Sebagai seorang anak yang diadopsi oleh keluarga berada, saya memahami bahwa hal itu memberikan saya privilese yang berlimpah. Sebelum saya diadopsi, saya terlahir dari orang tua yang kesulitan secara ekonomi. Boro-boro untuk sekolah kelima kakak saya, untuk makan sehari-hari saja sulit.
Saya tidak terlalu kenal dengan keluarga kandung saya, namun yang pasti, saya hanya tahu bahwa kelahiran saya merupakan hasil dari kehamilan yang tidak direncanakan, sebab ibu saya tidak mendapatkan akses kontrasepsi yang memadai.
Ketika saya mengetahui fakta bahwa saya merupakan anak adopsi, ini menjadi pukulan besar bagi saya. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, saya bisa menerima fakta itu dan bahkan menjadikannya sebagai bahan refleksi.
Ada banyak hak istimewa yang saya dapatkan setelah diadopsi, salah satu yang paling berpengaruh dalam hidup saya adalah akses terhadap pendidikan yang layak. Dari semua anak ibu kandung saya, hanya saya yang berhasil lulus hingga tingkat sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Sedangkan, kakak-kakak saya bahkan ada yang hanya lulusan SMP. Hal ini tentunya membuat saya termenung dan memahami betapa privilese adalah senjata ampuh untuk hidup yang nyaman.
Apa itu Privilese
Dikutip dari Everyday Feminism, kata privilese dapat dilacak kembali ke tahun 1930-an, ketika sosiolog Amerika, W.E.B DuBois menulis tentang “psychological wage”, sebuah konsep yang membuat orang ras kulit putih merasa lebih superior dari orang kulit hitam.
Baca Juga: Beda Kelakuan Kelompok Privilese Kala Pandemi
Pada tahun 1988, aktivis Amerika Peggy Mcintosh memberikan informasi terkait dengan gagasan tentang privilese. Ia menulis, privilese merupakan seperangkat keistimewaan yang diberikan secara cuma-cuma terhadap orang-orang yang masuk ke dalam kelompok sosial tertentu.
Ketika kamu memiliki hak istimewa tertentu artinya, kamu memiliki seperangkat keberuntungan yang disebabkan oleh beberapa aspek dalam hidupmu yang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Beragam Contoh Privilese dalam Keseharian Kita
Banyak sekali bentuk privilese yang berada di dalam masyarakat. Setiap aspek yang beberapa orang nikmati, bisa saja merupakan hak istimewa yang hanya dirasakan oleh mereka. Sebelum ini, saya membicarakan tentang privilese yang saya dapatkan saat saya diangkat menjadi anak dalam keluarga lebih berada. Karena hal tersebut, segala aspek kehidupan saya menjadi lebih mudah ketimbang saudara saya yang lain. Itu hanya sebagian kecil bentuk dari sebuah privilese. Dikutip dari VerywellMind, ada beberapa bentuk privilese dalam masyarakat di antaranya;
Privilese Karena Ras
Berbicara tentang rasialisme, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada ras yang merasa lebih superior ketimbang ras lainnya, dan hal itu terlihat dari tingkah laku orang kulit putih dengan pandangan white supremacy mereka. Mereka merasa bahwa orang ras kulit putih merupakan ras paling superior yang dapat mendominasi ras lainnya.
Di Amerika, white supremacy mengakibatkan banyak orang kulit hitam sulit mendapatkan hak-haknya seperti hak atas pendidikan layak. Cara pandang ini juga menjadi akar dari banyaknya kasus-kasus rasialisme yang terjadi di Amerika yang memicu tagar #BlackLivesMatter.
Tak hanya rasialisme saja, pandangan superioritas terhadap warna kulit lainnya juga berdampak pada standar kecantikan dalam masyarakat. Akibatnya, sebagian dari kita mempercayai bahwa “cantik itu putih” dan berlomba untuk memutihkan warna kulit mereka.
Hak Istimewa Karena Gender
Sebagai seorang perempuan, saya sering kali merasa sebal dengan banyaknya hak istimewa yang diterima oleh laki-laki karena gender mereka. Akibat adanya pandangan patriarki dalam masyarakat, laki-laki lebih banyak mendapatkan hak istimewa ketimbang perempuan. Contohnya, laki-laki boleh bercita-cita menjadi apa saja, sedangkan perempuan selalu dituntut agar mengurus rumah semata.
Baca Juga: Bagaimana Kelompok Berprivilese Menyamankan Diri di Tengah Ketimpangan
Ketika mereka berada di dalam pekerjaan yang sama, laki-laki lebih mudah mendapatkan promosi ketimbang perempuan.
Hak Istimewa Karena Orientasi Seksual
Orang-orang heteroseksual memiliki hak istimewa yang lebih banyak ketimbang orang dengan orientasi seksual lain. Orang-orang heteroseksual dapat hidup dengan nyaman tanpa dihantui oleh persekusi dari masyarakat dan pemerintah, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Depok terhadap kelompok LGBT. Selain itu, mereka juga dapat mengekspresikan cinta mereka terhadap pasangannya, sedangkan orang non-heteroseksual tidak bisa secara terang-terangan melakukan hal itu.
Mengapa Orang Sering Tidak Nyaman Berbicara Soal Hak Istimewa Mereka?
Membicarakan tentang privilese entah kenapa selalu membuat sebagian orang keki dan menuduh lawan bicaranya tidak menghargai hasil kerja keras yang dia lakukan. Padahal, hak istimewa tersebut bukan bermaksud untuk mengecilkan hasil kerja keras seseorang.
Baca Juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan
Mengakui bahwa kita memiliki privilese atau hak istimewa tertentu memang fase yang membuat kita tak nyaman, tapi harus tetap dilakukan. Ketika kita mempelajari privilese yang kita miliki, kita menjadi paham bahwa ada aspek tertentu dalam kehidupan kita yang membantu kita untuk mendapatkan hal itu, entah itu karena gender, status sosial kita, atau pengetahuan kita.
Dengan mempelajari privilese yang kita miliki, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain. Alih-alih menyamankan diri dalam privilese kita, lebih baik kita membantu mengamplifikasi suara dan aspirasi teman-teman yang tidak memiliki privilese.
Comments