Staf Khusus Presiden Joko “Jokowi” Widodo Ayu Kartika Dewi jadi buah bibir pada Maret lalu. Tepatnya usai ia menjalani pernikahan beda agama dengan salah satu pendiri media edukasi ‘Kok Bisa’, Gerald Bastian.
Ayu beragama Islam dan Gerald adalah penganut agama Katolik. Mereka melangsungkan pernikahan dalam dua sesi, yaitu dengan akad nikah dan pemberkatan.
Banyak orang pun memberi ucapan selamat kepada pasangan tersebut di media sosial, namun masih lebih banyak yang justru mengkritik dan mengecamnya karena menganggap bahwa pernikahan beda agama bersifat haram dan melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahkan, banyak orang menyerang profesi Ayu dan mempertanyakan kualitasnya sebagai seorang staf ahli presiden.
Juni lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengecam Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena mengabulkan permohonan pasangan Muslim-Kristen supaya pernikahan mereka diakui secara hukum.
Menurut pakar hukum, perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah hal yang melanggar hukum positif. Namun, pelaksanaannya memang cenderung sulit dan seringkali menuai kontroversi. Hal ini merupakan suatu paradoks dalam wacana kebebasan beragama dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Baca juga: Banyak Jalan Menuju Roma: Siasati Aturan Nikah Beda Agama
Rumitnya Implementasi: Melanggar HAM?
Seorang pakar di bidang perbandingan mazhab dan hukum syariat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Sri Wahyuni, mengatakan bahwa UU Perkawinan tidak secara spesifik melarang pernikahan beda agama. Pelaksanaannya menjadi rumit lebih karena interpretasi yang multitafsir, kentalnya bias ideologi keagamaan, dan prosedur teknis di kalangan para pencatat perkawinan.
Pasal 2 dalam UU Perkawinan mengatur, perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari pasal inilah lahir interpretasi perkawinan yang dilaksanakan secara tidak sesuai atau menyalahi hukum agama, dianggap tidak sah.
Secara luas, banyak pihak memaknai pasal tersebut, ketika orang Islam menikah dengan orang Islam, pernikahannya berlangsung di KUA. Ketika orang Kristen menikah dengan orang Kristen, pelaksanaannya di gereja dengan petugas pencatat dari Kantor Catatan Sipil. Kemudian, saat orang Katolik menikah dengan orang Katolik, tempatnya di gereja dengan pencatatan dari petugas Kantor Catatan Sipil, dan seterusnya.
Sehingga, perkawinan beda agama relatif tidak mendapatkan tempat secara hukum.
Dari keyakinan akan interpretasi tersebut, muncul berbagai model penyelesaian di kalangan masyarakat, seperti berpindah ke agama salah satu pasangan.
Misalnya, jika ada pasangan yang salah satu pihaknya beragama Islam dan satunya beragama Kristen, maka pihak yang beragama Kristen dapat berpindah agama ke Islam. Mereka mengucapkan ikrar syahadat agar bisa melangsungkan perkawinan secara Islam dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) – ini praktik yang paling umum terjadi.
Jika ada pasangan yang salah satunya beragama Katolik, satunya non-Katolik, biasanya pihak non-Katolik yang melakukan penundukan diri ke hukum agama Katolik untuk mendapatkan dispensasi dari Paroki wilayah. Kemudian, ia mendaftar ke gereja untuk mendapatkan pelatihan agama Katolik kurang lebih selama satu tahun, hingga mendapatkan dispensasi untuk melakukan perkawinan beda agama.
Cara tersebut biasanya dibarengi dengan pencatatan administrasi, yaitu dengan mengubah identitas agama yang dianut dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Demikian pula para penganut agama lainnya, seperti Kristen, Hindu dan Budha.
Proses yang sangat panjang dan rumit, bukan?
Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu paradoks dalam wacana kebebasan beragama, dan kebebasan untuk membentuk keluarga dengan perkawinan yang sah. Hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
“Di satu sisi, pasangan yang memeluk agama berbeda menghadapi kesulitan untuk melaksanakan perkawinan, sehingga harus menundukkan diri ke salah satu agama pasangannya. Di sisi lain, negara menjamin kebebasan beragama,” ujar Sri.
Oleh karena itu, menurut Sri, hendaknya negara mengatur secara tegas prosedur pelaksanaan perkawinan beda agama. Misalnya, pemerintah bisa memperjelas syarat sah atau tidaknya pelaksanaan perkawinan antara individu yang berbeda agama, lalu menyebutkan konsekuensi-konsekuensinya.
Baca juga: Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama
Sudah Saatnya Merevisi UU Perkawinan
Selaras dengan Sri, Patrick Humbertus, dosen Fakultas Psikologi dari Universitas Surabaya, juga menilai bahwa masih ada banyak kekurangan pada UU Perkawinan saat ini.
Patrick menyebutkan bahwa kekurangan justru memicu praktik “penyelundupan hukum” yang dilakukan oleh cukup banyak pasangan beda agama di Indonesia.
Beberapa pasangan pada akhirnya melakukan perkawinan di luar negeri, yang kemudian dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia untuk meminta legalitas dan pengakuan negara. Beberapa lainnya melakukan upaya mengubah kolom agama di Kartu Keluarga (KK) serta KTP agar tetap dapat melangsungkan perkawinan, terlepas apakah mereka benar-benar pindah agama untuk menyesuaikan dengan pasangannya atau tidak.
Mereka yang melakukan “penyelundupan hukum” pastinya memiliki tujuan serupa, yaitu menjalin kehidupan berkeluarga yang bahagia dengan melangsungkan perkawinan namun tetap bisa mempertahankan agamanya masing-masing.
Selain itu, menurut Patrick, inkonsistensi aturan perkawinan juga telah menimbulkan masalah terkait hak waris. Di Indonesia, hukum waris terbagi menjadi 2, yaitu waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan waris menurut hukum Islam. Bila sang ayah beragama Islam dan anak-anaknya mengikuti agama sang ibu, yaitu non-Muslim, maka hukum waris yang digunakan adalah waris hukum Islam yang berarti tidak dibagi rata tetapi juga harus melihat gender dari anak-anaknya.
Masalah lain, jika pasangan beda agama melakukan perceraian, sedangkan keduanya menikah dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing (dengan cara menikah dua kali di masing-masing agama pasangan) dan mencatatkannya ke Kantor Catatan Sipil, maka yang menjadi persoalan adalah proses perceraian mana yang sah secara agama bagi mereka?
Padahal, perkawinan seharusnya merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Abraham Maslow, pakar psikologi dari Amerika Serikat (AS), mendefinisikan perkawinan sebagai kebutuhan dasar akan cinta dan kasih sayang, serta masuk dalam kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan seksual. Oleh karena itu, faktor agama seharusnya tidak menjadi penghalang bagi setiap individu untuk hidup dalam ikatan perkawinan dan membangun keluarga.
Patrick menegaskan bahwa bila hukum hidup dengan mengikuti perkembangan zaman, maka seharusnya sudah dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan demi menghilangkan berbagai upaya penyelundupan hukum. Selain itu, ini penting untuk menghindari dampak-dampak yang tidak diinginkan yang bisa terjadi bukan hanya pada pasangan itu sendiri, tapi juga pada anak-anak mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments