Saya laki-laki berusia 26 tahun. Saya hidup dan dididik dalam keluarga yang boleh dikatakan cukup harmonis dan taat pada agama.
Ayah saya bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di sektor pertambangan di daerah Kalimantan Timur sejak 1990 hingga 2004. Sementara Ibu, yang seorang dokter gigi dan pegawai negeri sipil, bersama saya dan dua orang adik saya tetap tinggal di Pulau Jawa. Kami terpisah selama sekian tahun dengan sistem tiga minggu on site dan satu minggu pulang ke rumah.
Ayah saya secara tidak langsung telah membentuk saya menjadi seorang feminis. Meskipun kami harus tinggal berpisah, saya tidak pernah merasakan sedikit pun kekurangan kasih sayang dari Ayah. Beliau adalah the real family man. Ketika Ayah sedang berada di rumah, saya bisa merasakan seluruh waktunya didedikasikan untuk keluarga. Beliau membantu Ibu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang mungkin menurut orang lain adalah pekerjaan perempuan, ketika Ibu saya sedang bekerja.
Ia mengantar-jemput kami sekolah dan Ibu ke kantor, memasak (bahkan akhirnya saya hobi memasak karena Ayah), melakukan pekerjaan rumah, menjaga kami anak-anaknya, dan memberikan kata-kata manis untuk Ibu dan kami. Pernah saya mendengar mereka bicara berdua mengenai kehidupan yang akan mereka jalani, yang intinya adalah, susah dan senang harus mereka hadapi bersama.
Ayah juga mengajarkan bagaimana menghargai dan membantu orang lain tanpa memandang status, gender dan ras. Ketika kita bisa membantu orang lain, apa pun bentuknya dan siapa pun dia, ya harus bantu. Hargai orang lain bagaimana pun orang itu, kata Ayah. Kita harus berbuat baik terhadap orang lain tanpa mengharap balasan, dan kami dilarang melecehkan orang lain karena mereka dan kita sama-sama manusia ciptaan Tuhan.
Dengan didikan seperti itu, akhirnya tertanam kuat dalam diri saya untuk hidup saling membantu dan menghargai orang lain dalam hidup ini tanpa melihat siapa pun orangnya.
Ketika saya beranjak remaja, banyak teman saya yang mulai melakukan pelecehan seksual kepada teman-teman perempuan, seperti catcall, semacam suitan atau teriakan menggoda dan kadang guyonan seksis. Namun tidak pernah terbersit dalam diri saya untuk melakukan hal itu karena sudah tertanam kuat bahwa itu adalah tindakan yang tidak menghargai perempuan, dan menganggap perempuan sebagai obyek. Dan itu bertentangan dengan apa yang Ayah saya ajarkan. Hingga saat ini saya merasa marah ketika melihat teman saya yang memandang perempuan sebagai obyek seksualitas.
Ibu saya, adalah perempuan terkuat dan terhebat yang pernah saya tahu. Ketika ibu dan ayah harus berpisah karena pekerjaan, Ibu merawat kami dengan baik sambil mengerjakan urusan kantornya. Ia melakukan perannya sebagai ayah maupun ibu yang sangat baik bagi kami anak-anaknya. Ia adalah contoh perempuan yang menurut saya paling kuat dan tegar dalam menghadapi kehidupan.
Memasakkan kami sarapan, menyapkan pakaian sekolah kami, mengantarkan kami sekolah, bekerja, menjemput kami sekolah, membersihkan rumah, mengajari kami saat belajar. Setiap hari beliau seperti itu tanpa mengeluh sedikit pun. Apalagi sejak ayah saya meninggal, otomatis beliaulah yang menjadi ayah dan sekaligus ibu bagi kami, juga harus bertanggung jawab dalam pekerjaannya sebagai PNS.
Setelah sekian lama akhirnya saya banyak membaca serta berbagi dengan teman yang juga seorang feminis, dan menemukan bahwa menjadi feminis ternyata sama seperti yang orang tua saya ajarkan.
Itulah sebabnya mengapa saya menjadi feminis.
Comments