Bagi “Adnan”, 24, musik adalah sumber kebahagiaan. Ketika bosan atau jenuh, ia mendapatkan penghiburan dengan bernyanyi atau menulis lagu. Ia kerap kali menyanyikan lagu-lagu BTS yang telah diaransemen ulang atau mengikuti project original song bersama teman-temannya yang dirilis di platform digital.
“Ketika aku bosan atau jenuh, aku suka nyanyi. Aku sering tiba-tiba menulis lagu. Aku suka banget perasaan bahagia yang timbul saat menulis lagu karena my mind travels dan itu membuat hati dan jiwaku sangat content. Happy aja gitu ngelakuin-nya sepenuh hati tanpa ada keinginan dapat timbal balik dari yang kita lakuin, karena menurutku juga bisa jadi healing,” ungkapnya.
Jika boleh memilih, Adnan tentu ingin berkarier di musik, namun terlahir dan dibesarkan di keluarga kurang mampu menyadarkan dia bahwa mimpinya tidak realistis. Ia tumbuh menyaksikan orang tuanya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bulanan dan menyekolahkannya, sehingga ketika beranjak dewasa ia memutuskan untuk memprioritaskan keluarga sebelum passion-nya.
“I work to pay the bill. Walau selalu ada keinginan kuat untuk mengikuti passion, orang tuaku secara tidak langsung tidak memberikan aku opsi untuk melakukan hal tersebut. Ya, karena mereka tahu mereka butuh aku secara finansial dan aku juga tidak sampai hati ninggalin tanggung jawab itu,” ujarnya.
Baca Juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas
Seperti kebanyakan orang dewasa lainnya, Adnan menemukan dirinya berada di satu titik di mana ia harus memutuskan atau menggeluti passion atau mencari pekerjaan yang membawa penghasilan lebih stabil.
Namun apakah ini sesuatu yang tak bisa dihindarkan? Haruskah Adnan berkeras menggeluti sesuatu yang dicintainya dan mewujudkan cita-citanya dengan cara apapun?
Dari kecil kita pasti sudah familier dengan kalimat “Temukan passion-mu!”. Ketik kalimat “Find your passion” di YouTube, dan kamu akan disodori ratusan video dengan jumlah views jutaan tentang tips cara mudah mencari atau menjalani passion. Di era media sosial dan influencer bahkan passion tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang harus “ditemukan”, namun menjadi bagian yang tak terpisah dari hidup kita. Dengan kata lain, mencari pekerjaan pun harus sesuai dengan passion kita.
Pemikiran seperti ini mungkin telah berkontribusi pada tingginya tingkat ketidakpuasan akan kehidupan dan capaian banyak orang. Bahkan hal ini juga berpotensi menyebabkan banyak yang mencari pekerjaan sesuai passion, sebelum akhirnya mendapati bahwa kenyataan tidak seindah impian.
Percakapan tentang mengejar passion juga sering kali berbasis sebuah asumsi bahwa semua orang berangkat dari permulaan yang sama dan memiliki oportunitas yang sama. Padahal kenyataannya setiap orang memiliki modal sosial dan finansial yang berbeda dan tanggung jawab yang berbeda, yang berdampak pada kesempatan yang mereka miliki dan pilihan yang mereka dapat ambil.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pandangan “bekerja harus sesuai passion” justru memiliki dampak membatasi potensi seseorang, terutama dalam menemukan ketertarikan baru, dan dapat menyebabkan mereka lebih mudah menyerah ketika menghadapi tantangan.
Baca Juga: Passion, Torture, and Meaning
Psikolog dari Stanford University melakukan riset tentang bagaimana sebuah ketertarikan terbangun, dan menemukan bahwa mantra seperti “find your passion” mengesankan seolah dengan adanya ketertarikan, menggeluti sesuatu menjadi lebih gampang. Riset tersebut mendapati bahwa ketika seseorang menghadapi tantangan, pola pikir seperti ini membuat mereka justru cepat menyerah.
"Cantika", 26, memiliki passion menggambar. Setelah lulus kuliah arsitektur, ia melamar untuk bekerja sebagai seorang desain interior di salah satu perusahaan di Jakarta. Ia yakin dengan pekerjaan tersebut, ia akan memiliki pengalaman bekerja yang lebih menyenangkan, dan bisa menghindari risiko burnout seperti yang dialami banyak orang seusianya.
Namun, belum berlangsung satu tahun bekerja sebagai desainer interior, ia mulai merasakan beban yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Rutinitas yang ia lakukan sebagai desainer interior makin lama membuatnya jenuh, dan load pekerjaannya juga membuat ia semakin merasa tertekan. Akhirnya ia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut dan bekerja sebagai sebagai relationship officer di salah satu bank swasta di Indonesia.
“Dulu aku pernah berpikir kerja sesuai passion tuh enak kali ya, tapi ternyata aku punya batas ketika aku harus melakukan hal tersebut terus menerus. Akhirnya aku memutuskan berhenti karena aku takut malah bakal benci hal yang aku sukai,” ujarnya.
“Istilahnya, kamu tadinya semangat banget mengerjakan, tapi ketika itu sudah jadi pekerjaan tentunya ada beban yang harus kamu tanggung, sehingga kamu mengerjakan hal yang kamu suka itu enggak sama lagi. Jadi, yang namanya kerja sesuai passion menurutku enggak selalu menyenangkan.”
Baca Juga: The Pursuit of Passion and How It Can Be Wrong
Mencari atau Mengembangkan Passion?
Alih-alih “dicari” atau “dikejar”, pemikiran yang mulai mengemuka saat ini membingkai passion sebagai sesuatu yang kita kembangkan atau bangun. Dengan pendekatan seperti ini, kita dapat memiliki pandangan yang lebih luas dan fleksibel dalam memandang karier atau tujuan hidup kita dalam hubungannya dengan passion.
Ini yang dilakukan “Cleo”, 39, ibu dua anak yang memutuskan berhenti bekerja sebagai karyawan swasta untuk menjalankan usaha sendiri mendesain dan menjual barang-barang terkait BTS. Ia bercerita bagaimana teman-temannya melihat ia sekarang hidup lebih santai, namun yang tidak mereka ketahui adalah bekerja sesuai passion tidak semudah yang mereka bayangkan.
“Ngejalanin pekerjaan sesuai passion itu enak. Lo bisa ngerjain sesuatu tanpa ngomel-ngomel dan willingly mau begadang misalnya,” ceritanya.
Tapi ini bukan berarti tidak ada tantangannya. “Pertama, lo jadi suka enggak peduli untung dan rugi. Karena lo terlalu suka sama apa yang lo kerjain, jadinya kadang lo seperti mengesampingkan pemasukan diri lo sendiri. Kedua, enggak semua passion itu mendatangkan duit yang gede juga,” tambahnya. Cleo juga berjualan donat dan sarung ponsel untuk membantu jika usaha utamanya mengalami penurunan penjualan.
Api semangat dalam bekerja yang dikobarkan passion bisa redup seiring dengan tekanan dalam melakukan pekerjaan, karena itu butuh upaya khusus untuk terus menjaga semangat ini.
Karena hobi menulisnya, “Nindi”, 22 tahun, bekerja sebagai jurnalis setelah lulus pendidikan S1 jurnalistik. Ia berasumsi bahwa bekerja sesuai passion akan jauh memudahkan hidupnya, termasuk membebaskannya dari stres atau burnout. Namun bekerja sebagai jurnalis menuntut ia untuk terus mengikuti dan paham isu terkini. Bahkan sejak bekerja, keluar rumah rasanya sudah tidak seperti dulu lagi, karena otaknya akan otomatis bekerja menyambungkan apa yang ia lihat dengan isu-isu sosial yang sedang terjadi saat ini.
“Setiap melihat orang lalu lalang, atau baca berita, pikiranku kemana-mana. Misalnya aku liat orang kurang mampu, aku berpikir there’s something wrong with our system. Itu menurutku jadi penyumbang stres karena otak jadi berpikir terus. Jadi kalau orang-orang bilang kerja sesuai passion itu enak, minim burnout ya enggak juga lah.”
Nindi menambahkan, “Passion ini buatku sparks joy, oleh karena itu kita punya tanggung jawab untuk menggalinya terus agar enggak stuck di situ aja atau kehilangan rasa senangnya.”
Hal ini disetujui oleh Cleo, yang pernah menjalani keduanya. Baginya penting agar kita tidak terjebak dalam pemahaman simplistis tentang passion, dan menyadari sepenuhnya apa yang kita ingini serta apa saja kendala dan risiko dari keputusan yang kita ambil.
“Yang terpenting itu skala prioritas. Lo punya tanggung jawab atau enggak? Dan kalau enggak punya, lo sudah paham belum kalau ngejalanin pekerjaan sesuai passion ada juga kendala dan risikonya? Jangan sampai ketika sudah masuk, lo malah enggak enjoy.”
Comments