Women Lead Pendidikan Seks
January 13, 2022

Curhat Anak ‘Jakarta Coret’: Minim Teman, Umur Habis di Jalan

Selain harus berjibaku melawan kemacetan, bermukim di wilayah ‘suburban’ membuat saya merasa tinggal di zaman berbeda dengan warga Jakarta.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Curhat Anak ‘Jakarta Coret’: Minim Teman, Umur Habis di Jalan
Share:

Hari sudah gelap ketika saya mulai berkemas di kantor Rasuna, bilangan Jakarta Selatan. Ditemani “Hati dan Paru-Paru”, saya menghitung, mungkin butuh mengulang lagu ini 24-25 kali untuk bisa sampai di Cibubur, rumah saya. Mendengar lagu karya Lomba Sihir ini saban pulang membuat saya sadar, saya ada di dalamnya. Realitas sebagai pekerja ibu kota dan semua lelah saya terwakili dengan baik lewat liriknya.

Saya setuju dengan pernyataan “bekerja itu melelahkan”. Namun, memiliki energi untuk mobilisasi setiap hari adalah sebuah berkah. Terlebih jika tinggal di wilayah suburban, membuat warganya harus pintar memperkirakan jam berangkat agar tidak terjebak macet. Karena jika terlambat 5 menit, mobil-mobil yang berbaris rapi di gerbang tol senantiasa memberikan sambutan hangat.

Tak dimungkiri, kemacetan semakin menyita energi dan waktu yang bisa dialihkan untuk aktivitas lain. Bahkan sebuah artikel dari WebMD mendukung kelelahan saya sebagai warga pinggiran Jakarta. Katanya, tinggal di wilayah suburban memiliki risiko kesehatan lebih tinggi, seperti mengalami sakit kepala, darah tinggi, radang sendi, dan kesulitan bernapas, dibandingkan penduduk kota.

Baca Juga: Jakarta, Masih Tak Ada Anganku di Sana

Sebagai perempuan di usia awal 20-an yang masih memiliki banyak energi, rasanya lebih cocok menyebut diri sebagai “generasi jompo”. Maklum, sedikit-sedikit ingin menempelkan koyo di sekujur tubuh.

Faktanya, sewaktu SMA dan kuliah, saya kuat banget lho bolak-balik Cibubur-Matraman dan Cibubur-Gading Serpong setiap hari, bahkan berangkat pulang enggak pernah bertemu matahari. Plus masih sanggup hangout dengan teman-teman di akhir pekan.

Sekarang setibanya di rumah, saya langsung meletakkan ransel di atas kursi, lalu mengucap “puji Tuhan” dan menghela napas, berlagak seperti seseorang yang punya beban hidup paling banyak di dunia.

Tampaknya tepat, apabila mobilitas setiap hari digambarkan dengan istilah “tua di jalan”. Selain menghabiskan waktu, semakin lama duduk di dalam mobil akan mengurangi waktu berjalan kaki, sehingga meningkatkan tingkat obesitas seperti dijelaskan Roland Sturm, peneliti dan ekonom kesehatan dari RAND Corporation, dikutip dari WebMD.

Namun, perkara mobilitas hanya satu dari beberapa keresahan yang saya hadapi sebagai warga suburban. Agar warga tengah kota bisa sedikit menyelami kehidupan kami, berikut tiga tantangan yang dialami penduduk pinggiran Jakarta seperti saya.

Baca Juga: Perempuan Kemana-mana Sendirian, Siapa Takut?

Sulit Keluar Rumah di Akhir Pekan

Sebenarnya ini bukan permasalahan besar untuk warga suburban, dengan catatan punya kendaraan dan bisa mengemudikannya. Pasalnya, ini menjadi problematik bagi saya yang terbiasa bepergian naik transportasi umum, dan menganggurkan mobil milik bapak di garasi rumah lantaran enggak bisa nyetir.

Memang ada opsi taksi online yang beberapa kali terpaksa saya tumpangi untuk keluar di akhir pekan, tapi enggak sanggup kalau bergantung dengan fasilitas ini. Alasannnya? Tarif kurang bersahabat di kantong. Mosok sekali jalan ke Universitas Kristen Indonesia (UKI) bayar Rp70 ribu, belum ongkos pulangnya.

Mungkin esai ini sekaligus jadi surat terbuka untuk PT Transportasi Jakarta, supaya kembali mengoperasikan Transjakarta koridor 7C tujuan Cibubur-BKN di akhir pekan. Bahkan di hari kerja pengoperasiannya mengikuti rush hour, apa enggak kasihan warga yang memerlukan transportasi di siang bolong?

Pernah suatu Sabtu siang saya punya agenda bertemu teman-teman di Senayan. Dengan percaya diri, saya menuju Halte Cibubur Junction untuk naik Transjakarta koridor 7C. Ndilalah busnya enggak ada, terpaksa deh memesan taksi online, lalu menawarkan ibu dan anak untuk nunut bareng karena tujuannya sama.

Baca Juga: Apa yang Salah dari Perempuan Independen? 

Sebetulnya ada angkutan umum minibus langganan saya waktu SMA, dengan tujuan UKI dan Kampung Melayu. AKan tetapi, saya masih enggan menumpanginya selama pandemi, karena beberapa penumpang dan sopir tidak mengenakan masker. Begitu juga dengan kebersihan kendaraan yang belum terjamin.

Pertimbangan lainnya adalah rasa khawatir pulang terlalu malam. Jangankan lewat pukul 9 malam, usai magrib belum di rumah aja saya senewen. Ini dikarenakan kasus kekerasan seksual yang lagi marak “dilaporkan” ke warganet, menyadarkan untuk lebih waspada dan menjaga diri. Terlebih saya lebih sering pergi sendirian dan pulang malam.

Karena itu, saya lebih senang menghabiskan akhir pekan sendirian di kamar sambil menyaksikan rilisan serial televisi terkini.

Minim Teman Hangout

Semakin dewasa, lingkup pertemanan juga semakin sempit, katanya. Setidaknya pernyataan tersebut yang sedang dialami selama beberapa waktu belakangan. Namun, itu bukan letak permasalahan dalam konteks hidup di wilayah suburban.

Sebenarnya teman-teman saya enggak sedikit-sedikit amat, tapi enggak ada yang tinggal berdekatan, kecuali salah seorang kolega yang belakangan ini jadi teman hangout.

Maklum, meskipun tinggal di Cibubur, saya jarang menghabiskan waktu di daerah ini selain semasa SMP. Pun udah enggak pernah bertukar kabar dengan mereka, kecuali “memantau” kehidupannya lewat Instagram story. Sementara teman-teman SMA, mayoritas bermukim di sekitar Buaran dan Bekasi, karena dulu bersekolah di Matraman, Jakarta Timur. Teman-teman kuliah? Menyebar di beberapa titik Jakarta dan Tangerang.

Alhasil, mau enggak mau saya lari ke Jakarta untuk bertemu teman-teman. Itupun selama pandemi jumlahnya bisa dihitung dengan satu tangan, kalau bisa areanya aksesibel dengan Transjakarta ataupun MRT.

Mungkin kedengarannya miris, tetapi saya ngiri dengan teman-teman yang tinggal berdekatan, atau sama-sama di Jakarta. Dengan mudahnya, mereka bisa saling mengajak pergi dadakan tanpa jauh-jauh hari sebelumnya. Lalu pulang bareng, tanpa terbatas jam operasional atau memusingkan biaya yang perlu dikeluarkan untuk transportasi umum.

Sementara mustahil jika berharap teman-teman menghampiri ke Cibubur, wong jaraknya bisa dikatakan ujung ke ujung dari rumah mereka. Dan siapa saya, sampai mereka rela menerjang kemacetan untuk sekadar bertemu?

But Covid made it possible. Selama setahun terakhir justru teman-teman kuliah beberapa kali menyambangi ke rumah, memahami keterbatasan saya untuk bepergian. Mereka mengingatkan cara bergaul sewaktu SD dan SMP, ketika teman-teman sering berkunjung.

Ketinggalan Tren Makanan Hits

Kalau Anda melihat akun foodie dan influencer di Instagram mengumumkan restoran atau tren makanan baru di Jakarta, artinya cabangnya akan buka di Cibubur dalam beberapa purnama kemudian. Atau mungkin tidak sama sekali.

Kondisi ini sempat membuat saya yang doyan makan, bingung memilih makanan ketika ibu sedang enggak masak. Menu dan restorannya sih beragam, karena belum punya nama bikin saya urung memesan, takut rasanya enggak sesuai ekspektasi.

Dari penuturan ini, Anda yang belum pernah ke Cibubur mungkin membayangkan daerah tempat tinggal ini sebagai antah-berantah. Sebenarnya enggak separah itu, banyak area pemukiman di sini, hanya perkembangannya terbilang cukup lama.

Misalnya ketika berbagai brand minuman boba mulai menjamur pada 2017, seingat saya di Cibubur sama sekali belum tersedia, kecuali yang berlabel kuning dan ungu. Barulah pada 2019, sebuah pusat perbelanjaan milik Chairul Tanjung dibuka, dan menjadi lokasi strategis untuk membuka cabang makanan kekinian. Itu pun belum tentu komplet.

Selain terletak di mal tersebut, makanan kekinian banyak membuka cabang di Kota Wisata, sebuah kawasan real estate berfasilitas lengkap. Meskipun berada di area Cibubur dan dipesan lewat ojek online, ongkir yang harus dibayar sebanding dengan harga makanan yang dipesan, bikin saya menimbang berkali-kali sebelum mengeklik tombol “pesan”.

Untunglah saya bukan satu dari sekian orang yang FOMO dan harus mencicipi makanan saat sedang hype. Bukan juga seseorang yang hobi berburu tempat makan instagrammable, demi validasi di media sosial. Membayangkannya saja merepotkan, jika menganut gaya hidup demikian.

Bagi warga suburban seperti saya, kuncinya sekalian mencicipi makanan yang sulit ditemukan deh kalau sedang bertandang ke Jakarta.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.