“Kok diblokir, sih? Baper ya, lu? Enggak bisa nerima perbedaan pendapat?”
“Pengecut. Namanya juga risiko main medsos!”
“Halah, dikit-dikit blokir. Enggak bisa ngadepin dunia nyata, lu!”
Tampaknya debat perlu atau enggak memblokir seseorang akan terus terjadi. Ada yang bilang, pemblokiran cuma dilakukan oleh pengecut yang tak siap menerima perbedaan pendapat. Ada juga yang membela dengan alasan, sah-sah saja bila pelaku ingin lebih nyaman bermedia sosial.
Sebelum ada fitur blokir pada ponsel zaman dulu, saya sudah pernah beberapa kali berurusan dengan penguntit. Salah satunya sampai pernah saya tulis untuk Magdalene.co. Bayangkan, saya dihantui teror tak jelas selama berbulan-bulan, hanya karena nomor ponsel saya tak sengaja terlihat olehnya di layar komputer warnet beberapa tahun silam.
Beberapa tahun berselang, saya sempat punya masalah dengan seorang teman. Tiap kali kami bertengkar, ia selalu membanjiri ponsel saya dengan pesan-pesan penuh kemarahan tanpa henti. Bahkan, sehari penuh dia bisa melakukan hal itu, sehingga saya sempat harus mengaktifkan fitur senyap ponsel. Sangat mengganggu.
Teman-teman lain dan Mama yang melihat kegelisahan saya saat itu, berkata, “Kalau sudah tidak tahan, blokir saja. Bukan kewajiban kamu kok untuk menyenangkan dia terus.” Beberapa kali keinginan itu sempat terbersit tapi saya urungkan, mengingat ia sering curhat masalahnya pada saya. Tak peduli sudah berapa kali dia menyakiti hati saya dengan sindiran, ucapan kasar, dan lainnya. Namun, lama-lama saya tak tahan juga.Singkat cerita, saya mulai bersikap dingin padanya. Tentu saja teman saya kesal setengah mati, tapi beruntung, ia berhenti mengganggu saya.
Baca juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Sengaja Punya Nomor dan Akun Baru
Memang, sih, fitur blokir tidak secara otomatis dapat membuat kita terhindar dari perundungan, baik melalui ponsel maupun media sosial. Salah satu penguntit saya di masa lalu, pernah sampai punya dua nomor ponsel. Begitu sadar saya sudah hafal nomor pertama dan mengabaikannya, dia mengganti nomornya dengan yang baru.
Tak cuma sekadar ganti nomor, saya melihat kebanyakan tukang teror ini juga sengaja pakai akun palsu (fake account) untuk mengganggu orang lain. Biasanya, yang mereka ganggu adalah influencer, mantan sendiri, mantannya pacar, pacar baru mantan, atau musuh yang tidak mereka sukai. Semua dikomentari, mulai dari foto, video, cara berpakaian, berat badan, hingga saat mereka berbagi pendapat dan pandangan hidup. Bila si sasaran memblokir mereka, cukup ganti akun dan mulai lagi merundung lalu berlindung di balik kebebasan bicara. Pelaku semacam ini juga dikenal dengan sebutan troll.
Lalu, bagaimana? Apakah berarti fitur blokir tidak berguna dan hanya untuk orang-orang pengecut yang katanya tidak bisa menerima perbedaan pendapat?
Salah satu influencer favorit saya, Tasyaa Sayeed, pernah membahas hal ini dalam salah satu konten Instagram-nya. Saya sepakat dengan Tasya, karena para pengganggu ibarat tamu tak diundang, lalu seenaknya mengatur-atur orang yang punya “rumah” (akun), dan marah-marah saat diusir atau kehilangan akses untuk mengintip (mencari-cari sesuatu yang bisa dikomentari).
Baca juga: Perundungan Kalis Mardiasih, Atta-Aurel, dan Feminitas Beracun
Bahkan, sepertinya mereka sudah menemukan kenikmatan dari menyakiti orang lain. Iya, sampai-sampai rela bikin akun baru berkali-kali, khusus mengganggu orang yang tidak mereka sukai dan sudah berani memblokir mereka.
Saya akui, saya sendiri juga bukan orang sempurna. Saya pun pernah menjadi perundung dan hingga kini masih menyesalinya. Namun, saya memutuskan untuk belajar berubah menjadi lebih baik.
Kita Berhak Hidup Damai
Memang, setiap orang berbeda dan punya pandangan hidup masing-masing. Kita tidak bisa mengubah mereka, sama seperti mereka tak berhak memaksa kita berubah sesuai kemauan mereka. Kita hanya bisa berusaha menerapkan batasan, demi kenyamanan dan kesehatan mental sendiri.
Dianggap pengecut hanya karena memilih memanfaatkan fitur blokir? Kenapa tidak? Memang, ada orang yang menggunakannya karena ingin lari dari tanggung jawab dan kesalahan. Namun, ada juga yang menggunakannya karena malas berurusan dengan penggila drama, termasuk warganet julid yang entah kenapa selalu gemar cari gara-gara.
Baca juga: Percaya ‘Sisterhood’ Tapi Sinis pada Sesama Perempuan
Mereka yang menyebut kita pengecut bisa jadi cuma berusaha melakukan gaslighting, agar kita tetap membuka peluang bagi mereka untuk terus-menerus menyakiti kita. Perbedaan pendapat memang tidak bisa dihindari. Namun, siapa, sih, yang tahan dirongrong tanpa henti, hanya gara-gara beda pendapat maupun pilihan?
“Gue santuy aja tuh, sama komen-komen julid mereka di medsos gue.”
Nah, masalahnya, tidak semua orang punya kesabaran yang sama? Masa iya hal sesederhana ini harus diingatkan berkali-kali, sih?
Lagipula, bukankah kita masih punya banyak urusan lain yang lebih penting di dunia nyata?
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments