Masih lekat di ingatan banjir bandang dan Badai Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT), April 2022. Peristiwa yang termasuk paling parah sejak 2011 itu dipicu siklon tropis Seroja. Siklon tersebut menyebabkan intensitas hujan yang lebat dan ekstrem, bahkan sampai menimbulkan tanah longsor dan angin kencang.
Akibatnya, bencana ini merenggut 138 nyawa warga, 61 orang dinyatakan hilang, dan kerusakan di 52.793 rumah pada 17 kabupaten dan kota. Kendati demikian, di tengah daerah lainnya di NTT yang kebanjiran, Kampung Kuya yang terletak di Desa Matawai Atu, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, justru tidak mengalaminya. Kerusakan yang dialami adalah dampak dari badai Seroja.
“Itu berkat mangrove di dusun kami,” ujar Kepala Dusun Kampung Kuya, Zedrakh Yohanes, kepada Magdalene (10/9).
Di pekarangan rumahnya pagi itu, Zedrakh menceritakan bagaimana kondisi dusunnya saat peristiwa itu terjadi. Awalnya hujan lebat tiga hari, berlanjut dengan angin kencang selama tujuh jam.
Kondisi itu membuat aktivitas mereka terhambat. Tak sedikit pohon yang tumbang, hingga 126 rumah mengalami kerusakan. Warga tidak dapat melakukan apa pun selain berlindung. Ditambah terputusnya komunikasi, dan listrik yang padam selama 42 hari sehingga mereka memanfaatkan lilin dan genset.
“Tapi di sini kering (kami enggak kebanjiran),” ceritanya.
Zedrakh mengaku, mangrove berperan besar dalam situasi tersebut, meskipun dusunnya sangat berdekatan dengan laut. Tanaman itu menahan arus air laut yang mengikis dataran pantai, menyelamatkan Kampung Kuya dari banjir dan abrasi.
Pun, dusunnya merupakan satu-satunya yang masih menjaga hutan mangrove, di antara lainnya yang telah memangkas habis dan memanfaatkan lahan untuk memperluas tembok rumah. Akibatnya, dusun lain ikut terdampak banjir dalam peristiwa tersebut.
Kerusakan akibat ulah manusia tidak hanya dialami oleh warga dusun di sekitar Kampung Kuya, tetapi juga Desa Mburukulu, Kecamatan Pahunga Lodu, Sumba Timur.
Sejak 2015, mereka terhambat untuk mengakses air. Ini merupakan dampak dari penebangan hutan oleh warga di Desa Lambakara dan Desa Palanggay, Sumba Timur, yang dilakukan secara liar. Mereka kemudian menjual kayu-kayu tersebut. Sementara perusahaan swasta membutuhkan tanah untuk pembukaan perkebunan tebu.
“Bisnis penjualan kayu itu dinilai menggiurkan. Soalnya kayu yang dijual punya nilai tinggi, jadi bisa menambah perekonomian,” tutur Rambu Ana Maeri, pendeta di Desa Mburukulu yang ikut melestarikan lingkungan hidup.
“Satu kubik kayu harganya sekitar tiga juta rupiah. Orang bisa membeli sekian kubik, dan kayunya memang bagus,” tambah Rambu Ana.
Di tengah situasi itu, warga Desa Mburukulu tidak memberikan izin atas penjualan lahan ke perusahaan. Sebab, lahan itu akan semakin sempit untuk hewan ternak dan masa depan anak-anaknya. Mereka juga sangat bergantung pada mata air dari Desa Lambakara, untuk irigasi dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keterbatasan akses terhadap aliran air sempat menyebabkan kekeringan dan gagal panen di sawah-sawah Desa Mburukulu. Bahkan, untuk mandi saja mereka harus berjalan sejauh delapan kilometer, ke ledeng yang sumbernya berasal dari mata air Kawuku. Kemudian menampungnya dalam jerigen-jerigen.
“Jadinya kami memanfaatkan sumber mata air dari Desa Lambakara, tapi sistem pengairan sawah itu harus gantian,” tutur Rambu Ana. “Misalnya hari ini lima petak pertama punya A, besok baru sawahnya B,” imbuhnya.
Padahal, sebelum penebangan terjadi, Desa Mburukulu dapat memanfaatkan mata airnya sendiri, yaitu Matawai La Wangga. Sayangnya, mata air itu telah ditutup perusahaan. Sementara debit air dari mata air di Desa Palanggay semakin mengecil.
Belum lagi burung yang berpindah ke sawah dan menjadi hama bagi penanaman padi. Situasi ini menandakan rusaknya tempat tinggal mereka yang seharusnya di hutan, dan berdampak pada ekosistem sawah.
Penebangan hutan dampaknya bukan hanya berpengaruh terhadap proses dan hasil bertani, tapi juga sumber dayanya. Pasalnya, mata pencaharian utama warga Desa Mburukulu adalah berkebun dan bertani. Situasi tersebut sempat membuat mereka harus diliburkan dari pekerjaannya.
“Mereka beralih untuk mengelola rumput laut dan mengurus kebun jambu mete,” kata Rambu Ana.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Mburukulu tak luput dari peran pemerintah, dan perusahaan swasta yang memutuskan untuk membuka lahan tebu. Pada akhirnya, warga yang mengalami akibatnya dan harus berjuang untuk memperbaiki lingkungan.
Namun, berdasarkan penuturan Rambu Ana, sejumlah warga di desa ini belum cukup memiliki kesadaran dan terlibat dalam perawatan lingkungan. Mereka justru memandang sebelah mata, usaha perempuan 45 tahun itu untuk memperbaiki tempat tinggalnya.
Baca Juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?
Peran Masyarakat dalam Ketahanan dari Bencana
Sebagai seorang pendeta, Rambu Ana memanfaatkan hak istimewanya untuk mengajak jemaatnya menjaga lingkungan. Hal itu disampaikan melalui khotbah ketika sedang melangsungkan ibadat, atau mengobrol dengan mereka saat pelayanan. Menurutnya, para jemaat belum memiliki kesadaran merawat lingkungan. Bahkan, penanaman pohon dilakukan hanya karena memiliki fungsi ekonomi.
“Mereka belum punya pemahaman kalau menanam (pohon) bisa menyelamatkan lingkungan. Jadi mereka menanam untuk kebutuhannya nanti ketika mau bangun rumah misalnya,” tutur Rambu Ana.
Jemaat pun belum memedulikan penebangan hutan yang dilakukan. Ada anggapan perbuatan tersebut bukan urusannya. Kata Rambu Ana, keprihatinan mereka juga hanya sebatas ungkapan tanpa sebuah aksi.
“Paling cuma bilang, ‘Kasihan hutannya sudah habis’, tapi belum ada upaya untuk menanam kembali,” ceritanya.
Tanggapan tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman mereka yang belum melihat suatu permasalahan untuk jangka panjang. Mereka masih fokus pada apa yang terlihat di depan mata.
Sementara, advokasi yang dilakukan Rambu Ana bertujuan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang semakin terjadi. Ia juga memikirkan anak cucu yang kemungkinan tidak dapat menikmati alam, dan menjadi “penonton” di tanahnya sendiri lantaran sudah tidak memiliki lahan.
“Kadang saya mengaitkan juga dengan firman untuk menjaga lingkungan. Kalau manusia diciptakan bukan berkuasa atas semuanya, tapi dititipkan untuk merawat alam,” ucap Rambu Ana.
Sayangnya, upaya untuk menyuarakan isu yang menjadi keprihatinannya masih sering tak diacuhkan oleh jemaatnya. Mereka sekadar mendengarkan khotbah Rambu Ana, tapi tidak diwujudkan lewat aksi dalam hidup sehari-hari.
“Kenapa kamu enggak mengurus khotbah dan melakukan pelayanan, aja? Kenapa harus berurusan dengan masalah ini?” tutur Rambu Ana, meniru ungkapan yang disampaikan jemaatnya yang kontra.
“Bahkan mereka bilang, ‘Memangnya berapa rupiah yang gereja kasih untuk jemaat?’” sambungnya.
Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Rambu Ana dalam menyuarakan pentingnya menjaga hutan kepada jemaatnya. Bersama sebagian jemaat yang lebih sadar untuk merawat alam, mereka melakukan reboisasi berupa pohon mahoni di halaman rumah masing-masing.
“Memang belum luas, tapi kami menanam semampunya,” ujar Rambu Ana. “Sebenarnya mereka juga masih melihat penanaman ini untuk memenuhi kebutuhan kami saat membangun rumah, tapi enggak apa-apa. Setidaknya sudah membantu menyelamatkan (lingkungan) walaupun sedikit.”
Situasi di Desa Mburukulu berbeda dengan Kampung Kuya. Pasca terjadinya badai Seroja, dengan perlahan warga kampung tersebut memiliki kesadaran untuk lebih banyak menanam dan tidak menebang mangrove.
Sementara sebelum bencana itu menyapu NTT, sejumlah warga kerap melakukan pemangkasan. Bahkan, penanaman yang dilakukan Zedrakh bersama 20 orang warga lainnya dilakukan tanpa tujuan.
“Pada 2013 itu kami menanam tanpa tahu fungsinya seperti apa,” ungkap Zedrakh. “Paling ya pas gelombang pasang enggak langsung (mengarah) ke rumah karena ditahan mangrove.”
Pasalnya, pada 1996, lahan yang kini menjadi hutan mangrove itu sempat dipangkas habis. Kemudian, dijual untuk proyek tambak ikan milik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Setelah terjadi abrasi, barulah bakau tumbuh dengan sendirinya.
Kendati demikian, abrasi yang menumbuhkan bakau itu tidak serta-merta membangun kesadaran warga. Pun Zedrakh mengaku, ia menanam mangrove hanya karena iseng. Kebetulan mendapati buah-buah mangrove yang berjatuhan, ketika bekerja di pesisir pantai sebagai nelayan.
Namun, setelah badai Seroja, barulah ia mulai mendekati warga satu per satu untuk mengajak menanam mangrove. Zedrakh mengaku hal itu sulit dilakukan, lantaran warga yang masih berprinsip akan mengerjakan sesuatu hanya jika memiliki nilai ekonomi.
“Saya dan kepala desa bilang, jaga mangrove ini seperti milik pribadi. Nanti kalau punah, akan terdampak banjir. Mau enggak kayak begitu?” kata Zedrakh, mengingat upayanya membangun kesadaran warga Kampung Kuya.
Meskipun belum semua warga ikut membudidayakan, mereka yang belum berpartisipasi tetap terlibat dalam menjaga hutan mangrove. Warga Kampung Kuya sepakat untuk tidak memangkas, dan melakukan pemantauan sebanyak dua sampai tiga kali per tahunnya.
“Pemantauan itu buat menjaga, jangan sampai ada yang memotong,” terang Zedrakh. “Kami juga nggak mengizinkan siapa pun mengambil kayu kering. Takutnya nanti juga kayu yang masih hidup ikut dipangkas.”
Apabila kayu mangrove dibutuhkan warga—misalnya untuk membuat pondok—mereka hanya mengambil satu sampai dua batang dari satu rumpun pohon. Lebih dari itu, untuk menjaga mangrove, warga Kampung Kuya juga memberlakukan sanksi adat bagi yang melanggar.
“Contohnya harus membayar sejumlah uang, atau dengan hewan ternak seperti babi,” jelas Zedrakh. Berkat konservasi yang dilakukan, kini warga Kampung Kuya memiliki hutan mangrove seluas empat hektar.
Baca Juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Hutan Sebagai Ketahanan Pangan
Selain ketahanan bencana, bagi sebagian orang, hutan juga memiliki fungsi sebagai ketahanan pangan. Mereka memanfaatkan hasil hutan untuk makanan yang dikonsumsi sehari-hari, sekaligus obat-obatan.
Hal itu dilakukan oleh Apu Hana, petani perempuan yang menetap di hutan adat Kawata. Ia memanfaatkan jagung dan umbi-umbian di kebun ataupun hutan untuk kebutuhan pangan.
“Ada dua macam ubi yang diambil, saat musim kemarau dan hujan. Kalau musim hujan itu tingkat racunnya lebih tinggi karena basah,” kata Apu Hana saat ditemui di kediamannya.
Di masa paceklik, ubi dipanen sesuai kebutuhan dan tidak bisa disimpan dalam waktu lama karena bisa merusak kualitasnya. Untuk pengolahannya, Apu Hana akan mengupas, mengiris tipis, dan merendamnya di air. Kemudian, dibentuk seperti bola dan kembali dijemur untuk siap digoreng, atau ditumbuk menjadi tepung.
“Kalau ubi yang dipanen pas musim hujan, proses masaknya lama. Mengirisnya juga harus lebih tipis dan dicuci dengan garam, buat menetralisir racun,” tambahnya.
Selain ubi, Apu Hana juga mengonsumsi batang pohon kari sebagai sayur. Sementara untuk obat-obatan, ibu empat anak itu memanfaatkan sejumlah tanaman untuk mengatasi sakit. Mulai dari luka hingga penyakit dalam.
“Ada namanya tanaman kapalia, itu untuk menolong persalinan dan penyakit dalam. Terus katamba, yang dimanfaatkan daun dan akarnya untuk mengobati asma dan sesak napas,” ujarnya, memberikan beberapa contoh.
Daun dari tanaman-tanaman itu direbus dan airnya diminum, atau dipakai untuk mandi. Pun baginya, mencari tanaman di sekitarnya akan lebih cepat untuk mengobati penyakit, dibandingkan pergi ke apotek maupun rumah sakit.
Dari ceritanya, terlihat bagaimana Apu Hana mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, ia tidak bergantung pada nilai ekonomi yang sebenarnya bisa dihasilkan, dengan menjual hasil panen. Menurut Apu Hana, hidupnya selama ini telah berkecukupan, yang didefinisikannya sebagai tidak kekurangan makanan.
Sebenarnya, peran Apu Hana di hutan adat Kawata bukan sekadar “menumpang” tempat tinggal. Di tengah aktivitasnya berkebun, menggembala kerbau, dan menjaga cucu di rumah, ia memiliki peran yang signifikan dalam menjaga hutan.
“Nggak boleh ada yang masuk ke hutan ini, selain mengambil kayu untuk bikin rumah adat,” katanya. Pasalnya, ada sejumlah orang yang berusaha masuk untuk menyensor kayu secara ilegal. Mereka menganggap hutan tersebut sebagai lahan kosong yang bisa dijadikan perkebunan.
“Kalau hal yang seperti itu terjadi, saya langsung lapor ke pemerintah desa. Nanti mereka yang langsung datang untuk melarang orang-orang yang mau masuk ke hutan,” jelas Apu Hana.
Akibat kehadiran para pendatang, Apu Hana tidak lagi berkebun di pinggir hutan. Ia khawatir, orang-orang itu akan ikut berkegiatan yang sama di sana. Kini Apu Hana melakukan aktivitasnya di tempat yang agak jauh ke dalam hutan. Sebab, lahan itu merupakan peninggalan turun-temurun dari keluarganya, sehingga tidak dapat dikuasai orang lain. Ibaratnya, Apu Hana telah digariskan sebagai penjaga kebun dan hutan adat Kawata.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan ia tidak pindah ke daerah yang dapat lebih diakses. “Saya juga takut susah beradaptasi kalau pindah ke tempat baru. Kalau di sini kan udah tahu cara mengatasi kesulitan. Kalau enggak ada makanan dari kebun, bisa pergi ke hutan,” terang Apu Hana.
Selama kurang lebih 50 tahun tinggal di hutan adat Kawata, Apu Hana mengaku tidak pernah mengalami kesulitan. Pun, tantangannya hanya ketika ada pendatang yang ingin masuk ke hutan dan ikut berkebun. Ini menunjukkan betapa berharganya hutan dan lingkungan bagi Apu Hana. Ia juga mengatakan, tidak akan membiarkan orang-orang menyensor kayu ataupun membakar hutan.
Baca Juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup
“Seandainya hutan ini rusak, saya akan sangat sakit hati karena tidak akan ada yang menyusui hujan,” tegasnya. “Kalau hutan itu tidak ada, maka hujan juga tidak akan ada.”
Artikel ini merupakan rangkaian liputan Magdalene bersama Hutan Itu Indonesia, sebuah organisasi lingkungan nonprofit yang melestarikan hutan.
Comments