Seorang perempuan muda dengan selendang dan pakaian adat dari kain tenun tais Belu menari bersama teman-temannya dengan bahagia. Mahkota bulan sabit yang ia kenakan juga menambah kesan elegan untuk perempuan bernama Bete Kaebauk (Daniella Tumiwa) itu. Karisma dan keceriaan yang dia pancarkan lalu menarik perhatian si pemuda pemberontak, Elfredo (Yoga Pratama). Saat itu keduanya berkenalan dan menjalin kasih.
Namun, hubungan mereka harus terhambat karena status sosial. Bete merupakan keturunan bangsawan di Atambua, Kabupaten Belu. Sementara, Elfredo dari keluarga biasa saja tidak mampu membayar mahar atau belis untuk menikahi kekasihnya itu. Bete dan Elfredo pun memutuskan untuk kawin lari. Alih-alih menciptakan relasi penuh cinta dan kebahagiaan, Bete menjadi korban kekerasan rumah tangga. Elfredo menunjukkan tabiat aslinya sebagai sosok yang kejam sampai tega memukul Bete yang tengah hamil.
Kekerasan berbasis gender yang ditunjukkan film Cinta Bete itu, seperti KDRT, perkosaan dalam relasi, hingga manipulasi emosional janji nikah merupakan kenyataan yang dialami perempuan. Produser dan penulis film Leni Lolang memang mengatakan, walaupun Bete adalah karakter fiksi, peristiwa itu dialami beberapa perempuan di Atambua. Namun, tidak terjadi di satu daerah saja, isu ini sebenarnya bisa ditemukan di pelbagai pelosok Indonesia, dari kota hingga desa.
Selain itu, cara sutradaranya, Roy Lolang menggambarkan isu tersebut secara tipis-tipis sebagai realitas yang terjadi di sekitar, membuat film tidak menggurui tentang isu gender. Dari segi itu, film yang menerima nominasi FFI untuk ‘Film Cerita Panjang Terbaik’ patut diapresiasi karena tidak menggunakannya sebagai ‘tempelan’ atau alat untuk meningkatkan tensi dan konflik dalam cerita. Pasalnya, perkara ketidakadilan yang dialami perempuan juga diceritakan secara halus sejak Bete masih remaja.
Baca juga: Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’
Hal itu bisa dilihat dari hubungan ibunya, Mama Clara (Djenar Maesa Ayu) dan ayahnya Fritz sang Raja Lasiolat (Otig Pakis) yang dingin. Layaknya relasi suami istri kental dengan nilai patriarkal Mama Clara yang bijak tidak bisa melawan ketika dia keguguran dan diminta segera kembali bekerja oleh suaminya. Pernikahan yang tampak tidak memiliki cinta itu menjadi sangat kontras dengan cara Bete remaja (Daniella Tumiwa) memandang cinta secara naif.
Cinta Tak Stereotipikal
Sebelum menjalin hubungan dengan Elfredo, Bete menyukai sahabatnya Emilio yang diperankan Marthino Lio (versi remaja oleh Adam Farrel). Namun, cinta mereka terhambat karena Emilio bercita-cita jadi pastor dan tidak bisa menjalin hubungan asmara. Hubungan itu terputus ketika Emilio memutuskan untuk sekolah seminari, pendidikan untuk calon pastor. Setelah patah hati ditinggal cinta monyetnya itu, Bete masih melihat perihal asmara dengan kacamata yang polos dan naif.
Memang tidak salah saat ia memutuskan kawin lari atas cinta dan menolak dijodohkan bak Siti Nurbaya karena tidak ingin membangun rumah tangga dingin seperti orang tuanya. Namun, perkara menikah kadang lebih kompleks dari hidup bahagia selamanya ala cerita dongeng. Jika melihat film dari aspek romansa tok, secara stereotipikal cerita akan sangat cocok dengan judul Cinta Bete. Tetapi, jika ditilik lagi isu cinta dalam Cinta Bete cukup luas karena menceritakan cinta platonik, antaragama hingga orang tua dan anak.
Misalnya, persahabatan Bete, Emilio, dan Yunus si anak pemuka agama Islam (Jordhany Agonzaga) yang tak lekang oleh waktu dan menjadi gambaran ideal persatuan agama yang diidamkan. Sementara, hubungan orang tua anak kental dengan Mama Clara dan Bete yang saling mengasihi satu sama lain secara halus. Mama Clara selalu menempatkan menempatkan anak satu-satunya itu sebagai prioritas, tak jarang juga memberi nasihat tentang cinta dan pernyataan menyakitkan tentang menjadi ibu dan istri dalam relasi yang kurang bahagia.
“Sakit dan luka, itu yang kau rasakan jadi ibu dan istri,” ujar Mama Clara ketika Bete bertanya tentang tugas perempuan. Saat itu, dengan polosnya Bete menduga ‘sakit’ yang dirasakan ibunya akibat terus-terusan membuat teh untuk ayah.
Relasi ibu anak itu cukup berbanding terbalik dengan Bete dan ayahnya yang agak tegang. Regangnya relasi itu juga semakin diperkuat dengan ayahnya yang sangat taat dengan adat dan Bete yang tidak ingin dikekang. Perkara bergaul dengan lawan jenis, misalnya, Bete tidak melihatnya sebagai sesuatu yang tabu, tapi sangat memalukan bagi ayahnya.
Namun, Bete yang sangat altruistis dan penuh cinta kasih mampu membuat relasi itu menjadi lebih baik. Tidak hanya antara dia dan ayahnya, tapi juga ayah dan ibunya. Jika memang ingin memetik satu pesan dari film itu, cinta, memaafkan, dan kasih sayang pada sesama adalah pelajarannya.
Baca juga: ‘Balada Sepasang Kekasih Gila’, Potret Derita ODGJ di Tengah Stigma
Film Tentang Daerah Timur Indonesia
Dari segi sinematografi, Atambua dengan alam dan budayanya yang indah menambah kecantikan karya sinema tersebut. Namun, untuk film yang menarasikan pengalaman perempuan, masih menggunakan women in refrigerator, karakter perempuan dibunuh agar plot semakin tajam dan kompleks. Kakak perempuan Emilio tampak seperti ‘alat’ agar ceritanya bisa terus berkembang dan memilih sekolah seminari.
Selain itu, isu kesehatan mental, seperti depresi dan pemasungan yang diangkat juga menunjukkan realitas. Namun, pembahasan isu tersebut kurang komprehensif karena proses pemulihan trauma tidak diceritakan secara mulus, bertahap, dan secara mendadak langsung ‘pulih’. Sedangkan proses tersebut menjadi aspek yang penting untuk ditampilkan karena seringkali luput dari perhatian. Pasalnya, jalannya pemulihan tidak selalu linear.
Baca juga: 6 Film Adaptasi Novel Indonesia yang Angkat Isu-isu Sosial
Ketika melihat Cinta Bete yang membahas banyak isu krusial, perlu juga disorot latarnya di bagian Timur Indonesia. Aktor dan kru film yang menghargai adat setempat, dan berupaya mempelajari dialek atau logat daerah memang patut diapresiasi. Akan tetapi, beberapa karakter masih belum bisa bicara menggunakan logat tersebut secara natural. Sama halnya ketika Cut Mini memerankan ibunya Jusuf Kalla, Athirah dalam film Athirah (2016) atau Herjunot Ali yang berperan sebagai Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013).
Berkaca dari situasi itu, memang sudah saatnya menggunakan talent lokal atau daerah yang bisa memerankan karakter dari Timur atau Tengah Indonesia secara apik. Jangan sampai industri film terus terjebak dalam talent yang Jakarta sentris dengan kecantikan eurosentris. Marsha Timothy sebagai Marlina, misalnya, yang belum merepresentasikan perempuan Sumba.
Cinta Bete memiliki potensi mengangkat bakat lokal yang jarang disorot karena industri film condong berpusat di ibukota. Namun sekali lagi masih berada dalam kotak tokenisme, menggunakan satu atau dua talent lokal sebagai representasi daerah yang sebenarnya tidak cukup.
Artikel ini direvisi pada 14 November setelah mendapat kritik dari pembaca. Bahwa seminari adalah sekolah untuk calon pastor bukan pendeta, seperti yang kami tulis sebelumnya. Redaksi meminta mengakui kekeliruan itu, meminta maaf, dan telah mengoreksinya.
Comments