Sudah puluhan tahun standar kecantikan arus utama seperti kulit putih, payudara besar, tubuh langsing, serta kulit jauh dari noda atau kerutan diagung-agungkan dalam budaya populer kita. Tengoklah media sosial, tidak susah untuk menemukan beragam selebgram mempromosikan produk-produk pemutih kulit. Tidak jarang produk-produk tersebut menggunakan gambaran bintang Kaukasian atau oriental yang berkulit terang dan mulus bak porselen dalam promosinya.
Di dalam negeri, telah bermunculan juga dokter dan klinik-klinik kecantikan yang menjual jasa atau produk untuk menyamarkan, atau mengklaim bisa menghilangkan beberapa kekurangan tubuh seperti kerutan, stretch mark, atau lemak berlebih, agar seseorang bisa setara dengan para model yang nyaris tanpa cacat cela di layar kaca atau lembar-lembar majalah.
Maraknya hal-hal ini membuat sebagian perempuan merasa minder akan warna kulitnya dan terdorong untuk menjajal beragam produk pemutih kulit. Dalam jurnal bertajuk “Malu: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia” (2012) yang ditulis L. Ayu Saraswati, ada beberapa informan perempuan yang merasa dirinya tidak percaya diri karena memiliki kulit gelap atau sawo matang. Beberapa dari mereka juga pernah dipanggil “negro”, “dakocan”, atau ejekan lain karena warna kulitnya.
Tidak sedikit produk pemutih kulit atau pelangsing yang dibanderol dengan harga tinggi. Selain itu, ada sebagian produk tersebut yang alih-alih memberikan manfaat sesuai yang diinginkan para perempuan, malah membahayakan kesehatan mereka. Kandungan dalam produk pemutih kulit seperti merkuri misalnya, bisa memicu munculnya kanker ketika memapar tubuh seseorang dalam jangka panjang. Konsekuensi dan risiko macam ini masih saja mau dihadapi sebagian perempuan untuk mengejar kecantikan sesuai standar arus utama yang muncul di media-media.
Kemunculan kampanye body positivity
Menyadari besarnya risiko yang bisa dihadapi perempuan ketika mengejar pencapaian standar kecantikan arus utama, serta bahwa tidak semua orang bisa dan perlu melakukan hal tersebut, sejumlah pihak baik individu, perusahaan, maupun komunitas mulai menyuarakan kampanye penerimaan tubuh secara positif atau body positivity.
Baca juga: ‘Skincare’ Abal-abal dan Praktik Sulam: Tuntutan Cantik di Era Digital
Pada Maret lalu, Tara Basro sempat mengunggah foto diri yang memperlihatkan kekurangan tubuhnya sebagai bagian dari kampanye body positivity. Oleh sebagian warganet, Tara ini diapresiasi dan dianggap menginspirasi para perempuan lain untuk turut menerima kekurangan tubuh.
Tidak hanya oleh pesohor, kampanye penerimaan diri dan body positivity juga digaungkan oleh sejumlah merek, satu di antaranya di dalam negeri adalah Nipplets yang memproduksi pakaian dalam atau lingerie. Ida Swasti, pendiri Nipplets mengawali bisnisnya sejak 2016 ketika ia mengamati bahwa meskipun ada permintaan, masih sedikit supply untuk produk ini di dalam negeri.
Melalui media sosial, Ida tidak sekadar memasarkan lingerie saja. Ia secara aktif menyuarakan self love dan penerimaan diri, salah satunya lewat kampanye Real People Real Body beberapa waktu lalu. Dalam kampanye tersebut, ia menggunakan model-model dengan warna dan bentuk tubuh beragam serta tidak melulu mengikuti standar kecantikan arus utama.
Pilihan untuk mengampanyekan hal ini datang dari pengalaman Ida sendiri yang sempat merasa tak percaya diri dengan tubuhnya setelah beberapa teman yang mencelanya karena ukuran payudaranya. Sampai akhirnya, ia banyak membaca buku dan kutipan positif tentang tubuh dan mulai mengubah cara pandangnya terhadap tubuh sendiri.
“Setelah aku mendalami self love dan self acceptance ini aku merasa bisa menerima tubuhku sendiri. And it’s great, feeling-nya lega dan aku bisa stand up for my self ketika ada yang bilang my boobs are so small,” ujarnya kepada Magdalene.
“Aku bilang ke mereka, so what? Whats wrong with small boobs? Kita enggak perlu peduli kata orang lain dan bisa embrace our own body, our selves. Rasanya lebih menyenangkan dibanding harus melihat negatif diri kita terus,” kata Ida.
Baca juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!
Di media sosial, Nipplets tidak hanya berkomunikasi satu arah dengan khalayak. Ia juga membuka ruang bagi mereka yang mau berkonsultasi lebih dulu sebelum membeli pakaian dalam, juga bagi mereka yang mau memberikan testimoni dan foto diri dalam balutan produk Nipplets.
“Biasanya kalau orang konsultasi, kita tanya apa yang kamu suka dan enggak suka dari badan kamu. Kita pilihkan produk yang bagus dan menonjolkan kelebihan tubuhnya. Lalu untuk testimoni dan foto, kita sering menaikkan ini untuk encourage followers lain supaya percaya diri juga kayak follower yang sudah kasih testimoni tadi,” jelas Ida.
Selain berangkat dari pengalaman sendiri, kampanye penerimaan diri yang Ida tampilkan dalam memasarkan produk Nipplets juga didorong oleh followers yang menyarankan ia untuk memakai model-model yang punya fitur tubuh serupa dengan mereka. Berkat kampanye tersebut, Nipplets mendapat tanggapan positif dari orang-orang yang merasa bisa merelasikan diri dengan para model yang ditampilkan Nipplets.
Semua warna kulit cantik
Setelah berhasil menggaungkan kampanye Real People Real Body, Nipplets kini mengampanyekan penerimaan keberagaman warna kulit tubuh kepada khalayak.
“Sering ada pertanyaan dari followers, ‘Gue tuh kulitnya enggak putih, cocok enggak ya pakai warna ini?’ Sebenarnya buat yang berkulit gelap enggak usah khawatir apakah warna tertentu cocok apa enggak sama kamu Karena sebenarnya any color is beautiful selama kamu embrace warna kulitmu,” kata Ida.
Untuk mengampanyekan penerimaan keberagaman warna kulit ini, Ida memilih model-model berkulit gelap seperti model asal Papua dan Bali agar khalayak lebih merasa relate dengan mereka, di samping model-model berkulit cerah yang sudah ada. Pemilihan dan pemotretan model-model berkulit gelap tersebut dilaksanakan sejak Februari lalu dan berlanjut setelah berakhirnya masa pembatasan sosial selama pandemi.
Baca juga: Stop Pandang Kulit Putih Lebih Superior
Model-model berkulit gelap ini bisa ditemukan dalam koleksi Nipplets Reverie, yang menonjolkan kecantikan perempuan Indonesia yang umumnya berkulit sawo matang atau gelap. Dalam unggahan bertagar #nippletsreveriecollection, Nipplets juga menyampaikan pesan bahwa bagi para perempuan yang merasa kurang atau tidak punya banyak hal cantik pada dirinya, mereka tak perlu menyetarakan diri dengan standar kecantikan yang ada. Terlepas dari standar itu, mereka masih punya banyak hal lain yang patut dibanggakan.
“Sebelumnya dalam kampanye Real People Real Body, orang bisa daftar untuk jadi muse kita. Karena pandemi, kita ada keterbatasan untuk mengumpulkan model sehingga aku menggunakan muse-nya model. Meskipun model, aku mencari yang enggak sepenuhnya berbadan ideal. Cari yang juga ada ceritanya, misalnya mengangkat cerita dari model-model Melanesia ini,” ungkap Ida.
Kampanye penerimaan kulit seperti yang digaungkan Nipplets dan sejumlah media lainnya punya peran besar dalam membuat narasi yang melawan standar kecantikan kulit putih. Dalam penelitian Hasty Larasati yang dimuat di Masyarakat: Jurnal Sosiologi (2018), sebagian informannya menyatakan bahwa penampilan orang-orang seperti Tara Basro, Kimmy Jayanti, Lia Waode, Prisia Nasution, dan beberapa selebritas lain yang berkulit lebih gelap telah membantu mereka menerima warna kulitnya sendiri. Lewat representasi selebritas macam inilah mereka meyakini bahwa menjadi cantik tidak ada kaitannya dengan warna kulit putih.
Lewat kampanye semacam yang dijalankan Nipplets ini pula, kita bisa mengupayakan dekolonialisasi terhadap simbol-simbol kecantikan. Yang tadinya orang mengacu pada kecantikan ala Barat yang identik dengan kulit putih, menjadi terbuka pada pemahaman bahwa kecantikan itu beragam dan mencakup salah satunya warna kulit gelap atau sawo matang seperti mayoritas orang Indonesia. Kita bisa mendefinisikan sendiri kecantikan tanpa harus melulu mengikuti arahan media yang bias kulit putih dan melihat kulit gelap bukan sebagai kekurangan, melainkan sebagai kebanggaan atau hal yang kita cintai.
Comments