bahkan, peneliti Joseph Henrich, dkk. dalam riset The puzzle of monogamous marriage (2012) mengatakan, 58 persen ikatan pernikahan adalah monogami. Begitu pula dengan di Indonesia, yang hanya melegalkan jenis hubungan tersebut dalam ikatan pernikahan.
Istilah poliamori sendiri pertama kali muncul dalam artikel berjudul “A Bouquet of Lovers”, oleh penulis Morning Glory Zell-Ravenheart dalam Green Egg Magazine pada 1990.
Ketika diminta Oxford English Dictionary untuk mendefinisikan “poly-amorous”, Zell-Ravenheart menjelaskannya sebagai keadaan atau kemampuan memiliki lebih dari satu relasi romantis dan seksual di saat yang bersamaan, dengan sepengetahuan dan persetujuan pihak yang terlibat.
Sementara masyarakat pada umumnya, lebih familier dengan monogami karena sudah mengenal jenis hubungan tersebut sejak 1.000 tahun lalu. Hal itu tertulis dalam penelitian Male infanticide leads to social monogamy in primates (2013) oleh Christopher Opie.
Sebenarnya, 75 tahun sebelumnya manusia lebih suka hidup menyendiri dan kawin saat ingin saja. Namun, ikatan antar manusia dilakukan untuk melindungi anak-anak mereka, dari ancaman pembunuhan bayi. Akibatnya, laki-laki bertahan dengan seorang perempuan, untuk melindungi mereka dari laki-laki lain.
Karena itu, kita akrab dengan konsep the one, yakni hanya ada satu orang yang menjadi pasangan hidup. Lalu, muncul pandangan miring terkait hubungan di luar monogami. Salah satunya poliamori.
Masyarakat menilai mereka yang menganut hubungan poliamori tidak mampu berkomitmen, hanya membutuhkan pasangan demi memuaskan hasrat seksual, atau disamakan dengan gaya hidup sugar baby. Alhasil kerap melihat monogami sebagai jenis hubungan yang paling tepat.
Menurut seksolog Zoya Amirin, pemahaman tersebut disebabkan oleh sudut pandang normatif, sehingga cenderung menolak sesuatu yang tidak biasa secara sosial. “Masyarakat itu enggak mencoba memahami kalau manusia itu dinamis. Padahal belum tentu segala sesuatu yang tidak biasa itu buruk,” ujarnya.
Realitasnya, poliamori justru dapat berjalan baik dengan komitmen. Setiap pihak yang terlibat di dalam relasi tersebut, mengandalkan consent yang diberikan dengan sadar untuk membangun kesepakatan. Mereka menyadari tidak bisa terikat dengan hanya satu orang, mengetahui keberadaan satu sama lain, dan mengambil keputusan bersama.
Lebih dari itu, butuh waktu lama untuk akhirnya sebuah hubungan terbentuk sebagai poliamori. Sebab, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sesederhana mengedukasi diri tentang poliamori dan hubungan non-monogami. Misalnya, edukasi soal metamour—pasangan dari pasangan kita yang tidak terlibat secara langsung, atau compersion, yakni ikut merasa gembira dengan kebahagiaan pasangan.
Di luar itu, poliamori kerap dipersepsikan secara keliru. Dinda sendiri pernah terlibat dengan seseorang yang enggak betul-betul memahami konsep hubungan poliamori. Pada akhirnya, sosok tersebut tidak bisa menerima hubungannya dan menilai relasi itu tidak bisa dibenarkan dalam hal apa pun.
“Menurut dia ya kalau udah get involved dalam relationship, ya orang itu cuma buat satu orang aja,” ujarnya.
Berdasarkan pengalamannya, Dinda mengatakan poliamori memang perlu dibangun dengan pertemanan. Kemudian saling terbuka, percaya, dan muncul keinginan untuk membangun relasi bersama.
“Kuncinya itu di investasi waktu untuk mengenal, sih. Soalnya enggak mungkin PDKT dalam waktu singkat, terus berharap tingkat kesetiaannya akan berbanding lurus,” tambahnya.
Bagi Dinda, poliamori bisa dimulai dari sekelompok orang yang pernah ngobrol bareng, satu proyek, atau bertemu di kesempatan lain yang kemudian memiliki kesempatan, untuk mengenal lebih dalam.
“Biasanya prosesnya banyak kumpul bareng dan deep talk. Jadi kayak teman dekat aja,” ceritanya. Dari situ, mereka membahas dan menemukan kesamaan tentang banyak hal. Mulai dari makanan, fesyen, politik, keinginan secara seksual, kebiasaan, hobi, ketertarikan, dan trauma yang dimiliki.
Berangkat dari kecocokan dan keterbukaan itu, Dinda akan mengutarakan bahwa ia merasa nyaman dengan sosok yang sedang dekat dengannya. Lalu bertanya, apakah orang tersebut mau terlibat dalam poliamori. “Faktanya, gue juga lagi serius dengan orang lain,” tuturnya meniru penjelasan yang pernah ia berikan.
Sebelum berada di titik saat ini, relasi Dinda dengan Ardi dan Victor telah melalui perjalanan panjang. Ketiganya pernah terlibat dalam jenis hubungan solo polyamory yang melibatkan lima orang. Tipe relasi itu tidak memiliki pasangan utama, tapi berkencan dengan beberapa orang. Pun mereka cenderung independen dalam kehidupan pribadinya.
Seiring berjalannya waktu, Dinda menginginkan hubungannya lebih privat bersama orang-orang yang dianggapnya tepat. “Waktu berlima itu, get personal-nya sebenarnya enggak sama semua. Makanya mendingan sama partner utama,” ungkapnya.
Selain itu, ia melihat adanya faktor usia dan kehadiran seorang anak dalam hidupnya. Inilah yang membuat Dinda tidak mempertimbangkan menambah relasi dengan orang lain dalam hubungannya.
Dalam artikel WebMD yang sama dijelaskan, ada beberapa tipe poliamori. Yang pertama, solo polyamory, seperti yang pernah dialami Dinda bersama empat orang lainnya.
Kedua, polyfidelity, yang mengacu pada sekelompok tiga orang atau lebih. Mereka berkomitmen terhadap satu sama lain, dan tidak berkencan dengan orang lain di luar kelompoknya.
Ketiga, hierarchical polyamory. Relasi ini memiliki struktur hubungan, tentang siapa yang menjadi pasangan utama dan sekunder. Hal itu akan menentukan siapa yang paling banyak punya waktu bersama dan menerima perhatian. Pun pasangan utama cenderung memiliki kekuasaan lebih besar jika menyangkut keputusan penting.
Yang terakhir, adalah non-hierarchical polyamory, seperti yang dijalani Dinda bersama Victor dan Ardi saat ini. Mereka tidak memiliki pasangan primer atau sekunder, karena setiap pasangan mendapatkan perhatian, dan bisa menghabiskan waktu bersama dengan setara. Begitu pula dengan memberikan masukan atas pilihan hidup yang penting.
Berkaca pada Dinda, tipe hubungan poliamori dapat berubah. Seksolog Zoya mengatakan, hal ini disebabkan oleh dinamika dari setiap individu yang terlibat dalam hubungan tersebut. Pasalnya, perasaan bukan sebuah hal yang bisa dianggap logis.
“Kadang apa yang kita pikirkan secara logika tentang kebutuhan yang dianggap perlu, ketika dijalani terjadi perubahan struktur termasuk perubahan,” jelasnya.
“Apalagi kalau mereka adalah individu yang perseptif. Biasanya mereka merasakan kebutuhan itu dan menyesuaikannya dengan perasaan mereka, serta kebutuhannya dalam menjalin relasi.”
Baca Juga: 4 Cara Budaya Patriarki Melihat Kasus Perselingkuhan
Bagaimana Poliamori Bekerja: Plus Minus
Serupa dengan jenis hubungan lainnya, consent dan keterbukaan menjadi dua aspek penting dalam poliamori. Keduanya berdampak pada kualitas hubungan, tepatnya dengan cara memperlakukan pasangan, serta membantu menentukan batas keamanan secara fisik dan emosional yang aman.
Misalnya dalam hal menambah pasangan. Keputusan itu harus menjadi kesepakatan setiap orang yang terlibat di dalam kelompok. Kemudian, didiskusikan bagaimana hubungan tersebut akan dilanjutkan, termasuk menentukan boundaries.
“Mereka mesti punya semacam forum group discussion yang membahas itu,” terang Zoya. “Masalah kencannya gimana—grup atau berdua-berdua, soal hubungan seksual, sampai pembagian pekerjaan rumah tangga kalau mereka menikah.”
Kendati demikian, poliamori juga perlu didasarkan pada kesadaran akan kemampuan menjaga kesetiaan, mampu berbagi, meregulasikan dan mendiskusikan perasaannya pada beberapa orang di dalam kelompoknya, secara eksklusif.
“Enaknya poliamori buatku jadi fair aja, enggak ada yang bisa mengklaim siapa yang berhubungan paling banyak,” kata Dinda. “Soalnya ini berdasarkan consent. Memang (hubungan) yang setara itu kayak gitu sih, jadi enggak ada manipulasi yang mengarah ke pengorbanan.”
Perempuan berdomisili di Malang, Jawa Timur itu menceritakan, bertanggung jawab, bersikap adil, dan terbuka merupakan aspek paling penting dalam poliamori. Dinda mencontohkan, ketika ia sedang menghabiskan waktu dengan Victor, Ardi perlu tahu dan enggak boleh mengganggu. Begitu juga sebaliknya.
Pun, ketika ia sedang merasa rentan dan membutuhkan salah satu dari pasangannya, mereka enggak bisa menghiraukan perasaan tersebut dengan anggapan ‘masih ada pasangan lainnya’.
Perkara manajemen perasaan itulah yang juga perlu digarisbawahi dalam hubungan poliamori. Terutama soal kecemburuan. Pasalnya, terlibat dalam relasi ini bukan berarti bisa meremehkan perasaan cemburu terhadap pasangan lainnya, hanya karena dilihat sebagai ‘konsekuensi’ atas hubungan yang dijalin.
Dalam tulisannya di Psychology Today, terapis Martha Kauppi mengatakan, emosi bersifat tidak pasti sehingga kemunculannya tidak dapat dikontrol. Karena itu, perasaan cemburu bukan berarti ada kesalahan yang dilakukan pasangan ataupun diri sendiri.
“Perasaan itu saklek ya. Kalau ada yang cemburu, harus didiskusikan secara kelompok, bagaimana satu orang misalnya merasa kurang diperhatikan,” terang Zoya, sependapat dengan tulisan Kauppi.
Dengan demikian, pihak lainnya perlu mempertimbangkan apa yang perlu dilakukan untuk menjaga perasaan satu sama lain.
Baca Juga: Saya Ingin Mencintai Laki-laki sebagai Mitra
Berbeda dengan Open Relationship
Akibat keduanya melibatkan lebih dari satu pasangan, pertanyaan ini kerap kali muncul; apa perbedaan poliamori dengan open relationship?
Menjawab pertanyaan tersebut, Zoya mengatakan dalam open relationship, pasangan setia terhadap satu sama lain tapi mereka punya perjanjian untuk berhubungan seks dengan orang selain pasangannya.
“Secara seksual, relasinya enggak eksklusif. Ada aturan bagi mereka untuk komunikasi dengan kode tertentu,” jelas Zoya. Pun keduanya tidak boleh mengetahui kegiatan apa yang pasangannya lakukan, dan tidak perlu mengetahui siapa partner dari pasangannya. Yang penting, keduanya mematuhi sejumlah aturan yang ditetapkan.
“Yang perlu dicatat, open relationship yang sehat itu dua-duanya berhubungan dengan orang lain. Enggak bisa cuma salah satu, karena jadinya nggak setara,” tambah Zoya.
Sementara poliamori, semua pihak yang terlibat dalam kelompok itu mengetahui satu sama lain, memiliki ikatan, dan menjalin hubungan yang tidak hanya sekadar seks, melainkan juga hubungan asmara yang sah. Relasi itu juga dapat ditetapkan untuk jangka panjang.
“Kalau salah satu pihak dalam hubungan mereka ingin melibatkan orang lain, semua orang dalam kelompok itu harus tahu dan setuju,” ucap Zoya menggarisbawahi aspek penting dalam poliamori.
Ia pun menekankan, jenis hubungan ini belum tentu bisa dilakukan semua orang. Sebab, ada banyak batasan dan consent yang perlu didiskusikan.
“Be wise to choose your relationship. Pastikan hubungan itu membuat kita jadi individu yang lebih bahagia, dan bisa memenuhi bukan hanya diri kita, tapi juga banyak orang di kelompok itu,” tutup Zoya.
Comments