Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan akan melaksanakan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) pada September 2021 mendatang. Jadwal ini sempat mundur dari yang awalnya hendak diadakan mulai Maret 2021.
Inisiatif Kemdikbud untuk melaksanakan AKM ini merupakan upaya untuk menghapus Ujian Nasional (UN) yang sudah menjadi momok menakutkan bagi siswa dan orang tua. Berbeda dengan UN yang menjadi satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan anak, AKM akan dilakukan secara berkala untuk mengevaluasi kemampuan literasi dan berhitung anak-anak, serta dilaksanakan pada anak-anak kelas 5,8, dan 11 yang satu tahun lagi akan lulus.
Sebagian orang menyambut baik kebijakan Nadiem untuk menghapus UN. Akan tetapi, banyak orang ragu akan kesuksesan pelaksanaan AKM, di antaranya karena masih mendarah dagingnya budaya UN di Indonesia.
Ini menyebabkan banyak guru Indonesia masih menganggap AKM hanyalah UN dengan nama baru. Di lapangan, misalnya, praktik persiapan tes yang umum saat zaman UN kembali dilakukan seperti munculnya berbagai buku, webinar, dan try out untuk meraih skor tinggi.
Kurangnya sosialisasi dan persiapan pemerintah terkait pelaksanaan AKM juga semakin memperparah kondisi di lapangan.
Banyak Guru Masih “Bermental UN”
Guru dan pihak sekolah seharusnya memaknai kehadiran AKM dengan berakhirnya era tes berstandar nasional yang mempertaruhkan nasib kelulusan anak hanya melalui sekali ujian saja. Artinya, AKM bisa menjadi peluang berubahnya semangat evaluasi pendidikan di Indonesia dari budaya tes menjadi budaya asesmen.
Budaya yang pertama bertujuan sekadar mempersiapkan siswa menghadapi tes atau ujian. Sedangkan yang kedua memandang evaluasi berkala sebagai bagian penting untuk senantiasa meningkatkan proses belajar mengajar.
Baca juga: Ruang (Ny)aman: Pilih Sekolah yang Menjadikan Anak Subjek
Sayangnya, transisi dari budaya pengujian ke budaya asesmen masih terhambat di Indonesia. Masih banyak guru menganggap asesmen baru ini sama saja dengan Ujian Nasional (UN) sehingga guru masih harus mempersiapkan murid untuk menjawab soal dengan sangat baik demi skor yang tinggi.
Akhir tahun lalu terbit buku seperti “Sikat AKM” dan muncul undangan try out ke berbagai sekolah di Jakarta yang menjanjikan kiat-kiat mendapat skor yang tinggi. Mereka juga menganggap perbedaannya dengan UN hanya terletak pada tipe soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang akan lebih banyak mengukur kemampuan nalar siswa.
Berdasarkan teori tingkatan logika berpikir dari psikolog pendidikan Amerika Serikat, Benjamin Bloom, soal yang mengukur nalar tidak sekadar menguji hafalan atau pemahaman, namun juga menerapkan logika tingkat lanjut seperti membedah diagram, menyimpulkan ulang suatu teks yang rumit, atau mendiskusikan solusi terbaik untuk suatu masalah.
Sebagai konsekuensi, kini banyak guru berlomba mengadakan berbagai pelatihan untuk membuat soal berbasis nalar hanya demi mempersiapkan siswanya meraih skor tinggi pada asesmen September nanti.
Sebenarnya, penting bagi guru memiliki kemampuan membuat soal yang mengukur kemampuan nalar siswa. Namun, harusnya tujuannya bukan untuk ‘melatih’ siswa untuk sekadar bisa menjawab soal-soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), melainkan mengembangkan nalar kritis siswa secara jangka panjang.
Pemerintah Belum Antisipasi Budaya Ujian Nasional
Berbagai studi menunjukkan kentalnya budaya pelaksanaan ujian nasional selama ini menyulitkan guru untuk mengadopsi budaya asesmen jangka panjang.
Indonesia sudah melaksanakan berbagai tes berstandar nasional sejak tahun 1965. Namanya berbeda-beda, namun dengan sifat yang sama. Kehadirannya yang mengakar selama berpuluh tahun menyebabkan model belajar “mengajar untuk ujian” begitu mendarah daging di Indonesia, bahkan diterapkan banyak guru yang saat ini aktif mengajar.
Di tengah budaya ujian nasional yang akut ini, pemerintah sebenarnya bertanggung jawab mempersiapkan guru di Indonesia untuk menghadapi AKM dengan komunikasi yang jelas.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengatakan, berbagai upaya sosialisasi dari pemerintah terkait Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) masih belum maksimal.
Sejauh ini, misalnya, Mendikbud Nadiem baru sebatas mengingatkan dalam pidatonya bahwa guru tidak perlu panik atau melakukan persiapan berlebihan dalam menghadapi asesmen tersebut.
Pemerintah juga belum melakukan sosialisasi yang lantang, rutin, dan juga jelas - terutama untuk menekankan bahwa asesmen baru ini dilakukan demi evaluasi jangka panjang dan bukan penentu kelulusan maupun pemeringkatan sekolah.
Perlu Peningkatan Kemampuan Asesmen Guru
Studi tahun 2014 dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru menunjukkan kehadiran UN telah melemahkan kompetensi asesmen guru di Indonesia. Penelitian yang melibatkan 107 guru di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini menemukan bahwa dari tahun ke tahun, guru dikondisikan untuk hanya menggunakan tes tradisional sebagai satu-satunya instrumen untuk mengukur capaian siswa.
Artinya, saat ini terdapat ketimpangan kompetensi guru yang bisa menjalankan asesemen baru ini dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan kompetensi asesmen guru terlebih dahulu untuk memastikan pelaksanaan AKM yang optimal.
Baca juga: Mengapa Kualitas Guru di Indonesia Masih Rendah?
Glenn Fulcher, peneliti pengujian bahasa di University of Leicester, Inggris mengatakan tingkat kompetensi asesmen yang tinggi berperan besar membantu guru memilih, membuat, dan menerapkan alat asesmen yang sesuai, dan juga membantu mereka memahami hasil asesmen untuk meningkatkan performa pembelajaran siswa.
Sementara itu, berbagai pelatihan yang ada di Indonesia selama ini masih bersifat jangka pendek, tidak berkelanjutan, dan masih fokus pada pedagogi (teknik mengajar) untuk mencapai skor tes yang tinggi ketimbang asesmen berkala.
Apabila ini tidak diatasi, asesmen baru ala Nadiem kemungkinan akan gagal memetakan kondisi pendidikan di Indonesia secara akurat dan sekadar menggantikan UN tanpa banyak perbedaan - wajahnya baru, mentalnya sama.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments