Juli kemarin saya berkesempatan menghadiri diskusi publik seputar isu narkotika di Bogor, Jawa Barat. Hampir sama dengan diskusi dan acara serupa, mayoritas hadirin pada acara di Bogor adalah oleh laki-laki. Representasi perempuan biasanya dapat dihitung dengan jari. Apalagi representasi minoritas gender, hampir tidak pernah ada dalam acara atau pun diskursus narkotika di Indonesia.
Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Isu narkotika memang masih dianggap sebagai sesuatu yang maskulin. Perempuan yang bersinggungan dengan narkotika mendapatkan stigma dan diskriminasi berlapis. Selain itu kerangka hukum di Indonesia yang masih mengkriminalisasi pengguna narkotika membuat suara perempuan semakin tenggelam.
Dari perempuan yang terlibat dalam advokasi kebijakan narkotika, hanya sedikit di antara mereka yang mengangkat isu perempuan atau menuntut kebijakan yang responsif gender. Padahal, sama dengan isu-isu lainnya, isu narkotika bisa dianalisis dari perspektif feminis. Banyak hal terkait narkotika yang bisa didiskusikan dengan kacamata perempuan, di antaranya penggunaan narkotika di kalangan perempuan, eksploitasi perempuan sebagai kurir narkotika dan perdagangan orang, proses hukum perempuan yang dituduh melakukan tindak pidana narkotika, pemulihan ketergantungan ataupun layanan kesehatan perempuan pemakai narkotika, fungsi dan kegunaan zat narkotika pada biologis perempuan, hingga perang terhadap narkotika dan ambisi menciptakan dunia bebas narkotika.
Diskusi publik di Bogor mengkaji implementasi dan dampak kebijakan narkotika Indonesia terhadap pengguna narkotika. Diskusi ini memaparkan masalah yang dihadapi komunitas pengguna narkotika saat berhadapan dengan hukum, pun ketika mengakses layanan rehabilitasi. Selama kurang lebih dua jam, pemateri dan peserta diskusi seakan terkurung di ruang kecil dan dihadapkan pada dua pilihan “solusi” bagi pengguna narkotika: rehabilitasi atau penjara. Hukuman berupa rehabilitasi “paksa” dan penjara bagi mereka yang menggunakan narkotika memang umum terjadi di negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Laos, dan Kamboja, seperti yang ditulis oleh Joseph J. Amon dalam International Journal of Drug Policy pada 2014. Rehabilitasi paksa dan penjara bagi pengguna narkotika adalah salah dua cara untuk mengantarkan kita pada satu tujuan yakni “Dunia Bebas Narkotika”.
Sejarah kebijakan politik narkotika
Lalu, bagaimana “Dunia Bebas Narkotika” dianalisis dengan kacamata perempuan? Kita harus menelusuri sejarah mimpi dalam menciptakan dunia yang bebas narkotika, yang kemudian dikomunikasikan menjadi wacana “Perang terhadap Narkotika”.
Pelarangan narkotika di berbagai dunia selalu diiringi motivasi politik. Di Amerika Serikat, pelarangan narkotika diawali dengan sentimen rasialisme terhadap kelompok Afrika-Amerika, warga Latin, dan orang Cina. Pada awal 1900an, AS melarang narkotika yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang Afrika Amerika. Presiden Theodore Rosevelt mengadakan Konferensi Opium Internasional pada tahun 1909 yang kemudian melahirkan Konvensi Opium Internasional. Kebijakan ini merupakan respons dari tumbuhnya imigran Cina yang dianggap mengambil pasar tenaga kerja di Amerika Serikat. Saat itu imigran Cina memiliki kebiasaan mengonsumsi opium.
Baca juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi
Pada tahun 1915, lebih dari 500.000 orang Meksiko atau Latin datang ke perbatasan Amerika Serikat dan membawa ganja. Sentimen anti orang-orang Latin kemudian membuat 16 negara bagian AS melarang penjualan dan kepemilikan ganja. Walaupun berganti presiden, motif rasial dan pelarangan narkotika masih terjadi di negara itu. Harper’s Magazine mempublikasi hasil wawancara dengan ajudan Richard Nixon, John Ehrlichman, yang mengungkapkan bahwa pelarangan narkotika lahir dari kebencian Nixon terhadap dua hal: gerakan kiri dan orang-orang Afrika-Amerika. Mengasosiasikan hippie dengan ganja dan orang Afrika-Amerika dengan heroin dapat membantu pemerintahan Nixon mengkriminalisasi kelompok ini. Pelarangan narkotika dan sentimen rasisme di Amerika Serikat juga masih terjadi ada hingga detik ini di bawah pemerintahan Donald Trump.
Di Australia, pelarangan opium muncul di awal abad 20 untuk meminimalisir masuknya orang-orang Cina ke negara itu. Pada tahun 1913 dan 1925, konvensi diperluas dengan melakukan pelarangan terhadap zat lain, seperti morfin, heroin, kokain, dan ganja. Pelarangan ini muncul sebelum zat-zat tersebut menimbulkan gejala buruk yang masif di Australia. Tahun-tahun berikutnya, kebijakan pelarangan narkotika di Australia diarahkan untuk menjaga relasi internasional, khususnya dengan Amerika Serikat.
Secara internasional, regulasi narkotika diatur dan diperbincangkan oleh negara-negara di dunia melalui sidang Komisi Narkotika dan Obat-obatan (CND). Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan internasional terkait, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat hadir melakukan deliberasi untuk menentukan regulasi narkotika, dan setiap pihak atau badan yang melakukan pemungutan suara membawa kepentingannya masing-masing. Dengan kata lain, proses regulasi narkotika baik di tingkat negara, regional, ataupun internasional berjalan sangat politis. Kebijakan narkotika yang politis ini kemudian dijalankan oleh pemegang kuasa yang isinya laki-laki. Hal ini berdampak pada bagaimana melihat dan mengatasi permasalahan narkotika.
Sistem politik maskulin dan dampaknya
Perlu kita sadari bahwa segregasi peran gender berdampak pada bagaimana dunia ini dibentuk. Memiliki hak istimewa untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi membuat laki-laki zaman dulu, bahkan hingga sekarang, mempunyai kuasa untuk mengatur dunia: menjadi politisi, hakim, pengacara, presiden atau pemimpin negara, dokter, ilmuan, penulis, dan sebagainya. Dunia digambarkan dan dijalankan dengan menggunakan kacamata laki-laki alpha male, atau bisa dibilang kita hidup di dunia alpha male. Begitu juga dengan bagaimana dunia melihat isu narkotika.
Sistem politik yang dibangun adalah sistem politik maskulin yang mengutamakan otot, kekuatan, dan kekerasan, seperti dominasi militer dan penggunaan pendekatan keamanan dalam mengatasi isu sosial. Sayangnya, praktik politik narkotika yang maskulin terbukti memakan banyak korban jiwa. Di Amerika misalnya, politik rasisme dan pemberantasan narkotika menciptakan pemenjaraan masif dan ketimpangan sosial dan ekonomi bagi orang-orang kulit hitam.
Di Filipina, wacana perang terhadap narkotika ditempuh dengan melakukan pembunuhan extrajudicial. Data dari Badan Penegakan Narkotika Filipina (PDEA) menunjukkan ada 4.948 orang yang meninggal karena extrajudicial killings tersebut. Jumlah ini belum termasuk angka yang meninggal di tangan orang-orang sipil yang bersenjata (vigilante). Menurut Kepolisian Nasional Filipina, jumlah kematian akibat perang terhadap narkotika oleh Presiden Rodrigo Duterte mencapai hampir 30.000 orang.
Praktik politik narkotika yang maskulin terbukti memakan banyak korban jiwa. Di Amerika misalnya, politik rasial dan pemberantasan narkotika menciptakan pemenjaraan masif dan ketimpangan sosial dan ekonomi bagi orang-orang kulit hitam.
Di Indonesia, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mendeklarasikan perang terhadap narkotika dengan tujuan menyelamatkan anak bangsa. Perang terhadap narkotika diimplementasikan melalui beberapa kebijakan, di antaranya hukuman mati dan tembak di tempat. Dalam waktu 1,5 tahun, Jokowi mengeksekusi 18 orang yang merupakan terpidana mati kasus narkotika.
Kebijakan eksekusi mati ini menuai banyak kritik. Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert menekankan, eksekusi mati yang dilakukan Presiden adalah usaha untuk menunjukkan sisi “tegas” Jokowi, setelah sebelumnya dianggap tidak mampu dan tidak cukup tegas mengambil sikap politik. Sementara itu, pada Desember 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga dengan bangga mengumumkan jumlah korban tembak di tempat kasus narkotika. Setidaknya, 99 korban yang meninggal dunia di tangan BNN dianggap sebagai bukti keseriusan BNN dalam menyelesaikan kasus narkotika.
Selain memakan korban, politik maskulin di isu narkotika melahirkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kurangnya profesionalisme, langgengnya budaya impunitas, dan menghubungkan jaringan narkotika dengan elite politik. Kasus vigilante di Filipina serta kebijakan tembak di tempat dan hukuman mati di Indonesia adalah contoh nyatanya. Atas nama perang terhadap narkotika, masyarakat sipil yang bersenjata di Filipina bebas menembak orang, tidak peduli orang dewasa ataupun anak-anak. Atas nama perang terhadap narkotika, aparat penegak hukum di Indonesia bebas menembak mati orang tanpa melalui proses persidangan atau pembuktian. Freddy Budiman, subjek yang menjadi sumber informasi terkait peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan, dieksekusi untuk melindungi oknum-oknum yang terlibat di dalamnya.
Belakangan, Ombudsman Republik Indonesia juga mengumumkan bahwa eksekusi mati jilid tiga di bawah pemerintahan Jokowi berindikasi maladministrasi dan sarat akan diskriminasi rasial. Jika hal-hal semacam ini dibiarkan, pemerintah akan dengan mudah mendeklarasikan “rezim pengecualian” di mana aparat keamanan diberikan kekuasaan hukum yang ekstra untuk mencapai misi “politis”-nya. Praktik politik maskulin seperti ini kemudian menciptakan masalah baru seperti kematian, kemiskinan, dan eksklusi sosial.
Etika kepedulian dan kebijakan narkotika
Salah satu cara berpikir yang dapat diambil untuk keluar dari permasalahan narkotika ialah dengan menerapkan ethic of care (etika kepedulian) dalam setiap kebijakan narkotika. Konsep etika kepedulian bermula dari sejarah di mana perempuan ditinggalkan dan mengambil porsi yang signifikan dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan “merawat”. Segregasi peran seperti membuat kondisi politik, sosial, dan analisis etika sering kali mengabaikan atau bahkan merugikan perempuan. Etika kepedulian merupakan premis dari sistem hukum dan teori hukum saat ini yang didasarkan pada model eksklusif laki-laki. Sistem dan teori hukum saat ini merupakan hasil dari pengkategorian laki-laki dan perempuan secara biner: perempuan terhubung dengan manusia lain, sementara laki-laki tidak.
Etika kepedulian juga lahir sebagai kritik dari etika laki-laki tradisional yang mempromosikan etika yang didominasi oleh rasionalitas atau biasa dikenal dengan ethic of justice (etika keadilan). Etika keadilan selama ini memisahkan individu dengan situasi atau latar belakang yang mereka alami, menggunakan sikap objektif dengan aturan yang sangat formal.
Baca juga: Sutradara Dokumenter Soroti Napi Perempuan yang Hamil dan Melahirkan di Penjara
Sebaliknya, etika kepedulian mengklaim bahwa kepedulian atau caring harus menjadi nilai tertinggi dalam segala aktivitas sosial. Kebijakan yang berbasis etika kepedulian adalah kebijakan yang mempromosikan dan melindungi hubungan antar individu dan sikap saling merawat. Individu dalam etika kepedulian saling terkoneksi, rentan, dan saling tergantung. Model ini memfokuskan perhatian pada konteks perselisihan dan hubungan berkelanjutan para individu atau pihak yang berselisih. Etika kepedulian sering divisualisasikan melaui karakter “ibu yang melindungi dan merawat anaknya”. Lalu, bagaimana etika kepedulian melihat kebijakan narkotika?
Dalam model etika kepedulian, negara tidak boleh memisahkan kelompok atau individu dengan konteks yang mereka alami. Misalnya, kelompok pengguna narkotika dengan alasan menggunakan narkotika, atau orang yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang melekat pada kelompok ini. Sehingga jalan keluar yang ditempuh bukanlah jalan yang kaku dan bersifat formil, melainkan jalan yang mengutamakan relasi dan perlindungan bagi rakyat. Hukum tidak dilihat sebagai sebuah bisnis yang memaksa seseorang bertindak melalui ancaman sanksi, yang menghancurkan kebaikan dari relasi saling merawat.
Sebenarnya beberapa kebijakan narkotika di dunia telah melakukan pendekatan yang non-punitif, atau mengutamakan “kepedulian dan perawatan”. Negara-negara Skandinavia memiliki kebijakan ruang konsumsi narkotika (DCR), di mana pengguna narkotika dapat menyuntikkan narkotikanya dengan aman dan dengan pengawasan dari tenaga medis. Kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi tingginya kemungkinan dampak buruk dan angka kematian akibat overdosis.
Sementara itu, negara-negara di Asia memutuskan untuk melegalkan ganja medis. Seperti yang telah disebutkan dalam beberapa kajian, zat-zat yang terkandung dalam ganja dapat bermanfaat dalam pengobatan kanker, epilepsi, maupun HIV/AIDS. Uruguay, Kanada, dan Luksemburg telah melegalkan ganja baik secara medis maupun rekreasional. Legalisasi ditempuh untuk menghindari dampak buruk akibat peredaran gelap ganja.
Pada 2001, Portugal memutuskan untuk melakukan dekriminalisasi medis dan rekreasional penggunaan narkotika. Kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan angka kematian akibat overdosis, infeksi HIV, dan tindak kriminal narkotika. Semua kebijakan ini mempertimbangkan aspek kebermanfaatan narkotika bagi rakyat, khususnya dengan menggunakan kacamata hak asasi manusia dan kesehatan publik.
Berdasarkan penjelasan di atas, ambisi menciptakan dunia bebas narkotika sesungguhnya bertentangan dengan etika kepedulian. Motivasi politik dan sistem politik yang maskulin telah mengorbankan ribuan jiwa dan puluhan keluarga menderita di bawah kesedihan. Jika negara dan hukum diibaratkan seorang ibu, dan rakyatnya adalah anak, negara dan hukum akan berusaha keras melindungi rakyatnya. Jika ambisi menciptakan dunia bebas narkotika malah melahirkan malapetaka dan menimbulkan bahaya bagi rakyat, solusinya adalah mengganti strategi kebijakan dengan kebijakan yang menaruh nilai kepedulian sebagai nilai tertinggi kehidupan.
Sejatinya, pemikiran manusia selalu berkembang sehingga kita selalu punya pilihan dalam membuat keputusan ataupun kebijakan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita mau berbesar hati mengaku salah dan mengubah pola pikir kita, memprioritaskan “kepedulian”?
Comments