Wafatnya Dorce Gamalama pada pertengahan Februari 2022 tak hanya menorehkan luka bagi dunia hiburan, tapi juga komunitas LGBTIQ terutama transpuan.
Bagaimana tidak? Bunda Dorce adalah individu multitalenta, ikon dunia hiburan, sekaligus figur yang dihormati. Karena itu, kehadiran dan kepergiannya menjadi tonggak penting dalam representasi minoritas seksual di media.
Bagi para pembaca yang lahir usai tahun 2000, mungkin agak susah melihat betapa krusialnya kehadiran Dorce di televisi.
Namun coba bayangkan, dua dekade lalu, ketika visibilitas komunitas LGBTIQ masih belum seperti sekarang, ketika istilah banci dan bencong begitu lazim digunakan untuk mencemooh, Dorce muncul sebagai pembawa acara talkshow di stasiun televisi arus utama.
Baca Juga: Lihat Lebih Dekat: Pengakuan Seorang Mantan Transfobia
Dengan rambut ikal dan gaun elegan, Dorce melakukan wawancara personal dan inspiratif terhadap penyanyi, seniman, atlet, dokter, bahkan pengacara. Wawancara menjadi segar dengan berbagai guyonan yang Dorce lontarkan.
Selama empat tahun lebih, Dorce membawa suasana siang yang biasanya suntuk menjadi penuh energi. Saking populernya di layar kaca, ia disama-samakan dengan Oprah Winfrey.
Professor Cedric Clark dari San Francisco State University, Amerika Serikat, menyatakan ada 4 tahap untuk menilai apakah representasi minoritas di media sudah baik atau belum.
Pertama, non-representation artinya media tidak menampilkan sosok minoritas. Kedua, ridicule artinya media menampilkan minoritas sebagai bahan olok-olok.
Ketiga, regulation artinya media menampilkan minoritas hanya sesuai stereotipe. Keempat, respect artinya media menampilkan minoritas seperti anggota masyarakat lainnya melampaui batas-batas stereotip.
Antara Prestasi dan Paradoks
Berkaca pada kerangka Cedric Clark, menurut saya Dorce sudah masuk tahap keempat. Sebagai seorang pembawa acara, Dorce memainkan peran tokoh utama yang otoritatif.
Dorce bukan sekadar figuran, bukan bahan cemooh, bukan dihadirkan sebagai pelengkap. Dia menunjukkan bahwa seorang transpuan memiliki talenta yang melampaui urusan seks, asmara, dan sensasi, seperti yang salah dipersepsikan masyarakat.
Ketika media hanya menampilkan transpuan dari dua kutub ekstrem, yakni transpuan selebritas atau transpuan jalanan, Dorce menjadi wajah representasi alternatif.
Menurut saya Dorce adalah individu transgender pertama dan satu-satunya yang pernah sampai ke posisi itu. Bahkan, sudah dua dekade berlalu, belum ada satu sosok lain yang dapat menyandingi skala pengaruh dan penerimaan masyarakat seperti yang ia miliki.
Meski begitu, kita jangan melupakan beberapa paradoks dari sosok Dorce. Meski dia banyak dipuji sebagai representasi LGBTIQ di panggung nasional, Dorce tidak sekalipun mengasosiasikan dirinya sebagai bagian dari komunitas, apalagi bersuara untuk isu-isu yang dialami komunitas.
Malahan, Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) Mami Yuli, dalam laporan The Jakarta Post menyebut bahwa Dorce tidak mau dikaitkan dengan kelompok transpuan ataupun dijenguk komunitas ketika dia sakit.
Baca Juga: Bebaskan Diri dari Jebakan Kelamin
Pekerjaan Rumah Masih Banyak
Dorce mungkin tidak mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas. Namun di luar sana dia tetap dicatat sebagai tonggak representasi LGBTIQ yang belum tergantikan.
Namun belum juga kita menemukan sosok penerus. Representasi LGBTIQ di media justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Media hiburan mengangkat transpuan hanya jika ada sensasi terkait asmara, seks, dan narkoba.Dalam segi pemberitaan, media berfokus pada kekerasan dan kriminalitas, seiring meningkatnya persekusi terhadap komunitas.
Hal ini diperburuk dengan tindakan Komisi Penyiaran Indonesia pada 2016 yang pernah melarang karakter minoritas seksual masuk televisi dan radio.
Baca Juga: Asha bukan Oscar: Membongkar Miskonsepsi Soal Transgender
Kepergian Dorce menjadi penanda kegagalan, sekaligus teguran, kepada institusi media yang belum merepresentasikan kelompok minoritas secara adil. Kabar baiknya satu per satu sosok transpuan muda yang mulai muncul di media lewat berbagai kiprahnya di masyarakat.
Ada transpuan penulis, pemain teater, sutradara, aktivis, dan berbagai peran lain. Baru-baru ini, sosok Alegra Wolter, transpuan yang juga dokter umum, muncul.
Sudah saatnya media arus utama semakin banyak mengangkat sosok-sosok seperti Dorce, menampilkan mereka tanpa stigma, supaya masyarakat bisa 'berkenalan’ dengan transpuan sebagai manusia.
Comments