Belakangan ini menjadi hari-hari yang berat bagi kelompok queer. Mereka yang sudah sejak lama hidup di bawah bayang-bayang kini kehidupannya semakin terancam.
Pemberitaan tentang LGBTQ dengan nada buruk kembali ramai, setelah podcast Deddy Corbuzier beberapa waktu lalu memicu gelombang kebencian. Isunya digoreng banyak pihak termasuk dari kalangan pemerintahan. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan bahkan membawa-bawa lagi ide mengkriminalisasi LGBT lewat Rancangan KUHP.
Efeknya, ujaran penuh kebencian dan penghakiman massal memenuhi media sosial. Setiap hari pasti ada saja cuitan atau unggahan penuh kebencian disasar kepada kelompok queer. Pemberitaan media massa di Indonesia pun sama sekali tak membantu, tapi justru memelihara api kebencian ini.
Iklim sosial politik yang terjadi di Indonesia ini jelas menggambarkan queerfobia: Sebuah ketakutan dan kebencian yang dalam Urban Dictionary dijelaskan berkaitan langsung dengan hal-hal yang bukan cis-heteroseksual. Dalam hal ini queerfobia tidak hanya mengacu pada ketakutan dan kebencian terhadap homoseksualitas tetapi juga biseksualitas, panseksualitas, transgenderisme, aseksualitas, dan genderqueer.
Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Dampak atas fobia ini sangat merugikan. Tak hanya berdampak pada tiap individu queer sendiri, tetapi juga pada level makro, yaitu negara.
Pada level individu, dampaknya bisa bikin orang-orang queer mengalami depresi hingga gangguan kecemasan parah yang akan berdampak pada hidup mereka. Dalam Prejudice, Social Stress, and Mental Health in Lesbian, Gay, and Bisexual Populations: Conceptual Issues and Research Evidence (2003), Ilan Meyer menyatakan bukti tentang prevalensi gangguan mental pada lesbian, laki-laki gay, dan biseksual yang lebih tinggi terjadi daripada heteroseksual. Gangguan mental ini tak lain disebabkan oleh stressor sosial yang berlebihan terkait dengan stigma, prasangka, dan diskriminasi terhadap lesbian, laki-laki gay, dan biseksual di masyarakat.
Stressor berlebihan bisa berakibat fatal. Dalam survei The Trevor Project pada 2022 misalnya, 58 persen dari sekitar 34.000 remaja LGBTQ dilaporkan mengalami depresi. Sedangkan 48 persen dari mereka serius mempertimbangkan untuk mencoba bunuh diri dalam satu tahun terakhir.
Presentase ini jelas mengkhawatirkan mengingat kerentanan kelompok queer akibat queerfobia juga sangat berdampak bahkan pada ekonomi negara.
Mary Virginia Lee Badgett, ekonom Amerika dalam studi kasus terhadap homofobia yang diterbitkan oleh The World Bank pada 2014, menyatakan India memiliki estimasi tinggi kerugian terkait tenaga kerja sebesar 7.7 miliar dollar Amerika Serikat dan 23.1 miliar dollar AS terkait disparitas kesehatan akibat homofobia. Dalam hal ini, India berpotensi mengalami kerugian sebesar 1.7 persen Produk Domestik Bruto (PDP) tahunannya, karena homofobia masih merajalela di sana.
Berdasarkan studi William Institute di UCLA School of Law 2017 lalu, diskriminasi LGBT di Indonesia bahkan bikin negara rugi sekitar 12 miliar dolar AS atau setara lebih dari Rp159 triliun. Kerugian ini disebabkan perlakuan diskriminasi yang jadi hambatan-hambatan di sektor pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Baca juga: ‘Framing’ Media, Sistem Peradilan yang Timpang Membunuh Tersangka Lesbian
Di tiga sektor tersebut, individu LGBT kerap mendapat pelecehan, tindak kekerasan, bahkan didiskreditkan oleh peraturan perundang-undangan.
Diskriminasi pada sektor pekerjaan yang kentara terjadi di Indonesia dapat mengurangi pemasukan negara dan meningkatkan angka pengangguran yang berdampak pada jumlah penduduk miskin. Diskriminasi juga memengaruhi akses pendidikan dan kesehatan yang wajib diberikan negara pada warganya, termasuk kelompok queer. Padahal, Indonesia punya target-target Sustainable Development Goals (SDGs) yang jadi agenda dunia lewat PBB, yang baru akan bisa tercapai jika akses kesehatan buruk dan queerfobia ini dikentaskan.
Lantas, apa saja yang bisa kamu lakukan untuk melawan, atau mungkin menyembuhkan, queerfobia ini?
- Pupuk Empati Jadi Langkah Awal
"Empati adalah kemampuan kita untuk mengidentifikasi apa yang orang lain pikirkan atau rasakan, dan untuk menanggapi pikiran dan perasaan mereka dengan emosi yang sesuai," tulis Baron-Cohen, psikolog klinis Inggris dan profesor psikopatologi dalam bukunya Zero Degrees of Empathy: A New Theory of Human Cruelty (2011).
Orang yang kurang empati melihat orang lain sebagai objek belaka. Berbagai macam genosida di dunia, seperti Holokaus yang dilakukan Nazi dan Holodomor yang dilakukan Josef Stalin adalah bukti nyata bagaimana kurangnya empati berdampak kuat pada perilaku kita pada sesama manusia.
Maka, untuk melawan queerphobia, hal penting yang harus kita lakukan adalah dengan memupuk empati. Ini penting sebagai langkah awal bagi diri dalam memahami keberagaman. Menurut Baron-Cohen, empati akan memaksa kita untuk melihat segala sesuatunya tidak dalam kacamata tunggal. Karena individu akan mencoba memahami perasaan dan pengalaman sendiri dengan orang lain pada saat yang bersamaan.
Empati ini bisa dimulai dengan hal-hal kecil seperti berikut:
- Tidak berasumsi bahwa semua rekan kerja, kawan sekolah, atau siapa pun yang kamu temui sebagai heteroseksual. Misalnya berhenti bertanya: “kapan menikah?” dan semacamnya.
- Sadari bentuk-bentuk candaan seksis atau homofobik/transfobik/queerfobik untuk dihindari.
- Jangan merasa lebih berhak atas orientasi seksual orang lain. Jika punya kawan queer, pahami bahwa proses coming out cuma milik individeu tersebut. Mereka yang berhak menentukan kapan dan siapa yang diingin diberitahu tentang seksualitasnya.
- Diskusi Tatap Muka dan Terbukalah untuk Belajar
Salah satu ketimpangan yang diciptakan queerfobia adalah sistem dan akses pendidikan yang bikin kita jauh dari ilmu-ilmu yang inklusif. Seperti kebanyakan negara di dunia, Indonesia juga punya sistem pendidikan yang masih bias heteronormatif. Namun, sumber pengetahuan dan informasi tentang LGBTQ+ dan ilmu-ilmu gender yang inklusif sudah makin mudah dicari dan diakses di era internet ini.
Kamu juga bisa mengikuti seminar, webinar, atau workshop tentang pengenalan dan pemahaman keberagaman gender untuk memperluas perspektif. Sekaligus mengikis bias-bias heteronormatif yang diajarkan sejak kecil pada kita.
Banyak kawan-kawan queer yang juga terbuka untuk diajak diskusi, terutama mereka yang telah menerima diri (coming in) dan berkenan membagikan pengalamannya di media sosial.
Baca juga: Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’
Namun, perlu diingat, keterbatasan pengetahuan orang-orang yang tidak queer atas hidup orang-orang queer bukanlah tanggung jawab mereka. Seperti yang ada di pembukaan poin kedua ini, akses pendidikan kita memang dibangun dari sistem yang tidak ramah pada mereka. Orang-orang queer sendiri, terutama mereka dari kelompok yang akses ekonomi dan pendidikannya lebih terbatas, harus berusaha ratusan kali lipat untuk bisa memahami diri sendiri dan ilmu-ilmu tentang queerness yang sudah tersedia.
Setelah punya empati, dan terbuka untuk belajar, ada baiknya kamu juga terbuka untuk berdiskusi langsung. Manusia adalah makhluk kompleks, propaganda ketakutan berlebihan yang ditanamkan ke otakmu tak akan mudah luntur jika kamu menutup diri untuk sekadar bercakap-cakap.
- Memaknai Agama yang Welas Asih
Pada 13 Juli 2019, empat akademisi—Ferdiansyah Thajib, Saskia Wieringa, Ben Murtagh, Diego García Rodríguez—melalui penelitian mereka yang berfokus pada isu gender dan seksualitas di Indonesia, mengadakan simposium satu hari yang diselenggarakan oleh SOAS University of London.
Di simposium bertajuk ‘Gender, Sexuality, Religion: Thinking Beyond LGBT Moral Panics in Indonesia itu, mereka menggarisbawahi salah satu poin penting mengenai keterhubungan kepanikan moral dengan religiusitas masyarakat Indonesia: Dengan penduduk mayoritas Islam, Indonesia tidak bisa terlepas dari cara hidup individunya yang dilandasi norma-norma agama. Norma-norma ini berguna untuk memastikan bahwa ada batasan, misalnya, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan, dan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan sebagai anggota masyarakat.
Ketika seseorang, atau sekelompok orang, dianggap tidak selaras dengan standar tersebut, ada kemungkinan mereka akan diidentifikasi sebagai ancaman terhadap tatanan masyarakat melalui kepanikan moral. Di Indonesia, hal ini dapat terjadi melalui wacana-wacana tertentu. Misalnya, nilai-nilai agama, atau oposisi 'budaya lokal' terhadap nilai-nilai Barat, yang secara terus menerus direpresentasikan sebagai bahaya bagi tatanan sosial.
Ketika individu atau sekelompok individu diidentifikasi sebagai bahaya maka diskriminasi dan persekusi pun tak bisa dihindarkan. Agama yang diinterpretasi jadi senjata untuk menyerang eksistensi orang-orang queer, adalah realitas yang harus mereka hadapi, alami, dan hidupi setiap hari.
Namun, sebagaimana ilmu pengetahuan yang makin terbuka dan mudah diakses, makin banyak pula pemuka-pemuka agama juga lebih terbuka pada keberagaman gender. Mereka meninjau kembali landasan ajaran-ajaran yang selama ini dipakai untuk menghalalkan kekerasan pada kelompok minoritas gender.
Sehingga, kita tak jarang melihat sosok-sosok queer yang juga religius. Propaganda agama versus queer mulai runtuh, karena ajaran agama sesungguhnya mengajarkan welas asih.
Hal ini yang membuat narasi agama alternatif menjadi sangat penting. Arie Raditya, misalnya mengungkapkan bagaimana tokoh-tokoh pemuka agama yang progresif seperti Gus Amar, Amina Wadud, Musdah Mulia penting dalam mendorong representatif dan representatif dan respektabilitas politik ada.
“Jelas penting memahami agama dengan cara demikian (welas asih).Ya, walau pasti ada resistensinya karena enggak sesuai dengan narasi agama pada umumnya, tapi hal ini tetap diperlukan sehingga barulah kita pelan-pelan bisa mendiskusikan inklusivitas dengan jelas,” kata Arie.
Jeje, transpuan dan ilustrator Magdalene mengatakan salah satu cara untuk melawan queerphobia atau bahkan “menyembuhkannya” adalah dengan memaknai ulang esensi agama. Menurut pandangannya bagaimana memahami esensi agama sebagai ajaran penuh kasih sayang akan menghantarkan kita pada menghargai satu sama lain dalam empati yang mengiringinya.
“Agama kan sebenarnya mengajarkan konsep cinta kepada sesama manusia, jadi saat kita ngomongin spiritualitas beragama ya balik aja ke esensinya. Ini lebih memudahkan kita menangkap ajaran agama yang penuh kasih sayang, enggak jadi robot yang menelan mentah-mentah tafsir yang bias misalnya. Yang pada gilirannya cuma feeding our ego,” tambah Jeje.
Comments