Plato pernah mengatakan, “Dalam politik, kita beranggapan semua yang tahu bagaimana mendapatkan suara bisa memerintah suatu kota atau negara. Namun jika kita sakit… kita tidak akan berobat ke dokter yang paling gagah, atau yang pintar berbicara.”
Perlukah kita mendebat Plato? Tentu saja dia benar. Tapi, di masa Yunani kuno saat dia hidup tidak ada televisi, apalagi media sosial.
Saat ini kita tinggal di dunia di mana semua termediasi; yang menjadi wakil telah menjadi lebih penting daripada yang diwakilkan. Di lingkungan yang sangat termediasi ini, pemilu telah menjadi seperti kompetisi olahraga. Bukannya menyikapi isu yang lebih penting bagi pemilih, laporan media berkisar seputar kehebohan kampanye: naik turunnya survei, dukungan yang didapatkan dan yang hilang, pasang surutnya momentum, dan, lebih parah lagi, gosip seputar bagian-bagian dari pemilu itu sendiri.
Media bukan satu-satunya yang bisa disalahkan. Politik sendiri sudah problematik. Seperti yang ditunjukkan Plato, kekuatan politik sepertinya menarik orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki kualitas penting untuk kepemimpinan, yaitu kecerdasan, integritas dan perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan yang dipimpin. Memang pemilu seperti lahan yang subur untuk menyaring pemimpin-pemimpin yang memenuhi kriteria ini. Namun sisi pragmatis dari skeptisisme Plato (yang juga saya rasakan) menunjukkan bahwa mereka yang ingin menjadi pemimpin tidak sama buruknya, sehingga yang lebih penting adalah bagaimana memilih yang lebih baik dari calon yang ada.
Plato menyarankan kita memilih pemimpin berdasarkan kebaikan dan kearifan, lebih daripada kelihaian dan karisma. Mereka yang memiliki keunggulan intelektual (dan saya berasumsi pembaca Magdalene masuk ke dalam kategori ini) harus mendorong publik untuk memilih berdasarkan integritas, kebaikan, kearifan dan sifat tidak mementingkan diri sendiri, daripada detil yang tidak relevan seperti kemampuan orasi (seperti Clinton, Obama dan Hitler!), kekayaan (minyak keluarga Bush), latar belakang keluarga (darah biru), penampilan yang menarik (bayangkan foto keluarga Kennedy).
Mungkin kita juga bisa belajar lebih jauh dari Aristoteles yang sangat mendorong adanya reformasi yang dapat dilakukan dan menempatkan kekuatan di tangan kelas menengah. Dalam pencarian keadilan (yaitu menuju ke arah pengurangan ketidakadilan dan ketimpangan), Aristoteles berargumen bahwa, tidak seperti para elit (di Yunani kuno ini berarti keluarga pedagang aristokrat), kelas menengah seharusnya memilik imajinasi moral dan sensitivitas moral/sosial untuk memahami perjuangan masyarakat miskin atau kelas bawah, sehingga bisa beraspirasi untuk bertindak demi keadilan bagi semua.
Namun, tidak seperti kelas bawah yang tidak seberuntung mereka, kelas menengah memiliki kemampuan yang lebih baik dan memiliki cara dan kapasitas untuk bertindak. Di sini kita jangan terjebak oleh interpretasi kelas menengah secara harfiah. Tentu kelas menengah Indonesia saat ini lebih beragam daripada Athena kuno. Tetapi kelas menengah yang dimaksud oleh Aristoteles adalah orang-orang yang tidak berasal dari unsur-unsur lama (rezim anti-demokrasi sebelumnya) dan tidak menjadi bagian dari oligarki elit.
Aristoteles juga percaya bahwa kepemimpinan adalah keunggulan karakter, atau “kebajikan moral”. Dalam hal ini kebajikan moral datang dari kebiasaan dan tindakan yang diulang-ulang. Seperti orang-orang yang menjadi bagian dari elit yang saya singgung di atas, mereka yang tidak memiliki kebiasaan untuk untuk hidup, berjalan, bekerja, mendengar, bermain dengan rakyat (“kita”) tidak memiliki imajinasi moral dan pengalaman hidup yang dibutuhkan untuk menelurkan sensitivitas moral dan empati yang dapat mendorong mereka bertindak mewujudkan keadilan bagi semua.
Pesan Aristoteles seharusnya mengingatkan kita bahwa memilih pemimpin tidak hanya yang memiliki kebajikan moral, yang mewakili kita, bagian dari kita dan salah satu dari kita. Memilih pemimpin – bagi kita yang lebih beruntung – juga untuk membangkitkan imajinasi moral kita, untuk menajamkan sensitivitas moral kita, dan untuk memenuhi jiwa kita dengan empati, serta menerjemahkannya ke dalam tindakan.
Tidak ada pemimpin yang sempurna di dunia ini. Namun ada pemimpin yang lebih baik. Bagi kita, yang lebih beruntung secara intelektual dan mungkin ekonomi, tidak ada pilihan lain selain mendengarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang tidak seberuntung kita. Jika kita tidak sensitif terhadap kebutuhan dan keinginan mereka, pilihan kita hampir pasti akan salah.
Tentang Merlyna Lym
Merlyna Lim adalah seorang akademisi yang memiliki hobi yang tidak akademis. Dia bukan seorang filsuf, namun dia menikmati berpikir secara filosofis sambil melakukan kegiatan sehari-hari, seperti minum kopi, mencuci piring atau menggoreng tempe.
Diterjemahkan oleh Devi Asmarani dari artikel "Vote for Virtue and Wisdom, According to Dead Philosophers"
Comments