Kepolisian Surabaya, Jawa Timur, bulan lalu menahan seorang bekas mahasiswa yang diduga memperdaya setidaknya 25 orang sejak 2015 untuk melakukan tindakan seksual yang dalam ilmu psikologi disebut “mummification”, suatu perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup fetishism dengan dalih penelitian.
Polisi menahan tersangka Gilang Aprilian Nugraha Pratama yang kasusnya mengemuka di media sosial dengan dugaan perbuatan asusila. Namun, polisi menahan Gilang bukan dengan pasal asusila Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pasal dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penggunaan UU ITE oleh polisi dalam memproses kasus ini tidaklah tepat. Gilang melakukan perbuatannya terlepas dari peran teknologi; salah satu korban mengaku mengalami kekerasan secara langsung. Mengingat dimensi kekerasan seksual yang melekat, kepolisian seharusnya menggunakan KUHP untuk kasus ini.
UU ITE yang disahkan pada 2008 sebagai cyber law pertama di Indonesia dibentuk untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi. Karena ruang siber memiliki karakteristik khusus, maka pengaturan dan penegakan hukum di dalamnya tidak dapat menggunakan prinsip-prinsip hukum tradisional.
Sebagai contoh, lewat teknologi, seseorang dapat menderita kerugian akibat transaksi walau ia sendiri tidak terlibat dalam transaksi itu karena penjahat melakukan pencurian dana kartu kredit miliknya dan melakukan pembelanjaan di internet.
Undang-undang ini memiliki dua bagian besar. Bagian pertama mengatur hal-hal terkait e-commerce atau perdagangan digital. Sementara, bagian kedua mengatur hal-hal terkait dengan tindak pidana teknologi informasi, seperti konten ilegal (seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan), akses ilegal (seperti hacking), illegal interception (seperti penyadapan), dan data interference (seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal)
Dalam pelaksanaannya, UU ITE menimbulkan “korban”, bahkan setelah UU itu direvisi pada tahun 2016. UU ITE yang awalnya terbit sebagai jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik justru mengancam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi. UU ITE yang semestinya digunakan untuk melindungi publik justru menjadi alat untuk melawan publik. Tak jarang, UU ini juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik.
Baca juga: Fetish Bungkus Kain dan Fenomena Pelecehan Seksual Berkedok Riset
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), perkumpulan yang fokus pada kebebasan berekspresi, mencatat ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008 dengan hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. SAFEnet menemukan UU ITE sering digunakan dengan pola-pola pemidanaan untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok.
Kasus Gilang menambah deretan panjang penyalahgunaan UU ITE di Indonesia. Kasus ini bukan berkaitan dengan e-commerce ataupun sebuah kejahatan yang lahir dari perkembangan teknologi. Dugaan perbuatan Gilang lebih tepat digolongkan sebagai kejahatan kesusilaan yang sudah diatur dalam KUHP.
Pasal KUHP yang bisa digunakan
Polisi menyebut Gilang diduga dengan sengaja menggunakan teknologi elektronik untuk melakukan pemerasan dan pengancaman, dan dapat diancam pidana penjara maksimal enam tahun. Kepolisian menjustifikasi penggunaan UU ITE karena belum menemukan bukti-bukti atau unsur dari perbuatan tersangka yang mengarah pada dugaan pelecehan seksual atau kesusilaan.
Mereka mengatakan telah menelaah beberapa pasal dalam KUHP, yakni Pasal 292, Pasal 296, dan Pasal 297 KUHP, dan mengatakan tidak ada satu pun bisa diterapkan. Pasal-pasal tersebut masing-masing mengatur kekerasan seksual terhadap anak, keterlibatan mendukung pelaku kekerasan seksual, dan perdagangan anak. Namun, menurut kami, Pasal 289 KUHP bisa digunakan dalam kasus Gilang.
Pasal tersebut berbunyi, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Ada dua unsur penting dalam pasal ini: “Perbuatan cabul” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Dengan demikian, perbuatan cabul merupakan semua jenis perbuatan yang memiliki dimensi seksual dan berkaitan dengan hasrat seksual.
Baca juga: Bukan ‘Revenge Porn’ Tapi Kekerasan Seksual Berbasis Gambar
Gilang mengaku mendapatkan rangsangan seksual saat melihat orang yang ditutupi dengan kain dan dibungkus seperti jenazah. Oleh karena itu, perbuatan Gilang termasuk sebagai bentuk perbuatan cabul.
Korban, dalam utas Twitter, mengatakan Gilang menggunakan ancaman bunuh diri untuk memaksa korban mau menuruti keinginannya, termasuk untuk melakukan pembungkusan dengan kain terhadap teman korban. Gilang juga menyebut dirinya menderita suatu penyakit dengan maksud agar korban tidak membantah permintaannya. Ini merupakan bentuk ancaman yang termasuk dalam kategori kekerasan psikis.
Kekerasan psikis merupakan perbuatan yang menghilangkan rasa percaya diri maupun rasa aman pada diri seseorang. UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebut kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Lebih lanjut, studi 2008 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Publik di Kanada menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan psikis antara lain berupa ancaman, pengabaian, penghinaan, maupun isolasi.
Keterlibatan ahli
Dalam kasus yang unik seperti kasus Gilang, keterangan ahli, yang merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam persidangan, memainkan peranan yang besar dalam pembuktian. Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam kasus Gilang, keterangan ini dapat diberikan oleh ahli psikologi dan seksologi.
Ahli diperlukan dalam persidangan untuk membuktikan bahwa perbuatan Gilang dapat dijerat dengan Pasal 289 KUHP. Keterangan yang diberikan oleh ahli-ahli, digabung dengan fakta-fakta persidangan yang ada, dapat membantu hakim dalam memeriksa dan memutus kasus ini dengan menggunakan KUHP.
Kasus-kasus serupa seharusnya tidak dijerat dengan UU ITE. Penggunaan UU ITE untuk kasus kekerasan seksual justru semakin menambah daftar panjang permasalahan yang ditimbulkan oleh undang-undang ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments