Ini bukan pengamatan kejadian unik, namun justru sangat umum kita temui hingga telah diterima sebagai budaya; suami bebas menghamburkan komentarnya di akun media sosial teman perempuannya, sementara itu istrinya tidak pernah melakukan hal serupa.
Setingkat lebih kita memasuki dunia nyata, seorang suami bebas pergi, berekspresi, dan berkumpul dengan seorang atau sekelompok teman perempuannya. Sementara itu, seorang istri harus berpikir ratusan kali sebelum melakukan hal demikian dengan teman lawan jenis.
Jalan tengahnya bagaimana? Suami harus diikutsertakan dalam banyak kegiatan istri sebagai pembuktian atau simbol bahwa memang tidak ada hal negatif yang tengah berlangsung. Tapi jika istrinya melakukan hal yang setara yaitu pergi bertemu lawan jenis tanpa suami, maka tuduhan akan dilancarkan, mulai dari julukan murahan hingga perselingkuhan, baik tuduhan itu datang dari suaminya sendiri, keluarga atau masyarakat.
Biasa? Umum? Sangat biasa dan sangat umum. Namun dari sanalah kita bisa menilik, betapa ketidakadilan telah sampai pada titik membudaya tanpa merasa patut dipertanyakan.
Ada banyak alasan untuk laki-laki berperilaku demikian: menjaga relasi, memperluas koneksi, atau hanya sekedar malu jika dicap sebagai suami takut istri. Celakanya, ada banyak alasan yang bisa dipatahkan demi menghalangi perempuan melakukan hal yang sama. Porosnya satu: perempuan dicintai dengan cara diamankan layaknya menjaga sebuah barang dengan segala simbol kepantasan.
Membicarakan pernikahan dalam masyarakat kita, kita seperti melihat satu koin dengan dua sisi berbeda. Dua orang terikat dalam perjanjian pernikahan, tetapi diwajibkan mencintai dengan dua cara berbeda. Laki-laki yang secara tertulis dianggap sebagai kepala keluarga pada umumnya hanya mengimani satu hal, bahwa mereka ingin dicintai dengan cara dibebaskan, sementara mereka akan mencintai dengan cara mengamankan.
Baca juga: Istri Lempar Kode di Status Media Sosial: Ciri Hubungan Tak Setara
Kebebasan suami meliputi banyak hal; pengambilan keputusan sepihak, hak leluasa menggunakan waktu, hak bertemu dan bersikap terhadap lawan jenis. Istri jangan coba-coba menuntut kesetaraan, sebab keduanya sering kali hanyalah jalan buntu.
Pertama, jika meminta agar suami menyesuaikan segala perilakunya berdasarkan pertimbangan istri, maka suami dengan segala kuasanya akan menyerang, mulai dari mengingatkan istri akan ranah otoritasnya, menggunakan beban tanggung jawabnya sebagai suami sebagai tameng, atau yang tak kalah sering menertawakan kecemburuan istri sebagai hal tidak masuk akal dan hanya merupakan gejala ketidakpercayaan diri.
Kedua, jika istri melakukan hal serupa agar menjadi setara, maka bersiaplah menerima kritik, larangan, dan kecemburuan yang besar yang tidak bisa dibantah, sebab laki-laki dan masyarakat telah meletakkan dan menyetujui itu sebagai bentuk rasa cinta suami terhadap istri.
Tekanan-tekanan demikian yang telah pula diamini masyarakat dalam waktu yang sangat demikian panjang, memaksa para istri untuk mencari jalan-jalan kecil demi mengukuhkan eksistensi. Ada yang memilih menyerah dan mereformasi diri menjadi eksklusif, yaitu dengan total menutup diri dari hiruk pikuk demi 100 persen mengabdikan diri pada suaminya dengan harapan dan tuntutan timbal balik pengabdian yang sama.
Ada yang diam-diam melakukan hal setara namun menutupinya dari suami dan masyarakat dengan cara tidak membicarakan atau mengunggah kegiatannya bersama teman laki-lakinya. Ada juga yang berkeras melakukannya dan berani menunjukkannya pada dunia luar. Yang terakhir ini bukanlah pilihan aman, namun adalah yang paling menjanjikan kebebasan berekspresi murni dibandingkan dengan menjadi eksklusif atau berada di ruang abu-abu demi menghindari konflik keluarga dan sosial.
Baca juga: Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama
Menariknya, mendobrak pakem berarti membuka ruang diskusi. Telah banyak muncul perempuan-perempuan yang berani melawan tekanan budaya patriarkal di negara kita, dan mereka berarti telah pula berani mengambil risiko dimusuhi, dianggap mempermalukan keluarga, hingga perceraian. Pada mereka kita patut meneladani keberanian memperjuangkan hak perempuan untuk menjadi setara, tidak hanya dalam hal pendidikan dan pekerjaan, namun telah merambah level yang lebih dalam dari itu, yaitu kesetaraan dalam merasa dan mengekspresikan cinta kasih.
Terlepas dari masih digunakannya kata suami dan istri dalam pernikahan, alangkah adilnya jika penyebutan itu tidak menjadi simbol ranah kuasa. Pernikahan mestinya menjadi koin bersisi kembar, dengan dua orang yang telah berjanji untuk bersama menyepakati bahwa keadilan bagi kedua belah pihaklah yang harus menjadi dasarnya. Adil dalam berpikir, adil dalam sikap, dan adil dalam ekspresi.
Apa susahnya saling menjaga diri dengan aturan yang adil, atau apa susahnya saling membebaskan dengan tujuan keadilan yang sama pula. Diskusi bersama pasangan diharapkan bisa membuka gerbang baru dan menutup gerbang lama warisan budaya. Bahwa berjalan bergandengan dengan garis langkah sama selalu lebih baik daripada seorang di depan mengambil alih seluruh indra perasa dan ekspresi seorang yang berjalan di belakangnya.
Pada akhirnya, jika saling membikin peraturan setara dinilai terlalu sempit dan merepotkan dalam pernikahan, menggunakan sistem open relationship tetap akan jauh lebih mudah ditimbang sama rata daripada harus menyetujui perkara ranah dan kuasa yang minta ampun tidak adilnya.
Comments