Cinta Laura Kiehl tengah berada di puncak popularitas dunia hiburan tanah air ketika ia tiba-tiba memutuskan hijrah ke Amerika Serikat pada 2011 lalu. Ia berkuliah di kampus Ivy League, Columbia University, di Kota New York, mengambil jurusan dobel Psikologi dan Sastra Jerman.
Tak hanya itu, aktris/penyanyi berusia 26 tahun itu juga merintis karier di Hollywood. Terhitung ia sudah berakting di enam film: The Philosophers (2013), The Ninth Passenger (2017), TAR (2017), Crazy for The Boys (2017), Nanny Surveillance (2018), dan Goodnight (2018). Film terakhir meraih penghargaan sebagai film horor terbaik dalam festival film pendek di AS, Official Latino Film and Arts Festival 2019, sekaligus aktris terbaik dalam film horor untuk Cinta.
Meski sudah merintis karier di Amerika Serikat, Cinta memutuskan untuk kembali dan menetap lagi di tanah air. Ia tak hanya aktif di dunia hiburan sekaligus fashion, tapi juga gencar dan berani menyampaikan opini-opininya tentang isu-isu sosial, mulai dari hak perempuan sampai hak kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Magdalene baru-baru ini mewawancarai Cinta lewat panggilan video. Obrolannya asyik, tidak disensor atau disaring, apalagi jaim, dengan semua pertanyaan dijawab dengan artikulatif. Berikut cuplikan dari obrolan tersebut.
Magdalene: Setelah delapan tahun di Amerika Serikat, apa alasan Cinta kembali ke Indonesia?
Cinta Laura: Delapan tahun di Amerika itu aku tiga tahun pertama untuk kuliah dan setelah itu lima tahun untuk karier di Hollywood. Tapi biarpun aku di sana delapan tahun, aku tetap sering ke Indonesia. Aku pulang biasanya setiap musim panas dan dingin untuk syuting iklan, film, atau project-project yang lain. Tapi pertama aku benar-benar mikir aku ingin pindah kembali ke Indonesia itu tahun 2018.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Dari Dunia Akting ke Aktivisme Sosial
Ada sesuatu yang terus bergumul dalam pikiran aku. Saat itu aku mulai sadar bahwa orang-orang seperti aku yang sangat passionate tentang isu-isu sosial seperti women’s rights dan lain-lain, terus keluar dari negara sendiri dan tidak ikut berjuang. [Padahal] the more we work together the stronger we become. Aku tau banyak sekali aktivis yang ada di Indonesia tapi enggak ada salahnya nambah satu lagi. Dan kalau orang-orang yang punya mindset seperti kita terus pergi dari Indonesia dan enggak berjuang untuk hak-hak perempuan di negara ini, then who else is gonna do it? So that’s what made me realize my country needed me.
Akhirnya Juli 2019, setahun setelah aku punya kesadaran itu, aku pindah ke Indonesia. Karena aku masih muda, aku enggak tahu jalan hidup aku seperti apa ke depannya.
Dalam suatu wawancara, Cinta pernah bilang bahwa Indonesia yang sekarang itu sangat berbeda dari Indonesia yang dulu. Apa perubahan signifikan yang Cinta rasakan setelah delapan tahun di luar negeri?
Mungkin ada dua hal yang bisa dilihat dari jawaban ini, yaitu sisi negatif dan sisi positif. Kalau dari sisi negatifnya, perubahan yang aku rasakan itu dan membuat aku sangat sedih adalah orang-orang Indonesia mulai melupakan budaya mereka sendiri. Aku inget dulu datang ke Indonesia masih berumur 12 tahun. Aku melihat waktu itu orang-orang masih sering pakai baju tradisionalnya. Inget kebudayaannya dan mengapresiasi tradisi-tradisi Indonesia. Tapi semakin ke sini aku melihat semakin banyak orang-orang yang enggak saling toleransi dengan budaya berbeda-beda, agama berbeda-beda.
I feel like Indonesians are forgetting their true identity. Aku sedih melihat banyak orang enggak saling menghargai budaya satu sama lain, kepercayaan satu sama lain dan juga kurang toleran. That makes me sad.
Dari segi positifnya, aku melihat bahwa dunia entertainment Indonesia semakin berkembang. Kalau kita melihat film-film Indonesia misalnya, storyline-nya semakin challenging, semakin kompleks, kualitasnya semakin bagus. Karya-karya film Indonesia juga semakin dikenal di festival-festival film di luar negeri. Dan secara musik juga kita denger musisi-musisi di Indonesia enggak hanya nyanyi lagu-lagu pop yang sering kita denger dulu, tapi banyak yang mulai nyanyi genre-genre yang lain. Aku senang akhirnya selama delapan tahun ini memang perubahannya kelihatan banget dan semakin terekspos bakat-bakat yang ada di Indonesia.
Sekolah selain untuk membangun diri aku sebagai individu, tapi juga telah membuat aku lebih dewasa dan mandiri.
Cinta sudah kuliah di universitas ternama dunia dan mengambil double degree. Apa hal yang membuat Cinta tetap memilih dunia entertainment?
My passion is in the entertainment world. Jadi untungnya saat aku umur 12-13 tahun, Tuhan membuka mata aku dan membuat aku menemukan passion aku di dunia film dan juga dunia musik. Kenapa dulu aku kuliah? Sebenarnya lebih untuk ngasah otak aku, untuk membantu perkembangan diri aku dengan kuliah. Selama belajar di sana sangat membantu aku menjadi lebih dewasa dan lebih mandiri.
Aku rasa enggak ada salahnya kita berusaha untuk belajar lebih banyak, cause knowledge is the most precious thing we can ever attain in life. Lebih baik untuk mengembangkan diri aku sendiri. Aku pilih jurusan Psikologi waktu itu alasannya karena menurut aku Psikologi itu sangat berguna untuk dunia akting. Kita harus main berbagai karakter dan benar-benar mengerti karakter itu luar dalam. Nah, jurusan kedua itu Sastra Jerman, mungkin lebih karena Papa aku orang Jerman. So I wanted to maintain my German, sekalian baca buku-buku klasik dari penulis Jerman yang sangat berpengaruh.
Aku sadar dengan gelar yang aku punya I could've worked in a corporate setting tapi memang passion aku di dunia entertainment. Jadi sekolah selain untuk membangun diri aku sebagai individu, tapi juga untuk menjadi, ya mudah-mudahan inspirasi untuk penggemar aku dan orang-orang di luar sana bahwa even though you are celebrity you can still have a successful education. Walaupun kita punya karier kita tetap bisa sukses di dunia akademik dan bisa mendorong orang secara positif.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Soal Tantangan Sebagai Perempuan dan Dukungan terhadap LGBT
Sebagai perempuan dan orang Indonesia, apa tantangan terbesar ketika mulai masuk ke Industri Holywood?
Setiap orang pasti punya jawaban sendiri untuk pertanyaan ini ya karena background setiap orang itu beda-beda. Aku cuma bisa jawab pertanyaan itu dari lensa aku sendiri. Kalau buat aku personally, aku enggak merasa bahwa menjadi perempuan itu halangan untuk bisa masuk ke Hollywood. Begitu pun menjadi orang Indonesia. Dari pengalaman aku, men and women are welcomed di dunia entertainment karena kan ketika bikin film atau TV show perlu perempuan dan laki-laki. Untuk menjadi orang Indonesia itu malah jadi nilai lebih karena masyarakat Amerika sangat ingin yang namanya diversity, jadi perlu lebih banyak melihat orang dari background berbeda-beda.
My obstacle wasn’t the fact that I’m a woman or that I’m from Indonesia tapi lebih ke.. sama seperti di Indonesia, kan dunia entertainment sangat bureaucratic ya. Kadang-kadang sebagai aktris atau aktor ketika kenal casting director, produser atau sutradara, kalau mereka suka dengan kita secara personal, mereka mungkin akan pilih kita dibanding orang-orang yang audisi. Itu sangat normal di industri ini.
Aku sangat bersyukur karena selama aku di Amerika aku dikasih kesempatan main beberapa film di sana sebagai pemeran utama atau paling enggak main supporting actress. Dan itu membuat aku menjadi lebih humble karena aku belajar untuk menjadi sukses di Hollywood itu enggak segampang pengalaman aku saat berusaha masuk ke industri film di Indonesia.
Jujur aku lebih mengapresiasi apa yang aku punya di sini. The world wasn’t as seamless you know, there were a lot of bumps on the road, it made me stronger. Yang aku lihat di Indonesia itu selebritis di sini sudah seperti Tuhan. Mereka memperlakukan orang-orang di sekitar mereka kurang baik and that makes me sad. Aku rasa aku enggak pernah seperti itu, tapi dengan pengalaman aku di Hollywood aku lebih mengapresiasi apa yang aku punya, dan menghargai orang-orang sekitar. Itu membuat aku lebih dewasa.
Baca lanjutan wawancaranya, soal ketertarikan Cinta Laura dalam isu sosial dan kekerasan terhadap perempuan.
Comments