“Saya dengar di kuburan gelap, jadi saya sudah berlatih mati dari dulu. Lampu selalu padam. Saya tak mau keluar rumah melihat matahari. TV juga saya biarkan mati.”
Hartini Rahayu, 39, menceritakan pada Magdalene bagaimana hari-hari pertama ia bereaksi usai divonis positif Human Immunodeficiency Virus (HIV). Saat itu, 15 Februari 2008.
Ia sebenarnya tak menyangka bakal tertular HIV dari suami yang pengguna narkotika jarum suntik. Pikir Hartini, seorang ibu rumah tangga takkan tertular, melainkan para pekerja seks atau orang yang memang kecanduan narkoba. Namun, beberapa penyakit yang menyerangnya saat itu dan tak sembuh-sembuh membuat ia nekat memeriksakan diri.
Baca juga: Saya Positif HIV, Menikah, Punya Anak, dan Hidup Bahagia
“Biasanya kekebalan tubuh saya bagus, tapi ini pilek dan batuk kok bisa sampai berbulan-bulan enggak hilang. Saya juga anemia berat, berat badan merosot jadi 36 kilo, dan sekujur tubuh dipenuhi luka koreng,” ujarnya.
Begitu dokter memvonisnya positif HIV, Hartini dipenuhi rasa putus asa. Apalagi sebelumnya ia telah kehilangan dua orang anak saat usia masih bayi. Hartini juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
“Pokoknya kalau saya mati cepat, biarkan orang tua tahu saya mati karena sakit bukan karena dipukuli suami,” imbuhnya.
Semangatnya mulai bangkit ketika beberapa obat dari dokter membuat kondisinya berangsur pulih. Namun, itu tak membuat dia legowo membuka status positifnya pada orang-orang terdekat dan rekan kerja. Di sela waktu bekerja di salon, biasanya ia bakal sembunyi ke kamar mandi untuk meminum obat HIV dari dokter. Setiap bulan, ia juga diam-diam pergi ke rumah sakit untuk mengambil stok anti-retroviral (ARV).
Ia baru bisa jujur setelah bertemu dengan komunitas orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit. Bertemu para perempuan bahkan para ibu, membuat Hartini sadar ia tak sendirian. Mereka saling berbagi cerita, menguatkan, hingga akhirnya Hartini semangat kembali.
Apa yang dialami Hartini sebenarnya adalah cerita jamak di Indonesia. Berbagai studi menunjukkan perempuan lebih rentan tertular HIV/AIDS, yang kebanyakan dari pasangan mereka sendiri. Bahkan data menunjukkan beberapa tahun terakhir telah terjadi penularan HIV/AIDS dari kelompok kunci (pekerja seks, laki-laki seks dengan laki-laki dan kelompok narkoba suntik) ke kelompok berisiko rendah, seperti ibu rumah tangga dan bayi.
Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan proporsi ibu hamil dengan HIV terus meningkat, mencapai 30 persen dari total populasi orang dengan HIV di Indonesia pada Januari-September 2022.
Data lainnya menyebutkan, kasus HIV yang menimpa anak di Indonesia tembus hingga 12.553. Kebanyakan mereka yang terinfeksi berusia di bawah 4 tahun dengan angka kasus 4.764 orang. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi dalam jumpa pers di Hari AIDS, (1/12) bilang, jika ditotal, anak-anak yang terinfeksi HIV itu berusia di bawah 14 tahun.
Itu adalah angka yang relatif mengkhawatirkan. Namun, perlu diketahui, tak semua anak yang lahir dari ibu dan ayah positif HIV bakal tertular. Hartini contohnya. Sejak dinyatakan positif HIV, ia telah melahirkan dua anak dengan aman. Baik suami dan anaknya pun negatif HIV.
Pengalaman serupa juga dirasakan Mirza Revilia. Meski ia kehilangan satu anaknya karena tertular HIV darinya, anak-anak yang lain tetap dinyatakan negatif hingga sekarang. Ia juga bisa tetap merencanakan kehamilan dan persalinan dengan aman jika mau.
Demikian juga dengan Wahyudi, pegiat Jaringan Indonesia Positif, yang telah menjadi ODHA sejak 2016. Ia bisa menikah dengan kekasihnya dan memiliki anak. Baik istri dan anaknya tetap negatif berkat kepatuhan Wahyudi mengonsumsi obat ARV.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Minim Akses Informasi
Menurut Hartini, akses informasi yang minim tentang HIV/ AIDS menjadi salah satu biang kerok tingginya penularan dari ibu ke anak. Padahal jika semua terliterasi, upaya pencegahan itu bisa dilakukan.
“Masalahnya, kita sekarang masih susah mengakses informasi. Meskipun sudah ada peningkatan kualitas layanan dan teknologi kesehatan, tapi enggak semua orang, khususnya petugas layanan kesehatan memahami ini,” ujar Hartini.
Ia sering kali mendengar cerita dari ibu yang positif HIV yang kurang pengetahuan dan tak ada pendampingan, lalu mereka memilih menjalani persalinan tak aman. Ada juga cerita tentang pengetahuan minim dari tenaga faskes yang membuat para perempuan ini distigma.
“Saya juga korban stigma dan diskriminasi. Saat mau bersalin, semua alat persalinan diberi tulisan ‘khusus ODHA’. Tak cuma itu, ada seorang perawat yang mengetahui status positif HIV saya lalu merekam aktivitas persalinan selama kurang lebih 10 menit tanpa izin,” ungkapnya pada Magdalene.
Rendahnya pengetahuan tentang HIV/ AIDS menjadi latar belakang Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) membuat Program Emak Club. IPPI adalah Jaringan Nasional Perempuan yang hidup dan atau terdampak HIV. Mereka ingin ada penguatan perempuan yang hidup dengan HIV dan terdampak HIV melalui upaya advokasi, penguatan kapasitas, dan mendorong para perempuan untuk meningkatkan kesadaran menjaga kesehatan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera.
Dalam praktiknya, Program Emak Club menyediakan dukungan psikologis dan teknis pada perempuan HIV yang merencanakan kehamilan dan perempuan HIV yang sedang menjalani kehamilan. Harapannya, perempuan yang terinfeksi HIV bisa tetap merencanakan atau menjalankan kehamilannya dan memahami pilihan mereka sendiri. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah agar bayi yang dilahirkan mendapatkan profilaksis ARV untuk mencegah HIV dan mendapatkan inisiasi pemeriksaan dini.
Program ini sendiri hingga sekarang telah konsisten melakukan pendampingan psikososial buat ODHA agar lebih patuh mengonsumsi ARV. Pun menumbuhkan kesadaran pada akses kesehatan serta program pencegahan. Faktor-faktor tersebut berkontribusi pada lahirnya bayi yang sehat dan bebas dari HIV, dan tercegahnya penularan pada pasangan.
Ada dua orang pendamping di setiap kota yang mendampingi 10 orang pada periode full kehamilan (36-40 minggu). Jika setiap kota memberi dukungan pada 10 orang, maka total 100 perempuan di lima kota akan memiliki pendamping (jika ibu telah melahirkan maka jumlah perempuan yang akan didampingi akan ditambah). Satu orang pendamping wajib melakukan dua kali pendampingan pada setiap perempuan, selebihnya dukungan dapat dilakukan lewat kontak Whatsapp atau telepon.
Baca juga: Surat untuk Mendiang Puput: ‘Matahari di Sana Lebih Cerah, Nak!’
Tahun depan, IPPI akan melanjutkan Program Emak Club di 5 kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Masalahnya, untuk membiayai program ini, IPPI dan Magdalene butuh bantuan teman-teman yang baik. Bantuan akan digunakan untuk memenuhi anggaran untuk terselenggaranya program. Dengan demikian, makin sedikit anak-anak yang negatif HIV meski lahir dari orang tua ODHA.
Untuk berdonasi silakan klik tautan ini.
Comments