“Cinta, kan tidak butuh tali, ia membebaskan,” kata novelis Dee Lestari.
Saya kira pernyataan penulis perempuan itu ada benarnya. Bagi saya yang merupakan suami, cara mencintai istri paling tepat adalah dengan memerdekakannya, alih-alih membelenggu. Istri bukan budak, juga bukan juragan. Laki-laki tidak superior atas istri, dan laki-laki juga tidak berada di bawah subordinasi istri. Idealnya, hubungan suami istri adalah sebagai mitra yang setara: Berdampingan, bergandengan, dan saling menguatkan. Apalagi jamaknya rumah tangga, sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan yang ngeri-ngeri sedap.
Konsep saling bermitra ini pula yang membulatkan hati saya untuk membuat istri merasa bebas. Bebas yang seperti apa? Saya tak pernah menjegalnya, membatasi kemauannya, apalagi mimpi-mimpinya. Pun, kami sepakat untuk merdeka dalam membangun rumah tangga. Istri–sama halnya seperti suami–berhak berkarier, mengembangkan minat, dan melakukan hal yang ia suka untuk bertumbuh.
Baca juga: Kesetaraan dalam Rumah Tangga Tak Cuma Urusan Privat, Tapi Juga Negara
Agar kebebasan ini enggak cuma jadi gagasan di menara gading, salah satu cara membumikannya adalah lewat diskusi intens. Dalam konteks ini, diskusi dibutuhkan sebagai jalan untuk menjembatani perbedaan, bertukar ide, termasuk berkompromi.
Jika itu bisa dilakukan dengan konsisten, hal ini justru bisa menjadi berkah bersama. Sebagai suami, saya merasa mendengar istri saya berbagi pengalaman dan ceritanya mengajar para murid sebagai privilese. Istri saya adalah sosok yang tekun dan cermat, ia juga penutur yang baik. Saat ia mulai nyerocos soal sistem pendidikan, metode mengajar, saya ikut bertambah wawasan.
Tak hanya itu, saya juga jadi belajar menghargai perjuangan istri. Bahwa mengajar tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di sekolah yang institusi pendidikannya masih berparas maskulin. Patriarkis dan tak memberi ruang cukup bagi para guru perempuan.
Baca juga: Laki-laki Lakukan Kerja Domestik Tak Istimewa, Berhenti Merayakannya
Tentu berkah itu bisa jadi lebih banyak dari yang saya tuliskan. Karena manfaat mewujudkan hubungan setara dengan istri bagi saya sangat terasa sejauh ini. Lantas bagaimana dengan pandangan patriarki yang mungkin masih mendominasi lingkungan masyarakat? Saya tak peduli karena buat saya mereka yang menempatkan istri di posisi subordinat cuma bagian dari kelompok orang dengan maskulinitas rapuh.
Sama rapuhnya seperti lelaki yang menganggap bahwa istri jadi satu-satunya yang mengerjakan tugas domestik, termasuk cuci piring, menjemur pakaian, membersihkan rumah, toilet, mencuci baju, dan sebagainya. Saya sendiri terbiasa melakukan kerja domestik di rumah. Itu tak istimewa buat lelaki mestinya, sehingga tak perlu dirayakan besar-besaran. Toh buat saya, menjaga kebersihan, mencuci piring, mencuci baju, memasak sudah jadi bagian selemah-lemahnya iman buat bertahan hidup.
Saya sendiri bersyukur punya privilese untuk bisa berbagi peran dalam rumah tangga dan mewujudkan relasi setara. Saya juga tak peduli meski ada pandangan bahwa lelaki mestinya jadi kepala keluarga, pemimpin, nahkoda. Buat saya itu cuma pandangan usang karena faktanya banyak perempuan berdaya dan lebih cakap memimpin ketimbang saya dan lelaki-lelaki lain di dunia.
Baca juga: Kesetaraan Gender dalam Akses Kerja Untuk Akhiri Kemiskinan Perempuan
Jadi, karena saya sudah merasakan langsung berkah berelasi yang setara, saya ingin mengajak para suami untuk bisa menirunya. Memuliakan dan membebaskan istri tak serta merta membuatmu harus menjelma sosok adidaya. Ciptakan ruang yang sama untuk duduk dan berdiri beriringan sama tingginya. Saling evaluasi, saling kritik, dan saling mencintai dengan membebaskan mereka. Sejauh ini, sih, saya belum melihat ada solusi lain agar rumah tangga adem ayem dan membahagiakan di luar cara tersebut.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments