“Lo tega nanti anak lo nanti hidupnya pas-pasan?”
Kata-kata teman saya itu masih berputar di otak saya sejak tadi minggu lalu. Dan itu membuat saya tidak bisa berhenti berpikir, bagaimana nanti kalau anak menanggung beban ganda karena harus membiayai orang tua juga?
“Tapi...bukannya memang itu tugas anak, ya?” saya sempat bertanya pada teman saya itu.
Sepertinya pikiran itu tertanam di alam bawah sadar saya sejak lama.
“Sekarang, gue tanya, orang tua lo emang minta dibiayain?” tanyanya.
Saya menggeleng.
“Terus kenapa lo ngotot banget anak lo kudu biayain tetek bengek lo di hari tua nanti? Iya kalau anak lo kaya raya, kalau enggak?” cecarnya.
“Jadi anak buat dijadikan investasi masa tua? Kasihan banget anak lo! Enggak minta dilahirin, tapi wajib merawat dan membiayai orang tuanya,” ia menambahkan.
Baca juga: Tangguhkan Cita Demi Keluarga: Kisah Lajang Penopang Rumah Tangga
Saya masih ngeyel: “Bukankah memang tugas anak seperti itu, ya? Sebagai bentuk membalas budi atas perjuangan orang tua membesarkannya?
“Membesarkan dan mengurus anak adalah tugas orang tua. Kalau elo ingin menjadikan perjuangan lo memenuhi kewajiban mengurus anak untuk membenarkan pola pikir konservatif itu, mending dari awal enggak usah punya anak! Enggak usah nikah sekalian!”
Rasanya, itu adalah ucapan paling menyakitkan yang pernah saya dengar dari teman saya sejak SMP itu.
“Tapi, gue harus bagaimana? Masih mending kalau gue mati cepet, kalau gue panjang umur? Kudu beli makan pake daun?” tanya saya dengan nada panik.
“Ya lo siapin lah! Kenapa harus nunggu anak lo yang biayain elo? Itu bukan kewajiban dia! Anak elo punya segudang mimpi yang harus dia wujudkan!”
Baca juga: Untuk Perempuan Generasi ‘Sandwich’: Kamu Berhak Bahagia
Biaya miliaran untuk hari tua
Kata-kata teman saya itu menusuk sanubari, membuat saya merasa bersalah pada anak saya. Saya merasa menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab, yang meminta ganti rugi atas biaya yang sudah dikeluarkan selama mengurus anak.
Sebenarnya iya, bahwa konsep melahirkan anak itu bukan seperti investasi. Karena memiliki anak adalah keinginan orang tua. Berangkat dari pemikiran itu, akhirnya saya tergerak untuk menghitung dana pensiun dan hari tua di sebuah aplikasi internet.
Suami saya ternyata sudah menghitungnya sebelumnya. Dana pensiun ini sudah dia siapkan sejak beberapa bulan ke belakang, tepat setelah anak kita berusia satu bulan. Dan ternyata, jumlah dana pensiun yang kita butuhkan adalah...Rp7 miliar!
Baca juga: 5 Langkah Perencanaan Keuangan di Usia 20-30 Tahun
Terperangah dan tidak percaya, saya minta dia untuk mengulangi semua langkahnya dalam menghitung jumlah dana pensiun. Ternyata benar, kami butuh dana Rp7 miliar untuk hari tua. Gila, duit semua, tuh?
Untungnya, di aplikasi yang tersedia luas ini, kita semacam dikasih arahan lengkap, soal berapa uang yang harus dikumpulkan per bulannya, terus berapa lama kita harus mengumpulkan uangnya.
Saya bertekad untuk mengalokasikan gaji saya sebesar Rp 750.000 per bulan untuk dana pensiun. Sejak itu, saya sadar kalau merencanakan dana pensiun itu penting banget! Kasihan anak saya, kalau harus menanggung masa tua saya nanti.
Untuk kamu, berapa kira-kira jumlah dan pensiun atau dana hari tua yang dibutuhkan? Jumlahnya sebanyak saya atau enggak? Selamat menabung!
Artikel ini adalah hasil kerja sama Magdalene dengan finansialku.com untuk mendukung literasi keuangan anak muda dan UMKM.
Comments