Indonesia dan Asia Tenggara
Mulai tahun 2011, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) meluncurkan proyek seri Biennale Jogja Equator yang berfokus pada wilayah khatulistiwa. YBY menggunakan khatulistiwa sebagai cara pandang baru serta membuka diri untuk menghadapi “kemapanan” dan kebiasaan-kebiasaannya. Khatulistiwa adalah titik awal dan platform bersama untuk membaca kembali dunia.
Tahun ini menandai edisi kelima Biennale Jogja Equator, kami bekerja bersama 52 seniman dan kelompok, dari berbagai wilayah dan kota di Asia Tenggara. Pameran utama Biennale Jogja XV Equator #5 akan diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober – 30 November 2019. Bertempat di Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Kampung Jogoyudan, Ketandan 17, dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri. Buka jam 10.00 pagi sampai jam 21.00 malam.
Kurator Biennale Jogja XV adalah Akiq AW dan Arham Rahman dari Indonesia, serta Penwadee Nophaket Manont dari Thailand. Para kurator memilih tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' untuk merangkum pembacaan Yayasan Biennale Yogyakarta dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan Biennale Jogja Equator 5 atas segelintir persoalan “pinggiran” yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara, terutama yang beririsan dengan masalah identitas (gender, ras, dan agama), narasi kecil, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, atau yang lebih spesifik, praktik kesenian.
Mereka fokus pada gagasan tentang “pinggiran” yang tidak sekedar mengacu pada ide tentang tempat, namun lebih penting lagi adalah tentang subyek atau komunitas yang hidup di dalamnya: subyek yang tidak mendapat manfaat dari dan menderita karena struktur sosial ekonomi atau politik. Ini akan menyentuh masalah-masalah relasi kuasa, dimana subyek di pinggiran dipaksa untuk menghadapi situasi hegemoni kekuasaan dimanapun mereka berada.
Sebagai sebuah pendekatan, gagasan tentang pinggiran dapat diperluas ke berbagai permasalahan hidup sehari-hari: kesenjangan kesetaraan jender, pelanggaran hak asasi manusia, masalah buruh dan kelas pekerja, khususnya terkait pekerja migran, diskriminasi berbasis ras atau agama, dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam pertimbangan yang, beberapa seniman yang menampilkan karya atau proyek yang merespon ketegangan antara pusat dan sekitarnya, mencoba menawarkan sebuah posisi alternatif dan subversif, untuk menyoroti suara dari pinggiran. Misalnya, Manifesto Konkhaem menduduki sebuah ruang yang diabaikan di Kota Yogyakarta untuk menciptakan platform bagi berbagai media, untuk memberi panggung bagi mereka yang dieksploitasi, dilupakan dan dibuang dari pembangunan arus utama yang brutal.
Muslimah Collective mengambil langkah yang tidak biasa di antara lingkup kesetaraan, yang biasanya membingkai hijab mereka dalam peran kewanitaan. Kelima anggota Muslimah Collective menampilkan ragam bentuk karya yang fokus pada cara hidup muslim di Pattani. Sedangkan Nerissa Del Carmen Guevara (Filipina) menciptakan Elegy 9: Ghost of The Sea yang terinspirasi dari pengalamannya mengikuti residensi Kelana di Pambusuang.
Sementara itu seniman Moelyono menampilkan karyanya yang pertama kali diinisiasi pada 1994, sebuah persembahan untuk buruh perempuan yang dibunuh pada periode tersebut, Marsinah. Karya ini dilarang oleh polisi sebelum pameran dibuka pada 1994. Pada kesempatan ini, Moelyono mengolah kembali gagasannya menjadi sebuah proses pembangunan monumen. Adapula karya mendiang seniman Hildawati Soemantri yang pernah ditampilkan pada 1978, karyanya menunjukkan pencapaian konseptual seniman perempuan atas medium keramik.
Dalam biennale kali ini, kami juga memperkenalkan program Paviliun yang disebut dengan Bilik sebagai platform untuk bertemu dengan negara atau wilayah lain yang memiliki relasi erat dengan Asia Tenggara. Dua bilik menempati ruang pamer di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri yaitu Hong Kong—dikurasi oleh Para Site—dan Bilik Timor Leste—dikurasi oleh ArteMoris, dan yang lain adalah Bilik Taiwan yang dikuratori oleh Alia Swastika di Artspace@Helutrans.
Malam Pembukaan
Untuk malam pembukaan Minggu, 20 Oktober 2019 di Jogja National Museum, Voice of Baceprot menjadi penampil utama yang juga merepresentasikan tema pinggiran yang kami angkat. Mereka adalah remaja-remaja perempuan asal Garut, Jawa Barat yang dikenal karena identitasnya yang menggunakan hijab, tetapi berani memainkan musik heavy metal. Mereka menjadi simbol resistensi melawan Kaum Muslim konservatif di kotanya.
Sementara Amuba menjadi gambaran dari gerakan kelompok queer, menunjukkan pernyataan bagaimana praktik seni memberi dukungan pada kelompok-kelompok terpinggir. Sedangkan dua seniman partisipan, Pisitakun Kuantalaeng (Thailand) dan Yennu Ariendra memanggungkan projek mereka yang diinspirasi oleh sejarah dan tradisi di masyarakat etnis.
Proyek yang dikerjakan Yennu Ariendra untuk Biennale Jogja XV masih terkait erat dengan proyekproyek yang pernah ia garap sebelumnya. Dimulai dari cerita tentang Raja Kirik, yang mengadopsi kesenian Jaranan Buto di Banyuwangi, Jawa Timur, lalu kemudian ekspresi musik akar rumput lewat dangdut koplo, dan terakhir Gruduk Merapi, ekspresi kesenian yang diinisiasi oleh warga lokal Ndeles, Klaten, Jawa Tengah. Melalui ketiga fragmen tersebut, Yennu mengajak kita untuk melihat berbagai bentuk perlawanan melalui ekspresi-ekspresi kesenian.
Selengkapnya kunjungi website kami di biennalejogja.org/2019
Comments