Afghanistan telah jatuh kembali ke tangan Taliban. Perempuan Aghanistan terancam terenggut hak-haknya. Hal-hal inilah yang terus kita dengar dan baca selama beberapa hari terakhir di berbagai kanal media berita nasional dan internasional. Sungguh pengalaman déjà vu yang menyakitkan. Sekitar 20 tahun lalu, warga Afghanistan telah menghadapi ketakutan dan kecemasan yang sama.
Bagi saya pribadi, pengalaman kali ini lebih nyata adanya. Selama empat tahun terakhir, saya bekerja untuk isu kemaslahatan pengungsi internasional yang tinggal di Jabodetabek. Mayoritas pengungsi yang saya temui berasal dari Afghanistan. Cerita-cerita mengenai kekejaman Taliban tak jarang mewarnai percakapan antara kami dengan pengungsi dari Afghanistan, bahkan cenderung menjadi warna utama.
Pun, kisah-kisah mereka tentang sulitnya hidup di Afghanistan yang tak pernah mengenal kata damai, yang membuat mereka tak punya pilihan lain selain meninggalkan orang-orang yang mereka cintai dan tanah yang mereka akrabi itu. Mereka lalu harus menempuh perjalanan yang sulit untuk kehidupan di tempat lain yang juga tak pasti.
Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk menceritakan apa saja bentuk kekejaman Taliban yang telah dialami para kawan-kawan pengungsi ini. Bukan hanya karena saya bekerja di organisasi kemanusiaan di mana kami terikat kode etik untuk menjaga kerahasiaan cerita kawan-kawan pengungsi rapat-rapat, tetapi juga karena cerita-cerita itu adalah milik mereka, bukan saya. Mereka-lah yang berhak menuliskannya jika mereka ingin.
Lagipula, saya tidak terlalu nyaman dengan conflict porn, yaitu istilah yang menggambarkan kegandrungan kita untuk menelisik cerita-cerita peperangan dan penyiksaan hanya untuk agenda kita masing-masing. Salah satunya sempat terlintas di feed Twitter saya. Salah seorang warganet berkata bahwa kekejaman Taliban yang telah ia baca dan dengar membuat ia masih merasa bersyukur tinggal di Indonesia.
Baca juga: Janji Tinggal Janji, Kemenangan Taliban Musibah bagi Perempuan Afghanistan
Sebenarnya ini tidak salah. Perasaan seperti ini wajar timbul di batin kita sebagai warga Indonesia yang hari-harinya semakin dibayangi oleh konservatisme. Namun, patutkah kita mengucapkan hal itu di kanal publik, ketika kata “Afghanistan” dan “Taliban” trending di Twitter beberapa hari terakhir, yang isinya adalah permohonan tolong dan jeritan ketakutan masyarakat Afghanistan akan ancaman kekejaman Taliban yang sejarahnya yang penuh darah itu masih lekat di ingatan orang-orang?
Di mana empati kita?
Belum lagi banyaknya perdebatan yang mengaitkan ini dengan isu partisan agama dan politik. Banyaknya analis politik, apalagi yang dadakan ini, menenggelamkan sisi manusiawi situasi Afghanistan. Tentu memahami sebuah isu itu penting. Namun, alangkah baiknya jika kita mendapatkan informasi langsung tentang isu ini dari orang-orang Afghanistan itu sendiri (bisa dengan membaca tulisan dari orang-orang berdarah Afghanistan yang beredar di media internasional berbahasa Inggris). Lebih jauh lagi, saya kira yang paling dibutuhkan saat ini adalah demonstrasi rasa empati kita sebagai manusia terhadap mereka. Bukan sibuk ingin menunjukkan seberapa banyak yang kita tahu tentang mereka.
Saya harap kritik ini tidak dianggap sebagai gatekeeping. Saya paham betul, tentu sebagian besar dari kita sebenarnya hanya ingin membantu. Jika ada satu hal yang membuat saya bangga sebagai orang Indonesia, yaitu bahwa betapa ringan tangannya kita dalam membantu orang lain. Lalu, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk bersolidaritas dengan situasi Afghanistan?
Membantu Pengungsi dari Negara Berkonflik di Indonesia
Saya tidak punya informasi mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membantu orang-orang Afghanistan yang ada di Afghanistan. Namun, kita masih bisa melakukan banyak hal untuk kawan-kawan Afghanistan kita yang ada di sekitar kita. Menurut data UNHCR Indonesia, ada sekitar 13.000 pengungsi di Indonesia, dan lebih dari 50 persen total jumlah pengungsi tersebut berasal dari Afghanistan.
Hidup mereka di sini cukup sulit. Payung hukum di Indonesia untuk pengungsi saat ini memang menjamin bahwa setiap orang berhak mencari suaka di negeri ini. Namun hingga saat ini, mereka belum memiliki hak untuk berpenghasilan, sedangkan kemungkinan resettlement yang kecil membuat mereka terpaksa harus lama tinggal di Indonesia tanpa jaring pengaman sosial yang kuat.
Baca juga: Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi
Bagi teman-teman pembaca yang sudah berkawan dengan mereka, tanyakanlah keadaan mereka. Tanyakan apa yang kita bisa bantu, semampu kita. Seringnya, di saat seperti ini, semangat persahabatan seperti itu bisa berdampak cukup besar. Pasalnya, banyak dari mereka sejak lahir hingga kini hanya mengenal kekecewaan, trauma, dan rasa terisolasi.
Bagi teman-teman yang baru sedikit bersentuhan dengan isu pengungsi di Indonesia, termasuk pengungsi Afghanistan, ada banyak cara untuk bersolidaritas dengan mereka. Ada beberapa organisasi pengungsi di Jakarta yang didirikan dan dikelola oleh para pengungsi. Yang pertama adalah Refugee and Asylum Information Center (RAIC). Organisasi ini didirikan oleh Mozhgan Moarefizadeh, seorang pengungsi Iran di Indonesia. Organisasi ini juga rutin menyalurkan donasi berupa bantuan sembako dan pengobatan gratis untuk pengungsi. Aktivitas mereka bisa dilihat di kanal Instagram @raicindonesia.
Selain itu, ada juga Sisterhood Community, sebuah organisasi pengungsi yang didirikan oleh tiga saudari perempuan saya yang berani: Nimo dari Somalia, Bahar, dan (Almh) Waheeda berasal dari Afghanistan. Komunitas ini berfokus pada isu-isu penguatan perempuan pengungsi. Mereka dapat dijumpai di akun Instagram @sisterhood_community_center.
Beberapa pusat pendidikan informal baik untuk anak-anak pengungsi maupun pengungsi dewasa juga mulai tumbuh. Sebut saja Roshan Learning Center (kanal Instagram: @roshanlearning), HELP Learning Center (kanal Instagram: @helpforrefugees) di Jakarta, serta Refugee Learning Center di Cisarua (kanal Instagram: c_rlc).
Kita bisa mulai berkenalan dengan isu pengungsi di Indonesia dengan mengeksplor kanal media sosial organisasi-organisasi tersebut. Kita juga bisa mulai menyapa mereka melalui direct message, yang pasti akan mereka respons dengan hangat. Beberapa dari mereka membuka kanal donasi untuk kita bisa salurkan bantuan langsung.
Selain perkawanan dan donasi, bentuk solidaritas lainnya yang bisa kita tawarkan adalah menjadi relawan pengajar, karena sering kali mereka membutuhkan tenaga relawan orang Indonesia untuk mengajar anak-anak pengungsi.
Pandemi telah menjadi bukti betapa solidaritas antarsesama manusia, pada akhirnya, menjadi kunci keberlangsungan hidup dan peradaban manusia. Hal ini mestinya berlaku untuk isu lainnya, termasuk isu pengungsi. Dunia bisa terus merayakan perangnya, namun kemanusiaan akan tetap teguh berdiri. Ia harus terus teguh berdiri.
Selagi advokasi formal untuk perdamaian dan keadilan sosial bagi Afghanistan dan negara-negara konflik lainnya terus juga digalakkan, jejaring solidaritas antarmanusia juga tak kalah pentingnya – bahkan bisa dibilang yang terpenting. Momentum kemerdekaan Indonesia juga patut kiranya kita pakai untuk mulai membangun semangat ini, di mana sejarah mencatat bahwa pada tahun 1947, Afghanistan merupakan salah satu negara yang pertama-tama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Kini, tiba saatnya giliran kita untuk bersolidaritas dengan kawan-kawan pengungsi Afghanistan yang ada di sekitar kita. Seperti kutipan dari dua tokoh pembebasan manusia modern, “Injustices anywhere is injustice everywhere” (Martin Luther King). dan “I am not free while any woman is unfree, even while her shackles are very different from my own” (Audre Lorde).
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments