Peringatan pemicu: pembahasan penyiksaan mental dan bunuh diri
Pada 9 September 2020, ARMY (sebutan penggemar dari grup idola BTS) di seluruh dunia berkabung atas kematian salah satu anggota keluarga mereka. Seorang ARMY dari Turki bernama Melisa bunuh diri setelah bertahun-tahun disiksa secara mental oleh ayah kandungnya sendiri.
Sebelum meninggal, Melisa pernah beberapa kali meninggalkan balasan di twit salah satu anggota BTS yang berisi curahan hatinya. Melisa kerap bercerita melalui Twitter bahwa ayahnya menyiksanya secara mental dengan melontarkan kata-kata seperti bagaimana dirinya adalah manusia yang tidak berguna, bagaimana sang ayah merasa menyesal memiliki anak seperti dirinya, atau bagaimana orang-orang tidak akan ada yang peduli jika dirinya lenyap dari dunia ini.
Perlakuan ayah Melisa pun semakin buruk ketika dirinya tahu bahwa anak perempuannya menyukai BTS. Karena sudah tidak kuat dengan siksaan mental dari ayahnya sendiri, Melisa pun memutuskan untuk meninggalkan dunia ini selamanya yang kemudian menorehkan duka mendalam pada jutaan ARMY di seluruh dunia.
Namun, berpulangnya Melisa akibat dari perlakuan abusive ayahnya justru dinarasikan oleh sebagian media massa sebagai sebuah bentuk dari fanatisme seorang remaja perempuan yang menggilai grup idola laki-laki. Melalui berbagai portal berita lokal maupun luar negeri, Melisa digambarkan sebagai seorang remaja perempuan yang sudah kehilangan akal. Dirinya berani mencabut nyawanya sendiri karena sang ayah tidak menerima dirinya menyukai idola laki-laki.
CNN Indonesia sebagai portal berita terpercaya di negeri ini bahkan ikut serta dalam membentuk narasi negatif terhadap Melisa. Pada 9 September 2020, media itu melakukan siaran langsung, memberitakan kematian Melisa yang sedang trending di Twitter. Dalam siaran tersebut CNN Indonesia mengaitkan kematian Melisa dengan fenomena kecanduan K-pop, sampai mengundang psikolog untuk membahas lebih lanjut mengenai bahaya candu K-pop dan indikasinya pada bahaya bunuh diri di kalangan remaja.
Bias terhadap penggemar perempuan
Narasi yang media massa bentuk dan gaungkan mengenai Melisa sebenarnya bukan sebuah hal yang asing lagi. Sejak dahulu para penggemar perempuan selalu mendapatkan stigma atau pelabelan negatif dan eksistensinya kerap direduksi di tengah masyarakat, budaya populer, dan media massa. Mereka selalu dilihat sebagai sekumpulan remaja-remaja hormonal atau orang-orang yang sangat obsesif yang berteriak memuja idolanya, seakan mereka sudah kehilangan kewarasan mereka sendiri. Mereka seakan tidak memiliki kemampuan intelektual karena obsesi berlebihan mereka, yang pada akhirnya mendorong mereka menjadi manusia berperilaku menyimpang.
Baca juga: BTS dan Bagaimana Idola Membantu Kesehatan Mental
Penggemar perempuan selalu diletakkan sebagai bentuk stereotip yang mengarah pada penistaan terhadap budaya populer lewat cerminan sifat “feminin” seperti histeria, fanatik, maniak, dan lainnya yang bertentangan dengan maskulinitas yang selalu dikaitkan dengan seni adiluhung atau high culture. Label negatif seperti histeria yang hanya dilekatkan pada penggemar perempuan sebenarnya merupakan bentuk degradasi terhadap eksistensi seorang individu.
Jika kita menilik kembali pada sejarah, histeria (lebih dikenal sebagai female hysteria) sendiri merupakan sebuah diagnosis medis yang umumnya diberikan oleh perempuan. Rachel Maines, seorang akademisi dari Amerika Serikat bahkan menyatakan bahwa hingga awal 1900-an, para dokter menggunakan istilah histeria sebagai diagnosis umum bagi perempuan. Istilah menunjukkan berbagai gejala dan perilaku yang tidak dapat dijelaskan oleh diagnosis medis lain pada saat itu, terutama jika gejala dan perilaku mereka memiliki tendensi untuk membahayakan orang lain. Selama berabad-abad, para dokter percaya bahwa perempuan secara biologis lemah dan cacat, sehingga tidak mengherankan bahwa histeria menjadi diagnosis umum bagi perempuan bahkan dilabelkan dengan istilah spesifik tersendiri, female hysteria.
Sudah satu abad berlalu, namun penggemar perempuan masih saja diasosiasikan dengan label negatif seperti histeria. Pengasosiasian penggemar perempuan dengan perilaku menyimpang pada kenyataannya tidak lain tidak bukan adalah buah dari proses ‘”feminisasi” penggemar perempuan. Dalam hal ini media massa dan masyarakat secara sepihak menetapkan perbedaan antara rasionalitas yang ditandai melalui evaluasi objektif dengan emosi yang ditandai dengan pengabaian kemampuan kritis.
Valerie Walkerdine, seorang akademisi yang berkecimpung di bidang studi psikologi dan media, menggambarkan bagaimana pembingkaian rasionalitas dalam wacana maskulinitas membuat perempuan dipandang kurang memiliki evaluasi rasional yang baik dan karenanya mereka hanya merespons murni berdasarkan emosi mereka sendiri. Padahal teriakan dan antusiasme yang bisa kita lihat di konser BTS sebenarnya pararel dengan teriakan dan antusiasme yang ada di setiap pertandingan olahraga. Namun, teriakan yang keluar dari penggemar perempuan menjadikannya berbeda.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
Masyarakat menormalisasi laki-laki “terobsesi” pada sesuatu hal terutama jika hal tersebut masih berkaitan erat dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional yang ada di dalam masyarakat, seperti contohnya sepak bola. Penggemar laki-laki dapat menggelontorkan uang hingga berjuta-juta untuk membeli jersey official atau merchandise klub sepak bola favorit mereka. Mereka rela menabung untuk menonton langsung klub sepak bola favorit mereka bertanding di Liga Champions UEFA.
Apa yang laki-laki lakukan pada klub sepak bola favorit mereka sebenarnya adalah hal yang sama dilakukan oleh para penggemar perempuan. ARMY, misalnya, menabung untuk membeli album atau merchandise BTS. Mereka juga sama-sama menggelontorkan uang mereka untuk bisa menonton konser BTS. Tapi apakah respons masyarakat terhadap para penggemar perempuan ini sama dengan penggemar laki-laki? Nyatanya tidak.
Banyak sekali ejekan atau lontaran yang merendahkan lainnya disasarkan kepada penggemar perempuan jika publik mengetahui cara para penggemar perempuan ini mendukung idolanya. Masyarakat kita dibentuk untuk melihat obsesi laki-laki terhadap sesuatu sebagai sebuah passion atau antusiasme yang bersifat positif, dan antusiasme ini tidak layak untuk dihakimi dan dilabeli dengan stereotip negatif oleh orang lain. Namun, di saat bersamaan, antusiasime perempuan dihakimi dan dilabeli sebagai suatu bentuk dari penyimpangan sosial.
Apakah salah jika perempuan memperlihatkan antusiasme mereka terhadap sesuatu? Toh selama antusiasme mereka tidak merugikan diri mereka sendiri atau orang lain, tidak ada salahnya bukan untuk membebaskan mereka mengekspresikan diri mereka sendiri. Sudah saatnya semua perempuan bebas mengekspresikan diri mereka tanpa harus dihakimi. Ayo kita bersama-sama membuka lembaran baru. Lembaran baru yang menormalisasi antusiasme perempuan terhadap sesuatu layaknya kita semua menormalisasi obsesi laki-laki terhadap klub bola atau band rock yang mereka sukai. Biarkan perempuan-perempuan di dunia ini menikmati hidup mereka dengan bebas mengekspresikan diri mereka sendiri!
Comments