Agama sering kali dituduh sebagai bagian dari masalah dalam mengatasi dampak pandemi COVID-19. Tuduhan tersebut bermula dari kasus yang terjadi di Korea Selatan setelah hampir 5.000 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi terhubung ke “pasien 31”, yaitu seorang individu terinfeksi yang merupakan jemaat di Gereja Shincheonji Yesus di Daegu.
Di Amerika Serikat, gereja besar California dari jemaat Slavia telah menjadi pusat penyebaran virus sebagaimana dinyatakan oleh pejabat kesehatan masyarakat terkait dengan 71 kasus.
Di Malaysia, 513 orang dinyatakan positif terpapar COVID-19 setelah menghadiri pertemuan keagamaan yang kemudian berujung kepada kebijakan lockdown di Malaysia.
Namun, melihat peran agama yang kuat dan dominan dalam masyarakat modern, kami berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak boleh dipisahkan sebagai upaya kita mengatasi pandemi. Para pemimpin agama dan institusi agama harus melakukan upaya terbaik untuk menjadi bagian dari solusi menghentikan penyebaran virus.
Apa yang bisa dilakukan oleh agama dan pemimpin agama?
Teori klasik modernisasi menyatakan bahwa nilai sekuler dalam masyarakat modern telah secara besar-besaran menggeser nilai-nilai tradisional dan agama. Namun, bukannya menurun, peran agama justru semakin tumbuh dan menguat di seluruh dunia.
Meski gereja-gereja semakin ditinggalkan oleh jemaatnya di Barat dan bangunan gerejanya pun bahkan mulai dijual, 70 persen dari populasi di Amerika Utara adalah orang Kristen. Islam juga berkembang pesat di Rusia. Penelitian global terbaru menunjukkan 84 persen orang dewasa mengatakan agama merupakan bagian penting dalam hidup mereka.
Selama pandemi, agama telah menunjukkan peran-peran pentingnya dalam membantu memotong rantai penyebaran virus corona. Umat Islam mengutip hadis (ucapan dan tindakan Nabi Muhammad )untuk melakukan karantina dan memberlakukan larangan bepergian selama pandemi. Nabi Muhammad bersabda, “Jika kamu mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut; dan jika wabah itu terjadi di suatu tempat saat kamu ada di dalamnya, janganlah meninggalkan tempat itu.”
Baca juga: Wajah Paradoks Islam di Tengah Pandemi
Di Taiwan, para pemimpin agama berkolaborasi dengan pusat komando epidemi pemerintah untuk merespons dengan cepat terhadap krisis kesehatan di negara mereka untuk melindungi masyarakat. Tak heran, Taiwan dipuji salah satu negara yang dianggap berhasil menanggulangi pandemi COVID-19 dengan baik.
Sementara itu, negara Vatikan telah beradaptasi dan mengubah liturgi daringnya dan menyediakan pedoman untuk doa-doa baru untuk menangani pandemi.
Di Bangladesh, agama-agama telah merespons terhadap krisis kesehatan dengan menawarkan bantuan spiritual dan material kepada masyarakat.
Peran agama di Indonesia
Indonesia merupakan rumah dengan mayoritas populasi Muslim dan agama merupakan jantung dari kehidupan warganya. Selain Islam, jutaan penduduk juga memeluk agama lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu di sini.
Para pemimpin agama adalah pemimpin yang dimuliakan dan sangat dihormati di masyarakat.
Negara ini telah menunjukkan bahwa agama dapat digunakan sebagai sarana yang realistis dalam membantu memerangi penyebaran COVID-19. Pada Maret 2020, saat penyebaran COVID-19 masih sangat awal di Indonesia, umat Hindu di Bali memodifikasi ritual Nyepi dengan merayakan ritual tanpa karnaval Ogoh-Ogoh. Karena virus corona sangat menular, para pemimpin agama memutuskan untuk membatalkan karnaval untuk menghindari pertemuan besar.
Protestan dan Katolik juga telah memodifikasi perayaan Paskah pada April lalu. Sebagian besar gereja telah menggunakan layanan virtual untuk menyampaikan pesan agama kepada para penganutnya sejak kasus COVID-19 ditemukan di Indonesia.
Organisasi muslim Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa untuk mengganti salat Jumat, yang seharusnya diselenggarakan di masjid dan wajib bagi pria Muslim, menjadi anjuran salat zuhur di rumah.
Baca juga: Ahli Mitigasi Bencana: Sediakan Layanan Psikososial di Tengah Pandemi
Selama bulan puasa Ramadan, umat Islam juga diminta untuk sembahyang di rumah untuk mengganti salat tarawih berjamaah yang biasanya dilakukan di masjid atau di lapangan.
Tapi tantangan besar masih ada. Untuk mencegah penyebaran virus corona, pemerintah Indonesia telah melarang mudik, sebuah ritual keagamaan tahunan untuk menyambung kembali, mengingat, dan memperbaharui hubungan sosial. Ritual ini ditandai dengan praktik berkunjung ke rumah leluhur dan keluarga mereka untuk merayakan akhir bulan puasa. Kenyataannya, masih banyak yang tidak mengindahkan anjuran tersebut, dan berdampak pada meningkatnya risiko penularan virus kepada orang lain.
Penyebaran virus terjadi mengikuti pola pergerakan orang serta barang dan jasa. Ini tidak hanya terkait mobilitas lintas batas, tapi juga pergerakan orang di semua level yang bisa menyebabkan terjadinya penyebaran virus.
Dalam hal ini, agama memiliki peran penting dalam mengajak masyarakat untuk mencegah jatuhnya puluhan ribu jiwa, yang secara realistis membutuhkan upaya lebih besar daripada sekadar doa.
Mengingat vaksin yang belum tersedia, maka sangat realistis untuk mengharapkan peran para pemimpin agama menggunakan bahasa agama untuk memperingatkan orang-orang tentang risiko yang mereka hadapi selama badai pandemi global ini.
Sains dan iman mungkin tidak dapat dipisahkan di tengah pandemi ini. Krisis ini seharusnya menjadi waktu bagi lembaga dan para pemimpin agama untuk terlibat dalam menjelaskan dan mendukung temuan-temuan ilmiah rasional untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments