Dalam konteks Islam di Indonesia, sesungguhnya jilbab merupakan fenomena sosial dan keagamaan yang baru. Mulai berkembang sebagai identitas politik di masa Revolusi Iran di paruh 1970an, jilbab kemudian mendapatkan pengentalan teologisnya bersama munculnya teks-teks keagamaan yang melegitimasi keharusan berjilbab. Belakangan, bersama munculnya politik identitas Islam, jilbab dengan penanda-penanda sejenis diatur sebagai ketentuan syariat.
Selama ratusan tahun perkembangan Islam di Indonesia, penutup kepala yang dikenakan kaum perempuan, atau disebut kerudung, atau kudung (Jawa), tiung (Sunda) atau tengkuluk (Minang) dianggap sebagai identitas Nusantara. Ibu negara pertama Fatmawati mengenakannya sebagai identitas kebangsaan Indonesia yang baru merdeka. Kerudung dikenakan Ibu Fat bersama kebaya dan kain batik dalam upacara atau acara resmi kenegaraan.
Di paruh pertama Orde Baru, ketika negara melakukan penjarakan terhadap Islam politik, kebaya dikenakan tanpa kerudung ala Ibu Fat. Bahkan kebaya menjadi citra perempuan dalam politik identitas Orde Baru dengan makna sebagai istri pendamping suami. Selama bertahun-tahun, identitas perempuan Indonesia mengacu kepada dominasi budaya priayi Jawa yang menggunakan kebaya tanpa kerudung, kecuali pada keluarga santri. Bahkan ketika itu, perempuan muda dengan latar belakang Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tak selalu menggunakan kerudung kecuali bagi yang beranjak sepuh.
Baca juga: Norma Sosial Paksa Siswi Non-Muslim di Bangkinang, Riau, Berhijab
Lambat laun bentuk kerudung berubah menjadi jilbab yang lebih tertutup. Pengaruh Revolusi Iran sangat tegas membekas di sana. Di Barat, jilbab tak hanya dimaknai sebagai identitas baru warga muslim minoritas tetapi juga simbol ketaatan kepada Islam. Dalam perkembangannya, jilbab menjadi fenomena dunia sebagai identitas kultural sekaligus teologis. Bersama munculnya kajian-kajian baru tentang jilbab, muncul pula pengentalan teologis yang menganggap jilbab sebagai hal yang diwajibkan mengikuti ketentuan syariat.
Jilbab di Indonesia Fenomena yang Rumit
Di Indonesia, terinspirasi oleh revolusi Iran, gerakan Salafisme di Timur Tengah, serta gairah keagamaan di Barat plus bisnis garmen dan fashion, jilbab mewujud menjadi fenomena yang rumit—tidak hitam putih, tidak tunggal, dan tidak bebas nilai. Namun, muncul juga kecenderungan ke arah ortodoksi yang ditekankan sebagai aturan keagamaan yang mengikat. Bersama munculnya otonomi daerah, jilbab di beberapa daerah diatur sebagai regulasi daripada sebagai identitas kultural atau pilihan keyakinan.
Hal ini menjadi semakin jelas ketika Aceh menerapkan syariat Islam. Jilbab kemudian menjadi salah satu ketentuan yang menjadi regulasi. Namun, sebetulnya begitu menjadi regulasi atau qanun, maka jilbab telah melepaskan “keswadayaan iman”-nya menjadi aturan yang memaksa. Dari sisi tata aturan hukum, maka saat itu pula jilbab tunduk pada aturan yang bersifat duniawi sebagaimana layaknya aturan undang-undang.
Ketika saya mengikuti kegiatan penguatan perempuan calon anggota parlemen tingkat daerah, saya bertemu perempuan non-Muslim dari wilayah perbatasan Aceh Singkil yang dengan sengaja menggunakan jilbab. Mereka mengaku merasa nyaman karena dengan memakai jilbab, mereka tidak merasa dianggap sebagai orang lain dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung di wilayah Aceh.
Baca juga: Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan
Itu pula agaknya yang terjadi pada siswi non-muslim di wilayah lain yang menggunakan jilbab sebagai seragam sekolahnya. “Syariatisasi” jilbab secara otomatis gugur ketika jilbab ditetapkan sebagai aturan yang mengikat dalam bentuk regulasi.
Hal ini pula yang berlaku pada siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Padang sebagaimana pengakuan mereka yang mengenakan jilbab di sekolah. Mereka mengenakannya karena merasa menjadi bagian dari aturan, serta tak nyaman menjadi warga belajar yang berbeda. Siapa pun tahu, menjadi berbeda itu tidak nyaman ketika perbedaan tidak dianggap sebagai anugerah tetapi sebagai rasa gerah.
Aturan Jilbab di Sekolah
Perkara jilbab dalam hubungannya dengan ruang publik seperti di lembaga pendidikan sudah berlangsung sejak era Ode Baru. Di bawah politik penyeragaman, sejumlah siswi SMA yang memilih memakai jilbab dipersoalkan secara serius di awal tahun 80-an. Semula, berbeda dengan situasi sekarang, para siswi yang berjilbab itu menghadapi diskriminasi. Mereka didesak mencopot jilbabnya atau mundur dan pindah sekolah.
Menyadari hak-hak para siswi itu telah dilanggar, sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) membela mereka dengan argumen kebebasan berkeyakinan sebagai hal yang prinsip dalam HAM. Belakangan, suasananya berbalik: Siswi yang tak berjilbab, meskipun muslim, telah dikondisikan (untuk tidak dikatakan diintimidasi) untuk memakai jilbab, tak terkecuali siswi non-muslim.
Bila jilbab dianggap sebagai pilihan keimanan, maka jilbab tak seharusnya wajib. Namun jika jilbab diatur sebagai keputusan suatu lembaga seperti sekolah, maka status jilbab tak akan beda dengan seragam.
Sebetulnya tata aturan pemakaian jilbab ini tak selalu jelas regulasinya. Bahkan terkadang sama sekali tidak ada aturan resmi. Paling jauh, ada aturan berupa Surat Keputusan (SK) dari pemimpin daerah setingkat bupati atau wali kota. SK itu biasanya meminta siswi menggunakan jilbab sebagai bagian dari disiplin, meskipun pendisiplinan itu tak (selalu) berlaku untuk siswi non-muslim.
Namun, seperti telah dikemukakan, tanpa SK sekalipun, penggunaan jilbab niscaya akan dipilih oleh seorang siswi non-muslim jika jilbab digunakan sebagai penanda perbedaan, atau bahkan dianggap bentuk pembangkangan bagi siswi yang kebetulan beragama Islam. Padahal, menjadi beda dalam situasi yang gampang membeda-bedakan itu sungguh tidak nyaman. Karenanya sama sekali tak heran jika sejumlah siswi di sekolah negeri, seperti di SMK Negeri 2 Padang itu, bahkan yang muslim sekalipun mengaku dengan “sukarela” memakai jilbab.
Antara Aturan Positif Atau Pilihan Keimanan
Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini?
Di sini sebetulnya ada pilihan. Bila jilbab dianggap sebagai pilihan keimanan, maka jilbab tak seharusnya menjadi hal yang diwajibkan melainkan sebagai kesadaran pribadi. Namun sebaliknya, jika kehendak mewajibkan jilbab diatur sebagai keputusan suatu lembaga seperti sekolah, maka status jilbab tak akan beda dengan seragam. Jilbab dengan sendirinya tak dikaitkan dengan aturan agama melainkan sebagai aturan tata tertib sekolah. Ini tak ubahnya dengan siswa perawat yang pakai topi perawat, atau siswa perhotelan jurusan tata boga yang memakai topi pramusaji.
Baca juga: Jilbab pada Anak Perempuan: Menganalisis Patriarki
Dengan kata lain, jika jilbab ditetapkan sebagai kewajiban di sekolah maka pakaian penutup kepala itu harus mengalami de-syariatisasi. Dengan demikian jilbab bukan lagi dianggap sebagai kewajiban agama (syar’i) melainkan kewajiban yang berlaku umum bagi semua siswi terlepas dari suku, ras, agama dan keyakinannya. Bahwa bagi siswi muslim sendiri menganggap jilbab sebagai ketentuan agama, itu menjadi urusan personalnya.
Kewajiban sekolah adalah mengatur seragam. Ketika jilbab menjadi bagian dari seragam, maka jilbab harus dijadikan aturan yang mengikat dan secara positif atau memaksa. Ini sama halnya dengan para pejabat negara yang wajib memakai peci hitam di saat pelantikan atau upacara. Bahwa bagi pejabat yang muslim peci dianggap sebagai pakaian keagamaannya, nggih monggo, silakan saja.
Sekolah, terutama sekolah umum seharusnya hanya memberlakukan aturan yang berlaku sama bagi semua siswa—seragam upacara di hari upacara/Senin, baju olahraga di jadwal olahraga, seragam Pramuka di hari wajib memakai baju Pramuka, dan seterusnya. Saat diberlakukan de-syariatisasi jilbab, maka jilbab tak lagi menjadi urusan agama melainkan sebagai urusan seragam sekolah. Namun, sebaliknya, jika jilbab dianggap sebagai keyakinan yang berangkat dari pilihan individu, maka jilbab tak seharusnya menjadi aturan yang dipaksakan. Nah, mau pilih yang mana?
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Rumah KitaB.
Comments