Minggu lalu saya baru saja menonton The Medium, film horor Thailand bersama teman. Sebenarnya saya lumayan penakut, tapi sok-sokan berani demi gengsi dan ulasan memuaskan di linimasa. Sesuai dugaan, saya menyesal nonton film ini. Bukan karena kualitas filmnya yang hancur, tapi mental saya yang ajojing ria naik turun.
Sialnya, trauma nonton film horor itu terbawa sampai di rumah. Saya buru-buru mandi sebelum Magrib dan sengaja memasang video murotal (mengaji. Red) semalaman suntuk. Lampu kamar tentu saja saya biarkan menyala demi menekan rasa takut.
The Medium tak cuma bikin saya takut, tapi juga membangkitkan memori seputar mististisme pribadi. Ya, saya tumbuh di keluarga yang lekat sekali dengan hal mistis. Tak tanggung-tanggung, visual Mbak Kunti hingga Pocong itu bisa saya lihat sejelas saya melihat manusia pada umumnya. Tak ada sensor ala Komisi Penyiaran Indonesia sama sekali.
Entah kenapa, eksistensi saya ini bagai magnet buat hantu-hantu di dunia lain. Ya walau tidak separah tante saya yang sering jadi “medium” bagi makhluk gaib untuk berkomunikasi, tapi “diberkahi” penglihatan semacam itu sudah seperti neraka buat saya.
Baca Juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu
Kesurupan itu Nyata dan Saya Korbannya
Mungkin kalian bertanya, kenapa saya bisa punya kemampuan melihat makhluk gaib. Apakah saya sengaja dibukakan mata batinnya atau memang punya garis keturunan. Jawabnya tidak dua-duanya. Saya baru bisa “melihat” karena pernah kesurupan. Dulu ketika masih jadi siswa Sekolah Dasar (SD), saya ditinggal sebentar oleh mama ke warung saat Magrib. Di kamar sendirian, saya terpaku memandangi foto masa kecil. Saat itulah, tiba-tiba saja mata bulat saya dalam foto itu bergerak dengan sendirinya.
Bagaimana rasanya kesurupan? Saya tak ingat apa-apa kecuali merasakan sensasi seperti terbang, lupa diri. Saya masih bisa melihat mama masuk kamar, namun hanya bisa melihatnya dalam pandangan kabur. Saya tidak bisa merasakan dan merespons apa-apa. Saya tidak tahu berapa lama saya dalam keadaan ini sampai akhirnya mama “membangunkan” saya lagi. Usai siuman, mama bercerita, ia menemukan saya dalam keadaan tiduran dengan mata terbuka tetapi tidak merespons apa pun yang ia katakan.
Itulah momen pertama saya kesurupan. Sayangnya, konsekuensi dari kejadian itu adalah saya jadi bisa “melihat” setan. Awalnya saya tak sadar sampai akhirnya saya merasakan gambar dalam lukisan kuda dalam gedung pementasan bergerak sendiri. Ya kamu betul, mirip adegan di film penyihir Harry Potter. Saat bertanya pada teman, mereka bilang itu hanya lukisan biasa. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang bergerak.
Mulai dari sinilah saya melihat berbagai macam bentuk makhluk gaib. Ada Kuntilanak, Pocong, tapi ada juga yang berwujud seperti orang biasa. Ada yang cuma yang berbentuk bayangan hitam, ada pula yang bikin saya jantungan karena sosoknya menyeramkan dengan wajah hancur lebur berdarah-darah.
Kemampuan ini jelas membuat saya ketakutan dan merasa tidak aman. Bahkan di rumah saya sendiri, bayangan hitam besar dan kucing hitam hilir mudik di tangga sudah jadi normal baru. Saya sampai butuh waktu beberapa tahun untuk bercerita pada mama tentang kemampuan tersebut lantaran takut dihakimi. Namun, karena sudah tidak tahan memendamnya sendiri, saya bercerita pada mama hingga akhirnya ketika SMP kelas 9, saya mulai menerima diri saya yang merupakan anak indigo.
Baca Juga: Female Rage as Response to Violence in “Ratu Ilmu Hitam”
Titik Balik Saya Meruqyah Diri Sendiri
Sebagai anak indigo, saya dulu sempat ditawari oleh nenek teman sesama indigo, untuk memaksimalkan potensi saya. Menurutnya, jika potensi itu diasah, saya bisa menerawang masa depan. Saya sebenarnya tidak kaget dengan klaim nenek teman ini, karena saya sendiri memang beberapa kali mendapatkan penglihatan berupa fragmen singkat. Saya takut kemampuan ini bakal membahayakan, sehingga saya menolak tawaran dia.
Saya pun menjalani kehidupan saya sehari-hari dengan “kemampuan” ini. Namun ada suatu kejadian yang bikin saya trauma dan ingin bebas dari kemampuan tersebut. Saat itu, saya dan keluarga besar sedang berlibur. Kami menyewa villa tua besar di Puncak Bogor. Saat menapakkan kaki di villa itu, saya sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. Saya ingat, keponakan yang masih kecil bercerita ke ibunya kalau ia baru saja melihat seorang nenek-nenek dalam kerangkeng yang sebenarnya kosong dan digembok.
Malam harinya, saya dan saudara-saudara duduk di teras villa. Saat saya sedang duduk membelakangi kolam renang, saudara saya yang bisa “melihat”, Ade mendatangi saya. Ia bilang ada sesuatu di kolam renang. Saya pun menoleh dan melihat seseorang dengan kepala tertunduk dan rambut panjang diam mematung di pinggiran kolam. Saya kaget bukan main dan mengomeli mas saya ini.
Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
Saya otomatis pindah tempat duduk, eh Mas Ade malah mengekori saya dan bilang kalau saya sebenarnya dari tadi ditunggu sosok hitam besar. Rambutnya megar seperti singa dan wajahnya hancur, ia ada di dekat semak-semak, kata Mas Ade. Saya mencoba memfokuskan pandangan, dan benar saja ada “seseorang” di situ. Untungnya saya rabun jauh, jadi deskripsi Mas Ade tentang “seseorang” berwajah hancur ini tidak terlihat oleh saya. Sumpah ya! Mas saya ini ngeselin banget. Saya yang takut, memutuskan untuk tidur.
Eh, alih-alih tidur nyenyak, saya malah dihadiahi tangisan salah satu keponakan saya. Keponakan saya, Al, yang masih bayi, di jam setengah 3 pagi menangis sejadi-jadinya. Mbak saya kewalahan menenangkan Al yang walau sudah disusui juga tidak kunjung berhenti menangis. Saya menyadari, ada “seseorang” yang melayang di jendela. Iya, saking keponya kenapa keponakan satu ini menangis, saya pun bangun dari matras tempat tidur dan menyaksikan mbak-mbak rambut panjang melayang di jendela kamar yang kami tempati ramai-ramai.
Bayangkan aja dalam satu malam saya ketemu sama tiga makhluk gaib. Bagaimana saya tidak trauma? Kejadian ini akhirnya jadi titik balik saya memutuskan enggak mau lagi punya kemampuan ini dan bertanya kepada saudara-saudara saya sebaiknya apa yang harus dilakukan. Saudara-saudara memang sudah bilang kemampuan saya ini sebenarnya tidak normal. Tidak seharusnya manusia biasa bisa “melihat” dan pasti ada jin dalam diri saya makanya saya bisa seperti ini. Oleh karena itu, saya pun disuruh untuk meruqyah diri sendiri.
Selama meruqyah diri sendiri, saya salat 5 waktu dengan salat sunnah rawatib. Tiap Magrib saya diwajibkan membawa Alquran sampai Isya. Saya juga diwajibkan salat sunnah lain seperti Dhuha dan Tahajud dan kalau bisa saya puasa. Ya percaya enggak percaya, sih. It really works for me. Setelah menjalani rutinitas beribadah itu, saya jadi enggak bisa melihat lagi (walau masih bisa merasakan presensi mereka). Saya akhirnya bisa dengan tenang menjalani hidup sebagai orang normal. Namun, karena masih punya trauma sebagai anak eks indigo, makanya saya tiap nonton film horror utamanya Asia, saya sering paranoid sendiri. Takut kalau tiba-tiba penglihatan saya balik lagi. Ya Allah, amit-amit jangan sampe!
Comments