Pasangan selebritas Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar akan menggelar pernikahan mereka Sabtu ini, 3 April 2021. Sama seperti saat lamaran 13 Maret lalu, prosesi pernikahan Aurel-Atta berikut resepsi akan ditayangkan secara langsung di stasiun televisi RCTI.
Penayangan rangkaian acara pernikahan Aurel dan Atta memicu kritik karena memakai frekuensi publik. Pegiat media dan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) kemudian meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk segera memberi peringatan pada RCTI terkait siaran proses lamaran yang berlangsung 13 Maret lalu.
Dalam situs resminya, KPI memperingatkan RCTI bahwa frekuensi publik harus digunakan untuk kepentingan masyarakat dan sesuai dengan tujuan lembaga penyiaran, yaitu memberikan hiburan, informasi, dan edukasi. Penayangan acara pernikahan selebriti selama tiga jam tersebut mungkin mengandung konten hiburan, tapi tidak ada secuil pun aspek edukasi dan informasi (penting) di dalamnya. KPI mengatakan, RCTI seharusnya tidak hanya memerhatikan aspek public interest dan public need, tetapi juga public obligation.
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Siaran Pernikahan Artis Curi Frekuensi Publik
Akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran, S. Kunto Adi Wibowo mengatakan, tayangan pernikahan selebritas menunjukkan organisasi media meletakkan kepentingan bisnis di atas frekuensi milik publik yang penayangan kontennya harus sesuai dengan kepentingan masyarakat.
“Sama halnya kalau saya berdagang di lapak punya publik kemudian saya membangun bangunan sesuka saya sendiri. Stasiun TV dengan semena-mena mengambil itu (frekuensi publik),” ujarnya kepada Magdalene.
Acara pernikahan artis memang menguntungkan untuk bisnis karena proses produksinya yang murah dan mengundang sponsor dari industri pernikahan, tambah Kunto. Biaya produksi murah tersebut juga berbanding terbalik dengan tayangan berkualitas yang memiliki harga produksi mahal dan riset panjang, ujarnya.
Selain itu, sosok Aurel-Atta yang mengemban cap influencer dan dibesarkan media sosial mengundang fanbase atau basis penggemar yang besar untuk menonton acara pernikahan itu.
“Ini rumus bisnis paling sederhana. Pengeluaran kecil, pemasukan besar. Masalahnya, hanya bisnis stasiun TV yang untung, sementara publik dirugikan dengan minimnya nilai yang bermanfaat dari tayangan ini,” kata Kunto.
Baca juga: ‘Stand By Me Doraemon 2’ Akan Buat Kamu Jatuh Cinta pada Shizuka
Pernikahan Artis sebuah ‘Royal Wedding Wannabe’
Sebelum Aurel-Atta, tayangan acara privat selebritas selama berjam-jam sudah dilakukan lewat pernikahan aktor Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (2014) serta orang tua Aurel sendiri, Anang Hermansyah dan ibu tirinya, Ashanty (2012). Kedua acara pernikahan tersebut juga ditayangkan oleh RCTI. Untuk Raffi-Gigi, mengutip dari Tirto.id, KPI menyebut tayangan tersebut melanggar Pasal 11 ayat 1 tentang perlindungan kepentingan publik dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012.
Kritik atas tayangan pernikahan selebriti juga muncul di Amerika Serikat. Acara pernikahan kontestan acara realitas The Bachelorette, Trista Rehn dan tunangannya Ryan Sutter, pada 2003 disiarkan oleh ABC selama empat jam. Prosesi pernikahan yang kerap diliput oleh media itu dikritik karena tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Mengutip People, ABC membayar Rehn dan Sutter US$1 Juta agar acara tersebut bisa disiarkan. Rehn dan Sutter kemudian membuka jalan bagi kontestan waralaba The Bachelor lainnya untuk menayangkan pernikahan mereka di televisi.
“Selebritas di Indonesia lebih dekat dengan tayangan pernikahan di AS, seperti dari The Bachelor. Meski sangat liberal, AS juga tidak sepi dari kritik,” ujar Kunto, yang merupakan dosen komunikasi politik dan budaya populer.
Ia mengatakan, siaran langsung pernikahan tokoh publik juga terinspirasi dari pernikahan keluarga monarki di Eropa, khususnya The Royal Wedding dari Inggris. Menurut BBC, pernikahan Putri Margaret dan Antony Armstrong-Jones pada 1960 merupakan yang pertama disiarkan di televisi, sementara pernikahan kakak sang putri, Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip pada 1947 disiarkan lewat radio. Yang paling heboh tentu saja pernikahan Lady Diana Spencer dengan Pangeran Charles pada 1981, yang dijuluki “The Wedding of The Century”.
Artikel ilmiah “Celebrating with The Celebrities: Television in Public Space during Two Royal Weddings” (2015) oleh dua akademisi jurnalisme dan media asal Swedia menyatakan, pernikahan keluarga kerajaan adalah sebuah peristiwa besar penting yang menjadi wadah untuk merayakan identitas nasional dan budaya. Kerajaan juga menjadi simbol nasionalisme bagi warga negaranya.
Kunto mengatakan, penayangan kehidupan bangsawan menjadi urusan masyarakat karena mereka yang mendanai keluarga kerajaan lewat pajak. Jika melihat latar belakang tersebut, situasi jelas berbeda dengan pernikahan artis Indonesia karena sebagai bangsa tidak bergantung pada identitas selebritas, ujarnya.
“Ritual pernikahan ini sama sekali tidak terikat dengan identitas kita. Apakah secara bernegara kita bergantung dengan identitasnya Atta? Tidak juga. Ini akan berbeda kalau Atta adalah pangeran di Indonesia,” ujar Kunto.
Baca juga: Perisakan Dunia Maya oleh Oknum ‘YouTuber’
Di Balik Pernikahan Mewah ada ‘Wedding Industrial Complex’
Menurut Kunto, mempertontonkan ritual pernikahan yang sifatnya privat untuk menjadi konsumsi publik tidak lepas dari budaya konsumerisme akibat wedding industrial complex. Istilah yang muncul akhir tahun 90-an tersebut menjelaskan tentang bisnis terkait pernikahan—pakaian, katering, tempat, fotografer, dsb—yang membuat seseorang harus berkorban secara finansial demi menciptakan pernikahan mewah dan “sempurna”.
Wedding industrial complex bisa menyingkirkan atau mengurangi porsi spiritual dan esensi pernikahan karena lebih mengandalkan segi performatif.
Mia Siscawati, akademisi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengatakan wedding industrial complex ikut campur tangan dalam terciptanya sebuah fairy-tale wedding, alias ksah-kisah dongeng yang menceritakan seorang perempuan menunggu pangeran agar mereka nantinya menikah ini.
Selain kisah putri Disney, pernikahan Lady Di dan Pangeran Charles pada 1981 juga memiliki andil dalam menggosok impian tersebut. Pernikahan itu dianggap sebagai kisah dongeng menjadi nyata karena Diana yang seorang guru TK—walaupun masih tergolong bangsawan—menikah dengan pangeran Inggris
“Fairy-tale wedding ini kemudian mempertegas dan melancarkan nilai-nilai patriarki dalam konsep pernikahan. Gagasan fairy-tale dan pasar ekonomi pesta pernikahan tidak muncul begitu saja. Tapi dia memperkuat nilai patriarki,” kata Mia.
Nilai ini menyasar perempuan dan laki-laki, tetapi dampak atau tuntutan akan berbeda karena kuatnya norma gender sebagai konstruksi sosial, ujarnya.
“Gender sebagai konstruksi membuat perempuan harus tampil ‘cantik’ luar dan dalam. Ada tuntutan dan internalisasi untuk memiliki pernikahan yang ‘unik’ yang bisa dikenang semua orang,” ujarnya.
Sementara untuk laki-laki, ada penekanan dalam mempertahankan atau menunjukkan status sosial, yang berkaitan dengan konstruksi gender yang mengharuskan laki-laki untuk menjadi kepala keluarga.
“Untuk selebritas seperti Aurel dan Atta, profesi mereka juga menuntut untuk punya status. Jadi melihat mereka di kelas mana dan siapa saja yang mereka undang,” ujarnya.
Kunto menambahkan, wedding industrial complex khususnya menyasar perempuan dan mendorong mereka untuk menciptakan fairy tale wedding. Pemikir feminis telah mengkritik pernikahan ala dongeng itu karena mempersempit dan menentukan ekspektasi sosial serta kebahagiaan perempuan sebatas pernikahan yang sempurna, ujarnya.
“Perempuan Indonesia tidak lolos dari fantasi wedding yang sempurna itu. Ini kemudian menjadi semacam pencapaian hidup yang harus diraih seorang perempuan,” kata Kunto.
Mia mengatakan wedding industrial complex bisa menyingkirkan atau mengurangi porsi spiritual sebuah pernikahan karena lebih mengandalkan segi performatif.
“Bukan berarti tidak ada dimensi spiritual karena setiap pengantin akan merasakan hal itu. Namun fokusnya tetap ada pada fairy-tale wedding,” ujarnya.
Kunto mengatakan, alih-alih mengajarkan tentang budaya pernikahan di Indonesia, pernikahan artis yang sarat wedding industrial complex seolah-olah mengajarkan kepada penonton pernikahan akan sempurna jika mengikuti jejaknya.
“Kalau mau buat acara harus ke desainer ini, model baju ini, dan tren ini. Yang ada adalah demonstrasi konsumerisme, mengajari orang untuk terus mengonsumsi di wilayah pernikahan,” jelasnya.
Comments