Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyerukan penghentian penggunaan saset yang tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan. AZWI ingin mengubah narasi daur ulang saset menjadi narasi guna ulang dan isi ulang. Pasalnya, sampah saset menjadi salah satu penyumbang terbesar sampah plastik di Indonesia. Namun, solusi yang disampaikan sering kali lebih memberatkan individu, bukan perbaikan yang bisa dilakukan secara struktural.
“Milyaran saset dijual seluruh dunia, bahkan mayoritas di antaranya ada di Asia Tenggara. Ada potensi peningkatan produksi saset hingga 1.3 Triliun secara global hingga 2027, bahkan di Indonesia sendiri penyumbang sampah plastik terbesar,” ujar Rahyang Nusantara, selaku Co-Coordinator AZWI dalam Konferensi Pers Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet yang dilakukan online dan offline dari All Seasons Jakarta, Thamrin.
Penyebabnya, tak lain adalah penggunaan produk saset masyarakat Indonesia yang menggunung. Namun, yang sering luput dari pembicaraan ini adalah peran produsen yang mengemas produk mereka dengan saset.
Baca juga: Kisah Dua Perempuan Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bangunan
“Korporasi seperti Unilever dan perusahaan lainnya mempromosikan saset sebagai alternatif untuk rumah tangga low-income, tetapi hal ini mengabaikan beban yang ditanggung masyarakat untuk membersihkan sampah saset, ” ungkap Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño. Narasi tersebut yang menurut AZWI perlu diubah ketika membicarakan solusi sampah plastik yang makin bertumpuk.
Menurut mereka, ada tiga alasan perubahan narasi ini jadi penting. Pertama, daur ulang bahan kimia tidak sejalan dengan prinsip zero waste. Saat ini ada potensi peningkatan produksi kemasan plastik yang mengancam inisiatif guna ulang dan isi ulang yang mulai banyak bermunculan di Indonesia. Sehingga perlu pantauan dari pihak otoritas yang bisa menjaga volume sampah ini agar tidak terjadi ledakan.
Masalah kedua adalah kurangnya penegakan hukum pemerintah untuk mengurangi produksi dan konsumsi saset. Peran kontrol yang dimiliki pihak otoritas amat longgar di hulu sampai hilir. Tidak tersedianya fasilitas daur ulang juga bikin proses penumpukan sampah makin tidak terkontrol. Banyak pemulung yang enggan mengumpulkan sampah saset karena harganya yang murah.
Terakhir, perlunya meluruskan kembali tanggung jawab produsen produk saset plastik. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Nomor 75 Tahun 2019, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. Permen tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen ini bisa jadi jalan untuk menegakkan kembali alur daur ulang sampah saset yang bisa jadi patokan warga untuk menggugat korporasi nakal.
AZWI juga mengajak beberapa narasumber menjabarkan penelitian di sungai yang ia lakukan. Dari Ekspedisi Sungai Nusantara yang dilakukan sejak awal tahun ini, Daru menemukan sejumlah fakta mengenai pencemaran sampah saset.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Bahaya Sampah Saset di Sungai
Sampah saset selain berbahaya untuk lingkungan hidup, juga berbahaya untuk tubuh manusia. Ada ancaman mikroplastik yang bisa masuk dalam tubuh manusia lewat air yang dikonsumsi. Kandungan kimia dalam plastik juga termasuk zat karsinogenik (penyebab kanker) juga jadi ancaman turunan dari masalah ini.
Daru Setyorini, selaku Manager Program ECOTON, yang melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara sejak awal tahun ini, menemukan sejumlah fakta menarik tentang pencemaran sampah saset di sungai.
“Sungai Ciliwung kini dibanjiri sampah saset, sampah ini diproduksi perusahaan domestik dan global,” ujar Daru. “Kemasan saset ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai. Setelahnya sampah saset tadi melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun.”
Temuan lain ekspedisi tersebut, Unilever jadi merek paling banyak ditemukan di Sungai Ciliwung sekaligus jadi jenama produk saset peringkat satu pencemar sungai tersebut.
Hal ini juga terjadi di kota lain, seperti, Bandung, Padang, dan Malang. Produsen seperti Wings dan Indofood juga bersaing menjadi produsen produk kemasan saset yang mencemari sungai-sungai di area Jawa-Sumatra.
Produsen diminta untuk terbuka akan penggunaan senyawa kimia yang digunakan untuk kemasan saset. Terlebih bahan kimia tersebut berbahaya dan beracun yang bisa merusak upaya ekonomi sirkuler.
Daru menambahkan, pemerintah juga harus ambil andil dalam masalah ini dengan membuat kebijakan pelarangan senyawa berbahaya. Lalu, dibutuhkan transparansi dalam menyampaikan informasi tentang emisi dari fasilitas penggunaan RDF—Refuse Derived Fuel, teknologi pengolahan sampah dengan metode biodrying.
Baca juga: Produk-produk Unik Ramah Lingkungan yang Harus Kamu Coba
Mengatasi Sampah Saset adalah Tanggung Jawab Bersama
Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some mengatakan, sebetulnya sudah ada produsen yang paham dan melakukan tanggung jawabnya. Namun, kontribusinya tidak signifikan mengurangi problem sampah yang ada.
“Proses daur ulang oleh Unilever dari sampah rumah tangga sudah tidak berjalan lagi sejak 2019. Ditambah perusahaan tersebut tidak terbuka terkait hal ini, termasuk seberapa jangkauan yang sudah bisa didaur ulang. Apakah semua saset yang dikumpulkan semuanya bisa didaur ulang? Tentunya tidak,” imbuh Hermawan.
Unilever sudah melakukan pengumpulan saset mulai dari 2017 melibatkan Bank Sampah dari masyarakat dari berbagai kota seperti, Surabaya, Sidoharjo, Gresik, Mojokerto, Malang, Denpasar, dan Jakarta. Mereka memiliki target mengumpulkan tiga ton sampah per hari. Namun, pada kenyataannya pengumpulan sampah itu sulit dilakukan.
Sampah saset yang memiliki dua macam jenis—metalis dan foil—masih belum bisa dibedakan sehingga hanya menghasilkan residu. Jenisnya yang beragam bikin proses daur ulang sulit. Lalu, target tiga ton per hari sulit dicapai karena sehari yang didapat hanya setengah hingga dua kilogram saja.
AZWI kemudian mempertanyakan keefektifan daur ulang sampah saset, terlebih ada kabar residu yang tidak bisa didaur ulang ternyata malah dibakar.
Pembakaran sampah plastik sendiri berbahaya dan menyebabkan polusi udara. Sehingga bisa disimpulkan dalam menangani krisis sampah saset ini harus ada kerja sama antara pemerintah dan produsen untuk pembatasan penggunaan kemasan saset.
Comments