“Dita” merasa frustasi dengan timbangan badannya yang terus naik secara signifikan, setelah menggunakan pil KB sebagai alat kontrasepsi. Semenjak ia menikah lima bulan lalu, pil KB menjadi pilihan yang harus dilakukannya setelah sang suami menolak menggunakan kondom. Alasannya cukup klasik, suaminya menganggap kondom bikin kenikmatan berhubungan seksual jadi berkurang.
“Awal-awal dia mau pakai, tapi lama-kelamaan dia enggak mau. Akhirnya aku yang harus pakai pil KB, meski cukup concern dengan kenaikan berat badan,” ujar perempuan 26 tahun tersebut kepada Magdalene.
Sebetulnya suami Dita masih mau menggunakan kondom sesekali, tapi harus jenis kondom yang tipis, dan itu cukup mahal bagi Dita. Sehingga jika sedang tak minum pil, ia lebih memilih bersanggama terputus—alias metode “keluar di luar” yang biasa digunakan untuk mencegah kehamilan.
Penolakan pemakaian kondom dengan alasan yang sama juga dialami “Juwita”, 26. Selain bisa mengurangi kepuasan berhubungan seksual, pasangannya merasa kondom juga menyulitkannya untuk orgasme. Meski Juwita awalnya sempat khawatir ketika berhubungan seksual tak memakai kondom, untuk menghindari konflik ia biasanya membiarkan sang pasangan untuk bersanggama terputus.
Baca juga: Mayoritas Remaja Cowok dan Cewek Indonesia Tak Pakai Alat KB
“Katanya, kita udah sama-sama kenal dan saling setia jadi aku diminta percaya,” ujarnya.
Meski ia paham betul bahwa yang dilakukan pasangannya itu berisiko, tapi Juwita lebih berusaha untuk percaya pada si pasangan dan menekan rasa was-wasnya. Terlebih, ia juga takut kalau permasalahan memakai kondom atau tidak bisa menghancurkan mood saat berhubungan seksual.
“Aku takut jadi kill the mood aja sih. Jadinya pilih keluar di luar aja. Emang sih dia agak toksik jadi aku males untuk berkonflik,” tambahnya.
Lain halnya dengan Dita dan Juwita, Zera Edenzo, 29, bersama suami justru lebih memilih menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi sejak menikah tiga tahun lalu. Keputusan itu ia ambil setelah berdiskusi dengan dokter kandungan.
Semua alat kontrasepsi sebetulnya 99 persen efektif, tapi punya efek samping yang berbeda-beda. KB jenis suntik, pil, dan susuk misalnya, bisa berpengaruh pada hormon sehingga bisa berdampak pada kenaikan berat badan. Sedangkan untuk pilihan vasektomi tidak begitu disarankan oleh dokter karena umur suaminya yang dianggap masih muda.
“Pilihannya IUD memasukan ‘barang asing’ menetap di tubuh. Bisa 3,5 atau 10 tahun. Tapi, efek sampingnya bisa pendarahan. Jadi yang paling aman adalah pakai kondom,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia itu kepada Magdalene.
Jika kebanyakan laki-laki menolak menggunakan kondom karena beralasan kenikmatan berhubungan seksual, suami Zera justru jadi pihak yang menawarkan opsi kondom sebagai alat kontrasepsi.
“Pasti ada perbedaan antara pakai kondom dan enggak, tapi saat ngomongin seks masalah tanggung jawab bersama juga enggak kalah penting. Lagian, stereotip kalau pakai kondom enggak enak itu konstruksi sosial. Dinikmati saja. Selama sepakat dan nyaman,” tambahnya.
Meski sudah terbukti efektif dan minim efek samping, keengganan memakai kondom sebagai alat kontrasepsi dan stigma pada kondom jadi satu dari sekian faktor rendahnya partisipasi laki-laki memakai alat kontrasepsi. Zera dan suaminya bahkan sering dapat omongan julid dari teman-teman mereka tentang pemakaian kondom.
“Kebanyakan temen bilang mending pake IUD,” kata Zera.
Selama ini penyediaan metode alat kontrasepsi di Indonesia terbagi menjadi dua jenis, yaitu Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang meliputi IUD/spiral, implan, suntik, tubektomi dan vasektomi. Kedua, ada Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (MKJP) yang terdiri dari kondom, pil, dan suntikan.
Namun, dari banyaknya metode yang tersedia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pemasangan KB masih dibebankan pada perempuan. Ini terlihat dari angka pemasangan alat KB paling besar pada 2021 adalah metode suntik 66,49 persen. Disusul pil 15,55 persen, susuk 8,5 persen, IUD 7,08 persen. Sedangkan presentase yang paling kecil tetap dipegang oleh kondom 1,19 persen, senggama terputus 1,41 persen, dan vasektomi 0,15 persen. Catatan ini kembali jadi bukti bahwa keterlibatan laki-laki terhadap kontrasepsi masih di kisaran 3,62 persen.
Baca juga: Implementasi KB Masih Timpang Gender dan Diskriminatif pada Perempuan
Pemakaian Alat Kontrasepsi Bukan Cuma Urusan Perempuan
Kecilnya kontribusi laki-laki dalam penggunaan alat kontrasepsi sebetulnya juga permasalahan klasik yang sudah lama jadi perhatian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Dikutip dari Antara, Ketua BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan bahwa pihaknya sudah terus berupaya mensosialisasikan pentingnya keterlibatan laki-laki dalam penggunaan alat kontrasepsi. Namun, karena dalam masyarakat kita masih berpandangan bahwa urusan kontrasepsi ini adalah urusan perempuan, sehingga untuk mau datang mendengarkan sosialisasi saja laki-laki kadang tidak mau.
“Padahal sudah banyak akseptor laki-laki yang menceritakan pengalamannya tentang menggunakan alat kontrasepsi. Tapi tetap susah meyakinkannya,” ujar Hasto (29/9/22).
Direktur Eksekutif Yayasan Ipas Indonesia Marcia Soumokil mengatakan bahwa rendahnya partisipasi laki-laki dalam pemasangan alat kontrasepsi tidak lepas dari budaya patriarki yang selalu ingin mengontrol tubuh perempuan. Padahal, masalah kontrasepsi ini harusnya jadi tanggung jawab bersama.
“Saat melihat kehamilan, biasanya pihak yang harus dikontrol itu perempuan karena mereka yang punya rahim dan bisa melahirkan. Padahal kan ya enggak akan mungkin perempuan hamil tanpa sperma, jadinya kedua belah pihak yang tanggung jawab. Mana yang lebih berisiko,” ujarnya dalam Live Instagram bersama Magdalene beberapa waktu lalu.
Menurutnya, selain tanggung jawab kontrasepsi masih dibebankan pada perempuan, sistem yang ada juga mendesain pilihan kontrasepsi cuma lebih banyak untuk perempuan. Meski sudah ada gerakan sosialisasi yang dilakukan BKKBN—sebagai bagian pemerintah—untuk menggunakan kondom dan vasektomi, kampanye dan edukasinya masih dominan berfokus pada perempuan.
Padahal kenyataannya, ada banyak stigma dan mispersepsi tentang alat kontrasepsi laki-laki. Pemakaian kondom misalnya, seringkali diasosiasikan dengan seks bebas. Bahkan sosialisasi kondom ke masyarakat kerap diekori dengan tuduhan kampanye seks bebas anak muda.
Sedangkan vasektomi kerap disalahartikan sebagai tindakan mengambil testis atau disamakan dengan kebiri. Sehingga ada ketakutan bahwa laki-laki akan kehilangan “kejantanan” jika memilih tindakan itu.
“Edukasi kampanye juga masih bias untuk menargetkan perempuan, tetapi metode-metode kontrasepsi untuk laki-laki masih sangat sedikit kita dengarkan. Kondom yang lebih mudah dijangkau masih besar stigmanya, sedangkan pelayanan buat vasektomi saja masih sangat terbatas di daerah-daerah,” tambah Marcia.
Baca juga: Obrolan Soal Kontrasepsi Tabu, Tapi Vasektomi Lebih Tabu Lagi
Stealth Sex dan Stigma yang Menempeli Kondom
Dokter Andrologi dari The Jakarta Women and Children Center Rossy Sintya Marthasari mengatakan, kondom harusnya lebih sering lagi dikampanyekan karena selain efektif mencegah kehamilan juga mencegah terjadi penyakit menular seksual. Di banyak kasus, meski istri sudah memasang alat KB, jika suami ternyata berisiko membawa penyakit menular, maka istri bisa saja terkena saat berhubungan seksual.
“Karena kan tetap terjadi pergesekan antara kulit dan pertukaran cairan. Jadinya, meski sudah pakai alat kontrasepsi, istri tetap bisa kena. Jadi nih pembahasan soal kondom sebagai alat kontrasepsi bukan cuma sekadar ‘enak’ apa ‘enggak’ enak, tapi masalah keamanan juga,” ujar Rossy kepada Magdalene.
Ia menambahkan bahwa stigma dan mispersepsi yang masih menempeli alat kontrasepsi laki-laki harusnya lebih sering dibahas lagi. Terlebih, pihak yang banyak jadi korban adalah perempuan.
Selain berpotensi menularkan penyakit seksual, keengganan laki-laki memakai kondom karena alasan kepuasan seksual juga bisa berujung jadi tindakan kekerasan seksual.
Walau di Indonesia belum ada data jelas tentang ini, tapi ada banyak kasus di mana laki-laki sengaja merobek atau melepaskan kondom ketika tengah berhubungan seksual. Hal semacam ini biasa disebut stealth sex dan tergolong dalam kekerasan seksual.
Stealth sex juga bisa terjadi dalam relasi yang timpang. Misalnya, ketika pasangan meminta tidak menggunakan kondom dengan bujukan-bujukan manipulatif.
Negara bagian AS, California, menjadi wilayah pertama yang menganggap serius kasus stealth sex. Tahun lalu, mereka memasukkan stealth sex menjadi sesuatu yang ilegal dan bagi mereka yang masih melakukannya bisa mendapat konsekuensi hukum. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pemenuhan hak-hak sipil warganya.
Meski mungkin akan sulit untuk kita mengharapkan Indonesia bisa mengambil langkah progresif seperti California, tapi menurut Marcia untuk saat ini hal minimal yang bisa dilakukan adalah berhenti menstigma kondom dan mulai menormalisasi laki-laki terlibat dalam pemakaian alat kontrasepsi.
Selain itu, ia menambahkan, pemerintah juga sebaiknya berhenti mengeluarkan kebijakan yang bias karena alat kontrasepsi harusnya bisa diakses semua orang. Termasuk remaja dengan harga yang lebih terjangkau. Apalagi Dita dan Juwita juga sempat mengeluhkan masalah harga kondom yang masih relatif mahal.
“Kebijakan dan data untuk akses kontrasepsi masih terbatas pada mereka yang sudah menikah. Remaja yang justru butuh diedukasi soal kesehatan reproduksi malah sering tidak diberikan akses. Selama tabu itu masih ada, maka akan sulit untuk menghapus stigma,” kata Marcia.
Comments