Awal bulan Maret 2021 terdengar kabar mengenai atlet voli dan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Aprilia Manganang, yang berganti identitas gender dari perempuan ke laki-laki. Setelah menjalani pemeriksaan, Aprilia ternyata mengidap hipospadia, kondisi di mana terdapat lubang di pangkal penis sehingga terlihat seperti vagina pada bayi yang baru lahir.
Kurangnya wawasan mengenai hal ini menyebabkan orang tua Aprilia membesarkannya sebagai perempuan. Setelah dianggap janggal oleh beberapa pejabat TNI, mantan anggota tim nasional voli putri Indonesia ini akhirnya diperiksa secara menyeluruh sebelum dinyatakan sebagai laki-laki.
Kepala Staf Angkatan Darat TNI, Jendral Andika Perkasa, menekankan kepada media bahwa yang dilakukan Aprilia bukanlah perilaku transgender. Namun dari pola asuh yang diterapkan oleh keluarga Manganang, Aprilia selama ini memahami dirinya sebagai perempuan. Rekan-rekan satu timnya selama menjadi atlet voli juga ada yang bersaksi bahwa Aprilia menunjukkan gerak-gerik layaknya seorang perempuan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gendernya selama ini adalah perempuan, namun alat kelaminnya laki-laki. Maka jika perubahan statusnya turut diikuti oleh perilaku dan peran yang diyakini Aprilia sebagai laki-laki, maka hal tersebut bisa dikatakan perilaku transgender. Kembali ke pernyataan Andika Perkasa, apakah pengetahuan akan gender dan seksualitas pejabat negara ini sangat minim? Apakah citra transgender seburuk itu sehingga transisi gender yang dialami Aprilia harus dinegasikan?
Baca juga: Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas
Standar Ganda Warganet di Indonesia
Awalnya saya resah sebelum membaca komentar-komentar warganet di media sosial mengenai perubahan Aprilia. Sulit rasanya tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat korban perundungan. Jika saya melawan dengan bantuan komentar yang bersifat edukatif, belum tentu mereka yang berpikiran picik paham apa yang saya sampaikan. Belum lagi akun-akun bot yang hadir hanya untuk memperkeruh suasana.
Namun, respons warganet cenderung positif akan perubahan Aprilia. Beberapa warganet menunjukkan sikap suportif terhadap prestasi yang selama ini dihasilkan mantan atlet tim voli putri tersebut. Warganet menyatakan bahwa mereka tidak peduli apakah Aprilia perempuan maupun laki-laki. Menurut mereka, yang penting adalah prestasi yang dihasilkan.
Komentar-komentar lain berterima kasih atas tindakan TNI yang mereka anggap tepat sehingga kondisi yang dialami Aprilia dapat ditangani. Komentar yang muncul adalah rasa syukur bahwa pihak TNI berhasil membantu Aprilia keluar dari kebingungan akan identitasnya yang sekarang sudah jelas.
Sayangnya, komentar-komentar positif seperti ini jarang saya temui di akun resmi media sosial figur publik lainnya yang bertransisi dari laki-laki menjadi perempuan. Dena Rachman, misalnya, masih saja dihujani komentar seperti "suaranya masih seperti laki-laki", "wajah prianya tidak akan hilang", atau "umat nabi Nuh yang tersesat di jaman sekarang".
Jika Aprilia Manganang dipuji prestasinya dan diabaikan transisinya, maka warganet yang adil seharusnya mampu memberi perhatian pada prestasi Dena daripada transisinya yang sudah berlangsung lama. Sebagai pengasuh akun @bebitalk, Dena Rachman menyuarakan perjuangan-perjuangan komunitas yang rentan seperti perempuan dan LGBTQ.
Baca juga: Ketidakadilan Gender Dapat Bermula dari Toilet
Dena juga menyuarakan pentingnya mengesahkan RUU PKS yang dapat melindungi banyak orang dari kekerasan seksual. Namun, komentar-komentar positif yang saya temukan di berita-berita mengenai transisi Aprilia tidak semudah itu saya temukan pada aku media sosial Dena.
Rundungan yang sama terjadi pada Millen Cyrus. Komentar-komentar yang negatif juga dapat ditemukan di setiap unggahan Instagram milik figur yang terkenal lewat YouTube ini. Ujaran-ujaran yang diterimanya kurang lebih seperti "Mas, kalo solat Jumat pake sarung apa celana", "kapan kembali ke kodratmu?", hingga yang bersifat melecehkan seperti "kenapa ditutupin (payudaranya), kan laki".
Millen Cyrus memiliki prestasi Silver Button dari YouTube. Ini menunjukkan bahwa dia sudah memiliki akses untuk bersuara yang nantinya dapat diarahkan ke hal-hal positif yang mampu membawa perubahan baik. Selain itu, usaha Millen menjalani terapi dan lepas dari narkotika merupakan suatu hal yang layak diapresiasi. Namun, kepada media dia menyampaikan bahwa warganet justru merundungnya.
Ada warganet yang protes karena Millen tidak masuk penjara laki-laki. Ada pula yang menyumpahinya agar terkena HIV sebagai balasan atas pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya. Bukannya dukungan, malah trauma yang diterimanya.
Selain itu, apabila warganet lega dan berterima kasih pada TNI yang sudah melepaskan Aprilia dari kebingungan, seharusnya mereka juga paham bahwa transisi yang dilakukan oleh Dena dan Millen turut melepaskan mereka dari kebingungan di masa lampau. Jika mereka mendukung Aprilia dalam meningkatkan kesehatan mentalnya, sudah sewajarnya warganet memberi reaksi yang sama terhadap Dena dan Millen.
Standar ganda yang ditunjukkan oleh warganet semakin memperkuat bahwa mayoritas bangsa kita memiliki maskulinitas yang rapuh. Tidak hanya warganet, beberapa figur publik yang muncul di salah satu televisi swasta turut memberikan pernyataan-pernyataan yang mengukuhkan lemahnya ego sebagian besar laki-laki dan kuatnya pola pikir patriarki di negara ini.
Media, Figur Publik Tidak Ramah Perempuan dan Komunitas Rentan
Ketika mencari tahu lebih banyak mengenai Aprilia Manganang, saya menemukan video wawancara di salah satu televisi swasta yang menghadirkan seksolog, dr. Boyke Dian Nugraha, dan seorang ahli hukum, Martin Suryana.
Pada wawancara tersebut, Martin menyatakan bahwa secara legal Aprilia dapat mengubah identitas gendernya dari perempuan menjadi laki-laki. Hal ini dipaparkan oleh Martin yang pernah mendampingi seorang anak laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan akibat hipospadia. Ahli hukum tersebut menyampaikan kesan bahwa dibesarkan sebagai perempuan adalah hal yang buruk. Dia bahkan menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun kliennya harus “distigma sebagai seorang perempuan”.
Baca juga: Lucinta Luna dan Obsesi Kita dengan Selangkangan Orang Lain
Menahan emosi setelah mendengar bahwa perempuan adalah stigma, saya memaksa diri mendengarkan pemaparan dr. Boyke yang tidak ramah perempuan. Menurutnya, untuk menghindari hipospadia, ibu hamil harus melakukan berbagai macam hal yang dipaparkannya.
Pernyataan yang disampaikan oleh dr. Boyke terdengar seperti beban yang harus ditanggung sendirian oleh perempuan. Akan lebih menenangkan jika seorang pakar melibatkan tidak hanya ibu hamil, tetapi juga pasangan mereka untuk menghindari gangguan kesehatan pada janin yang mereka kandung.
Dari pemberitaan mengenai Aprilia Manganang, masih terlihat banyak standar ganda warganet, media, dan figur publik yang cenderung mendukung transisi gender perempuan ke laki-laki daripada sebaliknya. Tidak hanya menunjukkan kekalnya pemikiran patriarki, namun lemahnya maskulinitas mayoritas laki-laki di Indonesia juga semakin terlihat dari fenomena ini. Memang tidak pasti akan sampai kapan perempuan dan komunitas yang rentan didiskriminasi di negara ini. Namun saya yakin, kita mampu bersatu, bersuara, dan berjuang melawan patriarki.
Comments