Sarpan adalah contoh terbaru bagaimana polisi bisa sangat brutal. Menurut laporan sejumlah media, kuli bangunan berusia 57 tahun itu adalah saksi sebuah pembunuhan di daerah Deli Serdang, Sumatra Utara, tapi dia ditangkap dan dianiaya polisi saat berada sel tahanan Kepolisian Sektor Percut Sei Tuan, Medan.
Dalam keterangannya, selama ditahan Sarpan dipaksa mengakui pembunuhan terhadap kuli bangunan yang tidak pernah ia lakukan, didera siksaan fisik sampai kedua matanya menghitam dan cedera. Kasus ini kemudian sampai viral di Twitter.
Pada akhirnya, polisi kemudian menangkap pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Dilansir Tirto.id, Kapolda Sumatra Utara Irjen Polisi Martuani Sormin, sembilan polisi yang terdiri dari penyidik pembantu, kepala unit reserse, hingga kepala polsek yang terlibat dalam kasus tersebut akhirnya diberikan sanksi internal.
Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), Poengki Indarti mengatakan, saat ini kasus tersebut masih dalam tahap pembahasan, dan ia berharap polisi yang bersalah tidak hanya diberikan sanksi etik dan disiplin, tetapi juga sanksi pidana.
“Ini sudah termasuk tindak pidana karena ada unsur kekerasan. Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Hak Asasi Manusia, tertulis kepolisian dilarang menggunakan tindakan kekerasan terhadap orang yang diperiksa,” ujar Poengki dalam webinar "Kenapa Benci Polisi" yang diselenggarakan media Voi.id (16/7).
Menurut Poengki, tidak hanya menggunakan Perkap saja, Polda Sumatra Utara juga bisa menggunakan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang juga mengatur bahwa setiap pejabat pemerintah dilarang menggunakan kekerasan dalam mendapatkan kesaksian.
Atas nama penegakan hukum, alasan ini sering kali dijadikan dalih kepolisian atas tindakan represif yang mereka lakukan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa selama periode Juli 2019 hingga Juni 2020, kepolisian terlibat kekerasan dalam 921 peristiwa dengan 1.627 korban luka-luka dan 304 korban tewas. Kasus terbanyak yaitu penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam penanganan aksi massa pada 2019. Kejadian yang terus menerus berulang ini memperlihatkan permasalahan yang lebih sistemik dalam tubuh kepolisian.
Baca juga: Kasus Polisi Gay: Ketika Maskulinitas Aparat Keamanan Terluka
Regulasi dan pemakluman tindakan represif
Menanggapi banyaknya tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Awi Setiyono mengatakan, tindakan tersebut dilakukan akibat dari situasi yang semakin tidak terkendali.
“Polisi kan juga manusia bukan robot. Kekerasan yang dilakukan tersebut ada ukurannya. Kalau sudah tidak berdaya atau kooperatif tetapi masih terkena kekerasan, ini yang tidak boleh,” ujar Awi.
Peneliti dari Lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara mengatakan, tindakan represif dalam beberapa konteks memang perlu dilakukan. Namun, ketika ditelaah kembali kekerasan seperti ini kerap terjadi dalam penyelidikan ketika ingin mendapatkan bukti, ujarnya.
“Ruang untuk mempermasalahkan ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), itu tidak ada regulasinya,” kata Anggara dalam acara yang sama.
Hal ini juga tergambar dalam penelitian ICJR soal hukuman mati di Indonesia dari periode 1997 hingga 2016. ICJR menemukan ada 23 pengakuan terdakwa yang menyebutkan adanya kekerasan selama penyidikan. Ketika ruang untuk mempersalahkan metode tersebut tidak diberikan, semua keterangan dan alat bukti yang diperoleh dalam penyidikan dianggap sah oleh sistem hingga kemudian dipersoalkan keabsahannya di persidangan.
“Harus ada regulasi soal pemilahan dari awal. Jika alat bukti tersebut didapatkan dengan cara pemaksaan, bukti tersebut seharusnya tidak boleh dibawa ke pengadilan,” kata Anggara.
Selain soal bukti, menurut Anggara, masalah lainnya ada pada infrastruktur rumah tahanan yang tidak memadai sehingga tahanan masih boleh dititipkan di sel tahanan kepolisian. Dalam KUHAP, penahanan merupakan wewenang Rumah Tahanan dan di bawah Kementerian Hukum dan HAM, dan kepolisian hanya berfokus pada penangkapan agar bebannya tidak banyak.
“Kami melihat sistem yang perlu diperbaiki. Harus ada reformasi sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Dan ini merupakan tugas dari DPR RI, yang saat ini juga menjadi inisiator revisi KUHAP. Kami dukung keputusan tersebut,” ujar Anggara.
“Dan tidak hanya aturan itu saja yang perlu dibenahi. Ada Undang-Undang (UU) Pemasyarakatan, UU advokat, dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang secara keseluruhan memayungi seluruh undang-undang ini. Sehingga lembaga-lembaga hukumnya jelas juga nomenklaturnya,” tambahnya.
Baca juga: Vonis Hukuman Mati Tak Hasilkan Efek Jera
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan, perubahan dalam undang-undang ini memang tengah didorong oleh Komisi III ke arah restorative Justice yang tidak terlalu menitikberatkan pada hukum pidana.
“Karena kalau retributif saja, penjara akan semakin penuh dan permasalahan sosial setelahnya tidak tertangani. Di Badan legislasi saat pembahasan peraturan Perundang-undangan sudah mengarah pada restorative justice,” kata Nasir.
Pengawasan perlu diperketat
Dalam kinerja kepolisian secara keseluruhan, Awi Setiyono mengatakan pihak kepolisian sudah memiliki sistem yang baik dalam pengawasan terhadap anggota-anggotanya. Jika ada anggota-anggota mereka yang melakukan kesalahan, pihak kepolisian sudah responsif menyelesaikan pelanggaran tersebut, ujarnya.
“Sistem yang kami miliki saat ini sudah baik, dan bahkan kami mulai menambahkan CCTV untuk mengawasi kinerja anggota kami. Kalau mereka melakukan pelanggaran hal ini bisa langsung dilihat dari CCTV,” kata Awi.
Nasir mengatakan kinerja dan perbaikan institusi kepolisian sudah membaik, namun masih perlu pembenahan soal pengawasan pada bagian satuan reserse kriminal (reskrim) yang menangani tindak pidana.
“Dalam hal pengawasan memang perlu ditingkatkan lagi ya, apalagi jumlah polisi di seluruh Indonesia mencapai 460 ribu orang saat ini. Kebijakan-kebijakan yang mengatur kepolisian inilah yang perlu dibenahi,” ujarnya.
“Institusi Polri juga perlu terbuka menerima masukan. Nah PR besar lainnya adalah pembenahan kultural yang masih tersendat-sendat,”ujar Nasir.
Poengki Indaryati dari Kompolnas juga sepakat bahwa reformasi secara kultural tersebut juga menjadi pekerjaan besar dalam kepolisian dan perlu pengawasan yang ketat dari berbagai pihak.
“Kami di Kompolnas juga menyampaikan aduan-aduan masyarakat terhadap kinerja polisi dan terus mengawal hal ini diselesaikan. Selain itu, kita juga perlu menekankan kepada anggota-anggota kepolisian ini, bahwa ini loh, ada Perkap dan peraturan-peraturan lain yang perlu kalian taati dan pahami,” kata Poengki.
Comments