Kritik pemilik akun Twitter @Ghandoyy terhadap salah satu produk Es Teh Indonesia, yang menurutnya “terlalu manis”, memang mengandung unsur hiperbola dan kata-kata makian.
Kendati begitu, somasi yang dilayangkan pihak PT Es Teh Indonesia Makmur kepada pemilik akun tersebut juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) karena sama saja membatasi konsumen dalam menyampaikan kritik atas produknya.
Isu ini kemudian tidak hanya memunculkan perdebatan mengenai perlu tidaknya kritikan konsumen terhadap sebuah produk ditanggapi dengan langkah hukum, tapi juga mengingatkan kembali betapa bermasalahnya instrumen hukum kita – Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), utamanya Pasal 28 Ayat 2 yang mengatur mengenai ujaran kebencian dan Pasal 27 Ayat 3 soal penghinaan.
Opini dengan kata-kata kasar dan makian memang salah, namun dalam konteks kebebasan berpendapat, perlu dikaji lebih jauh apakah opini tersebut melanggar hak dasar orang lain.
Baca juga: Komplain Layanan Restoran di Media Sosial Boleh Saja, Tapi…
Pembungkaman terhadap Kritik Konsumen
Setidaknya ada tiga alasan mengapa kritik dari akun @Ghandoyy bukanlah merupakan sebuah tindak pidana dan, karenanya, somasi menjadi berlebihan.
Pertama, pihak Es Teh Indonesia dalam somasinya sudah mencantumkan bahwa kritik “rasa manis yang berlebihan” atas produk mereka bersifat subjektif. Artinya, mereka sendiri sudah mengakui bahwa pernyataan itu hanyalah opini. Mensomasi pemilik opini sama saja dengan menghalangi seseorang beropini dan itu melanggar kebebasan berpendapat.
Lagipula, keluhan konsumen atas produk yang bersifat subjektif seharusnya bisa dikaji lebih dulu kebenarannya oleh produsen, tidak perlu terburu-buru membalasnya dengan upaya hukum berupa somasi.
Kedua, kritik atas sebuah produk adalah hak konsumen, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pemilik akun @Ghandoyy, sebagai konsumen, berhak untuk didengar pendapatnya dan berhak atas keamanan serta keselamatan dalam mengkonsumsi produk.
Ketiga, tidak ada hak reputasi individu, bukan badan hukum, yang dicederai. Ukuran reputasi yang dicederai bisa dilihat dari apakah opini seseorang dengan sengaja ditujukan untuk merusak nama baik orang lain.
Dalam kasus ini, opini atas rasa manis yang berlebihan tersebut bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk kepentingan publik, tepatnya kesehatan masyarakat (public health) karena berkaitan dengan kadar gula yang tinggi dalam sebuah minuman.
Surat Keputusan Bersama UU ITE yang dirilis pertengahan tahun lalu telah menyatakan bahwa penilaian, pendapat, dan hasil evaluasi tidak termasuk dalam kategori penghinaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Artinya, opini akun @Ghandoyy bisa direspons dengan menguji apakah itu merupakan sebuah serangan terhadap reputasi atau justru tergolong ke dalam opini yang bertujuan untuk kepentingan publik.
Berdasarkan poin-poin di atas, bisa disimpulkan, tindakan somasi yang dilakukan Es Teh Indonesia itu merupakan suatu bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, hak asasi dasar yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kebebasan berpendapat tidak hanya berhubungan dengan bagaimana setiap individu berhak mencari informasi dan menyebarluaskannya, namun juga perlindungan terhadap opini mereka.
Baca juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Preseden UU ITE
Pihak PT Es Teh Indonesia Makmur memang tidak mencantumkan apapun terkait tuduhan pidana dalam somasi tertulisnya. Namun, peristiwa ini mengingatkan kita kembali pada deretan pembungkaman kritik oleh produsen atau penyedia jasa terhadap konsumen dengan menggunakan UU ITE.
Data menunjukkan bahwa selama periode 2001 sampai dengan 2021 terdapat sejumlah 1981 putusan Pengadilan Negeri terkait tindak pidana penghinaan. Rinciannya, penghinaan berdasarkan KUHP adalah sebanyak 985 kasus, sementara penghinaan berdasarkan UU ITE, yang disahkan sejak tahun 2008, adalah sebanyak 996 kasus.
Artinya, selama 13 tahun saja, UU ITE telah menyebabkan angka kasus pidana penghinaan meningkat, bahkan melebihi jumlah kasus penghinaan dalam KUHP selama 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa sejak UU ITE lahir, potensi penyalahgunaan pasal penghinaan semakin nyata.
Salah satu contoh kejadian yang pernah menyita perhatian publik adalah kritik seorang pasien, Prita Mulyasari, terhadap layanan RS Omni Internasional yang berlokasi di Tangerang Selatan.
Pihak RS Omni menggugat Prita, membuatnya didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Prita akhirnya dibebaskan dari jerat pidana pada 2012 melalui upaya hukum Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (MA).
Contoh lainnya adalah yang dialami Stella, konsumen klinik kecantikan L’Viors Beauty Center, Surabaya, yang dilaporkan oleh pihak klinik atas tuduhan pencemaran setelah ia mengeluhkan klinik itu di media sosialnya pada April 2021. Stella akhirnya divonis bebas pada Desember 2021.
Kasus-kasus seperti yang disebutkan telah menunjukkan belum jelasnya standar kepentingan publik yang bisa menjadi pembenar bagi sebuah opini.
Peristiwa @Ghandoyy dan Es Teh Indonesia ini mempertegas fakta tentang bagaimana aturan penghinaan yang multitafsir kerap digunakan untuk kepentingan mereka yang memiliki kuasa, uang dan jabatan, ketimbang untuk kepentingan publik.
Dalam konteks kritik konsumen, perusahaan sebaiknya belajar untuk merespons kritik dengan lebih bijak, karena langkah somasi berpotensi merugikan perusahaan sendiri. Respons terhadap kritik yang kasar bisa diselesaikan dengan cara personal, bahkan bisa ditanggapi dengan cara elegan yang dapat bermanfaat untuk memperbaiki reputasi perusahaan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments