Kontroversi tentang poligami kembali marak hingga mendorong seorang petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ingin membubarkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Kontroversi seputar poligami akan terus mengemuka di negeri ini karena adanya dualisme hukum perkawinan dan keluarga di Indonesia, yaitu hukum syariat dan hukum negara. Syariat membolehkan poligami, sedangkan hukum negara (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berasaskan monogami) membatasinya.
Belum lama ini, isu poligami mencuat ketika Dauroh Poligami Indonesia (DPI) menggelar beberapa seri seminar dengan judul yang gagah “Cara Kilat Dapat Istri 4”. Pesertanya harus memberikan kontribusi antara Rp3,5 juta hingga Rp5 juta per orang. Hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk meredam apalagi melarang kampanye dan/atau praktik poligami. Itu terbukti dengan betapa leluasanya organisasi massa seperti DPI menggelar seminar dan kegiatan lainnya yang mengampanyekan poligami.
Lalu, mengapa pemerintah harus bertindak? Sebab kampanye dan gerakan pro-poligami jelas-jelas telah meledek pemerintah dan berbagai produk perundang-undangan di Indonesia. Mereka memanfaatkan celah hukum dalam masalah poligami untuk mengeruk keuntungan material yang sebesar-besarnya dengan dalih agama.
Ketika ditanyakan, kenapa pemerintah tidak mengambil tindakan terhadap DPI atau pihak-pihak serupa lainnya? Jawabannya, karena kekosongan atau ketiadaan hukum. Hak masyarakat untuk berpendapat, berkumpul, bahkan mengajak orang lain berpoligami dilindungi undang-undang. Alasan lainnya, karena tidak ada orang yang dizalimi atau dianiaya dan dirugikan. Juga tidak ada pengaduan kepada pemerintah atau kepolisian mengenai perbuatan mereka. karena itulah pemerintah tidak bisa mengambil tindakan apa pun atas mereka.
Hukum Islam maupun hukum pemerintah tentang perkawinan memang memberikan peluang kepada laki-laki di negeri ini untuk beristri lebih dari satu. Para feminis dan aktivis perempuan bisa berteriak bahwa asas perkawinan dalam UU Perkawinan (UUP) adalah asas monogami, dan bahwa poligami bukanlah tradisi Islam. Namun, teriakan mereka tidak pernah menjadi suara yang cukup kencang untuk menggerakkan pembuat kebijakan di negeri ini melahirkan aturan yang lebih tegas tentang poligami dan model perkawinan tidak jelas lainnya. Suara mereda teredam oleh kenyataan bahwa poligami adalah praktik yang sah dan dilindungi hukum.
Langkah yang paling efektif untuk menghentikan kampanye dan praktik poligami, dan juga nikah siri adalah merevisi UUP. Namun sepertinya langkah itu sulit terwujud, karena hukum Islam, yang dianut mayoritas penduduk, membolehkan poligami. Bahkan, naskah rancangan revisi UUP yang pernah mengemuka pun—yang di antaranya mengatur sanksi bagi pelaku nikah siri—kini tidak lagi terdengar nasibnya.
Lalu, jika begitu, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Kekosongan atau celah hukum tidak bisa dijadikan alasan bagi pemerintah untuk berdiam diri membiarkan fenomena itu. Jika pemerintah menganggap penting upaya pembangunan keluarga yang baik, harmonis, dan sejahtera, pemerintah harus mengambil tindakan untuk membatasi kampanye poligami.
Diskresi sebagai Solusi
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemerintah wajib melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan. Fungsi-fungsi tersebut harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketika tidak ada peraturan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain tentang suatu masalah, pemerintah harus tetap menjalankan fungsinya. Untuk itulah ditetapkan peraturan tentang diskresi.
Para perempuan dan anak-anak yang menjadi objek poligami tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang dampak buruk poligami, bahwa ada banyak potensi eksploitasi dalam praktik poligami.
Menurut UU No. 30/2014 tersebut, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Lebih jauh diatur bahwa pengguna diskresi adalah pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuan serta peraturan yang telah ada (Pasal 1 [3]).
Salah satu contoh diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah adalah Surat Edaran Nomor 586/SE/2018 yang diterbitkan oleh Lurah Cipinang Besar Utara, Sri Sundari, untuk menekan angka perkawinan usia dini. Ketika ditanya alasannya, Sri Sundari menyatakan miris melihat berbagai masalah sosial di lingkungannya, terutama perkawinan anak yang tidak terdata karena terjadi di bawah tangan atau dikenal sebagai “kawin siri.”
Langkah serupa diambil Gubernur Nusa Tenggara Barat, TGB M. Zainul Majdi yang menerbitkan Surat Edaran Nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan yang merekomendasikan usia pernikahan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun. Surat edaran itu diterbitkan untuk mendorong seluruh satuan kerja perangkat daerah serta bupati/wali kota se-NTB melaksanakan program PUP sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Jika berkaitan dengan usia perkawinan pejabat dapat mengeluarkan kebijakan, mestinya pemerintah juga bisa melakukan diskresi untuk meredam kampanye dan praktik poligami selama tidak bertentangan dengan peraturan. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah. Ada surat edaran yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Nomor SE/71/VII/2015 tentang Persetujuan Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai di Lingkungan Kemhan. Namun, surat edaran itu tidak berdampak besar karena menegaskan berbagai peraturan yang telah ada tentang poligami meskipun pihak Kemenhan menyatakan bahwa SE itu dimaksudkan untuk melarang poligami.
Baca juga: Anak dalam Keluarga Poligami: Unsur yang Dilupakan
Berkaitan dengan poligami, pejabat pemerintah dari berbagai tingkatan bisa mengeluarkan kebijakan untuk memperketat aturan tentang praktik dan/atau kampanye poligami. Misalnya, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama bisa mengeluarkan peraturan mengenai pembinaan dan pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan perkawinan, dan juga pembinaan keluarga sakinah. Tujuannya adalah untuk mengedukasi masyarakat tentang aspek yang sehat dan sekaligus juga edukasi tentang asas monogami dalam Islam dan UUP.
Pejabat lain di Kementerian Agama dan juga pemerintah daerah bisa mengeluarkan kebijakan serupa yang mempersempit gerak kalangan pro-poligami sehingga tidak berkampanye secara leluasa. Begitu pula para pejabat di Kementerian dan lembaga negara lain bisa mengeluarkan kebijakan serupa. Ketika banyak pihak yang menyoroti dan mencurahkan perhatian pada persoalan ini, niscaya akan terbentuk opini tentang dampak negatif poligami.
Selain itu, jika banyak pihak yang mencurahkan perhatian untuk mengurusi masalah ini, para perempuan dan anak-anak korban praktik poligami bisa lebih berani menyuarakan derita dan permasalahan mereka. Bisa jadi mereka tidak mengadukan penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan para pelaku poligami karena mereka terintimidasi atau merasa sunyi sendiri dan tidak akan ada yang mendukung pengaduan mereka. Terlebih lagi begitu banyak pemuka dan tokoh masyarakat yang mengampanyekan surga bagi para perempuan yang mengizinkan suami mereka untuk berpoligami.
Di sinilah terletak kesenjangan pengetahuan. Para perempuan dan anak-anak yang menjadi objek poligami tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang dampak buruk poligami, bahwa ada banyak potensi eksploitasi dalam praktik poligami. Selama ini mereka lebih banyak diberi informasi tentang keutamaan bersikap sabar, ikhlas, dan menerima poligami; mereka lebih banyak menerima asupan bahwa agama membolehkan poligami. Dengan demikian, ada kesenjangan dan ketidakadilan dari sisi pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang poligami. Karenanya, pemerintah harus mengambil peran lebih banyak untuk mendidik masyarakat sehingga mereka benar-benar memahami masalah ini.
Comments