“Nonton The Greatest Showman saja yuk! Tadi soundtrack-nya menang di Golden Globe,” ajakku. Akhirnya kami sepakat untuk menonton film tersebut.
Film ini merupakan drama musikal orisinal yang terinspirasi kehidupan P.T. Barnum, pengusaha pertunjukan asal AS yang antara lain mendirikan Sirkus Barnum & Bailey. Ia seorang visioner yang menciptakan pertunjukan-pertunjukan atraktif dan imajinatif yang menghibur penonton di seluruh dunia.
Barnum mengumpulkan orang-orang unik untuk memperlihatkan talenta mereka dalam sebuah pertunjukan. Film ini menjadi menarik karena sebagian masyarakat tidak menerima keunikan dan keanehan anggota Sirkus Barnum. Hal ini mengingatkanku pada kondisi masyarakat yang hingga kini masih tidak mau melihat perbedaan dan keberagaman.
Para penonton di bioskop mungkin terkesima dengan lagu dan tarian di film itu. Demikian juga denganku. Namun aku juga berkali-kali menghapus air mata karena terharu, apalagi pada adegan di mana Lettie lutz (Keala Settle) bersama pemain sirkus lainnya, masuk ke dalam aula yang dipenuhi warga yang tidak menerima mereka. Dengan berani juga percaya diri, mereka mulai menyanyikan lagu “This is Me”.
I am brave, I am bruised
I am who I’m meant to be
This is me..
Bendungan air mataku bobol. Bagi aku, seorang queer, lagu itu benar-benar mengena. Sebuah lagu bertemakan penerimaan diri yang dinyanyikan secara lantang dan berani. Hingga keluar dari bioskop, aku masih terus terbayang adegan itu. Merindingnya pun masih terasa sampai sekarang. Lagu itu membawaku ke masa-masa awal menjadi mahasiswi yang merasa tidak sinkron dengan teman-teman di kelas. Aku merasa sendirian karena masih takut untuk mengatakan bahwa gender dan ekspresiku tidak sejalan dengan norma umum.
Aku dibesarkan dalam keluarga tradisional dan religius. Mereka masih mendidik anak perempuannya untuk tidak berpakaian seperti laki-laki, tidak berperilaku maskulin, dan mempercayai bahwa rambut pendek itu hanya milik laki-laki. Sayangnya, aku tidak bisa menjadi anak perempuan seperti yang mereka inginkan. Sejak dulu, aku memang tidak nyaman dengan identitas perempuan yang diajarkan oleh keluargaku.
Rambutku selalu pendek, bahkan pernah juga sampai dicukur undercut. Menurutku, gaya rambut seperti itu sangat keren! Tapi orang-orang terdekatku tidak menerima penampilanku. Setiap aku pulang dengan potongan rambut pendek baru, beberapa dari mereka memarahiku.
“Kenapa potong pendek kayak cowok lagi?! Kamu kan perempuan! Kamu mau jadi preman?!” ujar salah satu di antara mereka, yang membuatku tidak percaya diri dengan penampilanku.
Aku juga sering jadi sasaran olok-olok teman-teman karena penampilan maskulin dan rambut super pendek. Mereka dengan santai berkata, “Elma mah bukan perempuan tulen.” Lalu aku pun balas dengan melempar ujaran sarkastis, “Duh, gue kan kentang.”
Sarkasme itu selalu aku lemparkan ketika ditanya, “Gendermu apa sih, Ma?” karena lelah dengan stereotip mengenai laki-laki dan perempuan. Yang paling aku ingat adalah waktu aku SMP, seorang guru kaget sekali melihat rambutku yang cepak dan pendek. Dengan muka khawatir dan nada prihatin, beliau bertanya, “Elma, kamu masih suka laki-laki, kan?”
Aku pun terbengong-bengong. Apa hubungannya rambut pendek dengan ketertarikan dengan lawan jenis? Lagi-lagi stereotip sekali. Aku muak sekali menghadapi hal ini.
Tumbuh berkembang dalam dunia yang terpaku pada gender normatif membuat aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Tidak hanya aku, di luar sana banyak sekali anak-anak yang kebingungan dan tidak mengenal diri mereka, sebab tidak diizinkan untuk mengeksplorasi diri.
Sampai suatu hari di semester tiga, pertemuan dengan teman-teman waria di Sanggar Waria Remaja (SWARA) mengubah hidupku. Mereka bercerita mengenai fase-fase penerimaan diri dan bagaimana menghadapi stigma serta diskriminasi dari masyarakat yang sangat heteronormatif.
Fase Penerimaan diri adalah salah satu periode yang sulit bagi teman-teman Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer (LGBTIQ). Banyak dari teman-teman yang mengalami depresi karena menganggap bahwa ada yang salah dalam dirinya. Hal ini karena banyak dari mereka yang tidak mendapat edukasi mengenai orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender (SOGIE). Aku salah satu yang beruntung karena memiliki akses untuk belajar mengenal diri sendiri lewat kelas SOGIE yang diadakan oleh Rumah Belajar Pelangi, sebuah program dari organisasi Arus Pelangi, pada 2015 lalu.
Dari SWARA dan Arus Pelangi, aku mulai bertemu dengan banyak teman yang memiliki beragam ekspresi gender dengan penampilan yang berbeda, dan berani menjadi diri mereka sendiri. Pertemuan-pertemuan itu membuatku jadi berani untuk mulai mencari identitas genderku.
Bertemu dengan teman-teman dalam gerakan keberagaman identitas gender dan identitas seksual membawaku pada dunia yang lebih beragam dan berwarna-warni. Sejak saat itu, aku mulai berani mengekspresikan diriku, dan juga membicarakan isu-isu yang dianggap tabu dan berat oleh teman-temanku seperti isu LGBT, hak-hak perempuan, dan lainnya.
Di lingkungan kampus, aku juga mulai terbuka dan menyatakan lebih senang menjadi kentang, yang awalnya hanya sebagai sarkasme, namun aku adopsi menjadi identitasku. Kentang lebih terdengar netral, dibandingkan laki-laki atau perempuan, karena aku tidak merasa cocok dengan dua pilihan itu.
Kejujuran tersebut ternyata membuat beberapa teman di kampusku come out secara pribadi padaku. Mereka pun mulai bercerita mengenai identitas gender dan seksual mereka secara terbuka. Senang? Tentu saja!
Menjadi diriku yang saat ini, membawa banyak hal positif di dalam hidupku. Selain meningkatkan kepercayaan diri, menerima bahwa aku lebih senang berambut pendek, dan berpenampilan maskulin juga mengurangi bebanku. Kini aku tidak ambil pusing dengan perkataan orang, karena aku sudah nyaman dengan diriku yang sekarang. Dan yang terpenting aku tahu, ada orang yang menerima diriku dan mendukungku.
Comments